Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami
secara serius aset yang sudah dijual dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI).
"Kami secara serius masuk lebih jauh dalam kasus BLBI ini untuk
melihat terkait aset-aset yang sudah dijual dan tentu kami akan nilai
aset tersebut untuk membuktikan masih ada kewajiban sekitar Rp3,7
triliun, namun Surat Keterangan Lunas (SKL) sudah diberikan," kata Juru
Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Senin.
Sementara dalam penyidikan kasus itu, KPK pada Senin memeriksa
Menteri Keuangan 1998-1999 dan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) pertama Bambang Subianto sebagai saksi untuk tersangka
Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT).
"Saksi ini periksa dalam kapasitas sebagai mantan Ketua BPPN yang
pertama. Jadi beliau menjadi Ketua BPPN pertama Januari-Maret 1998. Kami
mendalami tentang bagaimana proses pembahasan dan proses yang terjadi
sebelum kebijakan Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA)
diputuskan terkait dengan BLBI ini," kata Febri.
Selain memeriksa Bambang, KPK memeriksa mantan pegawai BPPN Hadi
Avilla Tamzil sebagai saksi juga untuk tersangka Syafruddin Arsyad
Tumenggung.
"Untuk saksi Hadi, kami dalami terkait penjualan aset pada saat itu
terkait dengan kewajiban obligor BLBI yang sedang kami proses kasusnya
saat ini," ucap Febri.
Sebelumnya, dalam penyidikan kasus itu, KPK mempertimbangkan
bekerjasama dengan Interpol untuk mendatangkan pemilik Bank Dagang
Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim yang berada di Singapura.
Sjamsul merupakan saksi terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam
pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada BDNI yang menyebabkan
kerugian negara Rp3,7 triliun.
"Nanti kalau memang ada kebutuhan lain sehingga kami perlu kerja
sama dengan Interpol sesuai dengan aturan hukum yang ada tentu kami
perlu pertimbangkan dengan serius," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah
di gedung KPK, Jakarta, Rabu (8/6) malam.
Selain itu, kata Febri, untuk mencari keberadaan Sjamsul itu di
Singapura, KPK juga akan melakukan kerja sama dengan Corrupt Practices
Investigation Bureau (CPIB) Singapura.
"Karena untuk kerja sama dengan memasukan seseorang ke dalam Daftar
Pencarian Orang (DPO) itu tidak bisa dilakukan pada saksi hanya bisa
dilakukan pada tersangka misalnya," kata Febri.
KPK juga telah memanggil Menteri Koordinator Bidang Ekonomi,
Keuangan dan Industri periode 1999-2000 Kwik Kian Gie sebagai saksi
dalam penyidikan tindak pidana korupsi BLBI.
"Tadi tentang Dipasena, mengenai SKL yang telah diberikan," kata Kwik di gedung KPK, Jakarta, Selasa (6/6).
Ia pun mengakui terdapat kerugian negara Rp3,7 triliun dalam
pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Bank Dagang Negara
Indonesia (BDNI).
"Saya katakan, setahu saya iya," kata Kwik yang juga Kepala Bappenas periode 2001-2004 itu.
KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan
tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL)
kepada Sjamsul Nursalim.
SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8
Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang
telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor
yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati
Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono,
Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri
BUMN Laksamana Sukardi.
Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah
menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban
pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan
sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban
Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham
atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan
Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi
kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset
oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari
pinjaman BLBI.
Karena itu, hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat
dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp3,7 triliun
tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada
kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi
kerugian negara.
KPK dalami aset yang dijual terkait BLBI
Senin, 12 Juni 2017 23:33 WIB