Jakarta (ANTARA GORONTALO) - KPK akan menggunakan Undang-undang Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU) dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) mengenai
Tindak Pidana oleh Korporasi.
Penerapan itu terkait dengan penyidikan kasus dugaan korupsi oleh
mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin
Arsyad Tumenggung dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada
Sjamsul Nursalim.
"Cara asset recovery akan dilakukan adalah dengan menggunakan UU
Tindak Pidana Pencucian Uang dan juga sudah diatur dalam Perma Korporasi
bagaimana menerapkan tindak pidana ke perusahaannya, nanti kita akan
masuk ke sana," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di gedung KPK
Jakarta, Selasa.
KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka karena saat menjabat
sebagai Kepala BPPN pada 2004 diduga mengusulkan pemberian Surat
Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau Surat Keterangan Lunas (SKL)
kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank
Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan
Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi
kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset
oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan
Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi
kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset
oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun.
Hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan
ditagihkan ke petani tambak. Sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan
pembahasan dalam proses restrukturisasi.
Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.
"Ke manapun alur (uangnya) akan dicari, bukan hanya di Indonesia saja tapi juga di negara lain juga ada," kata Basaria.
Menurut Basaria, penerbitan SKL itu bukanlah suatu perbuatan tindak
pidana korupsi karena merupakan suatu kebijakan pemerintah. Tapi berubah
menjadi korupsi ketika saat berjalannya kebijakan ada orang yang
mengambil manfaatnya untuk diri sendiri atau kelompok atau suatu
korporasi.
"Kebijakan itu menjadi tindak pidana korupsi apabila di dalam proses
berjalannya kebijakan tersebut ada sesuatu manfaat yang diambil,
diperoleh orang yang mengambil kebijakan tersebut untuk kelompoknya atau
diri sendiri atau orang lain.
Saat ini KPK fokus kepada SAT (Syafruddin Arsjad Temenggung) karena
harusnya ada Rp4,8 triliun yang dikembalikan tapi hanya Rp1,1 triliun
yang diambilalih sehingga merugikan negara Rp3,7 triliun.
"Seharusnya Rp4,8 triliun itu dilunasi dulu baru dikeluarkan SKL.
Dengan dasar SKL ini maka dibuatkan SP3 oleh penyidik di Kejaksaan,"
kata Basaria.
Syafruddin juga menjadi tersangka di Kejaksaan Agung dalam kasus
dugaan korupsi "cessie" oleh BPPN kepada Victoria Securities
International Corporation. Kasus tersebut terkait dengan pembelian hak
tagih (cessie) PT Adyaesta Ciptatama (AC) oleh PT Victoria Securities
International (VSI) Corporation dari BPPN pada 2003 yang diduga
merugikan keuangan negara hingga Rp420 miliar.
Syafruddin disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan
(pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami
masalah likuiditas saat krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema untuk
mengatasi masalah krisis ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia
dengan IMF.
Bank Indonesia sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp144,5
triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat mengatasi krisis
tersebut. Namun penggunaan pinjaman ternyata tidak sesuai dengan
ketentuan sehingga negara dinyatakan merugi hingga sebesar Rp 138,4
triliun karena dana yang dipinjamkan tidak dikembalikan.
Terkait dugaan penyimpangan dana tersebut, sejumlah debitur kemudian
diproses secara hukum oleh Kejaksaan Agung tapi Kejaksaan mengeluarkan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan
dasar SKL.
SKL diterbitkan oleh BPPN berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8
Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang
telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor
yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Berdasar Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan
utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang
saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti
hak kepada BPPN.
KPK akan gunakan TPPU terkait SKL BLBI
Selasa, 25 April 2017 22:33 WIB