Jakarta (ANTARA GORONTALO) – Pakar bahasa tubuh Monica Kumalasari menganalisis pernyataan penutup atau closing statement ketiga
pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta di akhir sesi
debat terakhir yang berlangsung Jumat (10/2) lalu di hotel Bidakara,
Jakarta. Berikut analisisnya:
Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni
Pernyataan AHY diawali dengan melakukan manipulative gesture yang tidak perlu seperti memperbaiki posisi outfit. AHY membuka dengan menyampaikan kegagalan petahana yang telah disampaikannya dalam segmen-segmen sebelumnya.
Hanya
saja, AHY menyentuh ke hal yang bukan merupakan keahliannya yaitu
tentang perbaikan karakter yang dia sebut sangat sulit dan hal ini
diulangi hingga beberapa kali. Tak hanya paslon 2, namun paslon 3 juga
tidak luput dari serangannya.
Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat
Gambar
kondisi Kalijodo yang dipertunjukkan sesungguhnya sudah merebut
simpati, namun kata-kata selanjutnya justru membuat paslon ini seperti
menegaskan apa yang disampaikan oleh paslon 1.
Basuki Tjahaja Purnama menutup closing session padahal
dia bukanlah seorang orator yang baik. Basuki lebih tepat menjadi
pekerja dan realisator sedangkan Djarot sangat baik dalam urusan
keprotokoleran.
Anies Baswedan-Sandiaga Uno
Anis membuka dengan pernyataan yang lugas dengan penegasan melalui kedalaman dan hentakan suara serta hand gesture
bahwa rakyat Jakarta menginginkan pemimpin baru. Pasangan calon ini
memperhatikan pemilihan kata tanpa menyinggung paslon lainnya.
Monica
menilai ketiga pasangan calon sangat yakin akan maju menjadi gubernur
dan wakil gubernur DKI Jakarta. Dia menyebut ada satu teori komunikasi
yang mengatakan bahwa kata-kata hanya berpengaruh 7 persen, 38 persen
berasal suara dan 55 persen dari bahasa tubuhnya.
Di
sisi lain, Monica menilai pasangan calon nomor urut satu nampak grogi
dan tidak siap. "Banyak terlihat kebocoran" dari bahasa tubuh, kata
Monica. Sementara pasangan calon nomor dua merasa telah memiliki
pengalaman namun pemilihan kata-kata dari cagub nomor urut 2 kurang
santun.
Pasangan
calon nomor urut tiga cenderung bermain dalam konsep yang normatif. Ini
menguntungkan karena mereka seolah-olah piawai menerjemahkan visi dan
misinya. Namun demikian banyak kebocoran (hal yang seharusnya ditahan
namun tak bisa tertahankan) terjadi dalam hal penguasaan emosi yang
ditunjukkan oleh cagubnya.