Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Literasi media atau kemampuan seseorang
untuk mengolah dan memahami informasi dalam menggunakan media, termasuk
mesia sosial, perlu masuk dalam kurikulum sekolah, demikian disampaikan
Direktur Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo.
“Kalau
di luar negeri, literasi media ini diajarkan di sekolah-sekolah.
Sehingga, masyarakatnya lebih paham bagaimana seharusnya bersikap di
media, terutama media sosial,†kata Agus di Jakarta, Sabtu.
Agus
menambahkan, literasi media, khususnya media sosial, perlu diajarkan
ketika anak-anak masih Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan
Sekolah Menengah Atas.
“Literasi media juga tidak cukup dilakukan secara adhock melalui seminar, diskusi atau semacamnya,†jelas Agus.
Menurut
Agus, perusahaan media sosial memiliki kemampuan untuk merekam
aktivitas setiap pemegang akun melalui unggahan status, foto dan video
yang mereka lakukan atau disebut “user behaviourâ€.
“Dimana
mereka biasa nongkrong, belanja, hobi, termasuk jalan-jalan, pendidikan
dan sebagainya, itu direkam oleh media sosial ketika pengguna
mengunggahnya ke akun media sosial mereka,†kata Agus.
Data-data tersebut, lanjutnya, akan digunakan perusahaan media sosial untuk meraup keuntungan melalui iklan.
“70
persen dari total iklan digital diambil oleh raksasa global, seperti
Google, Yahoo, Facebook, Twitter atau sebesar Rp8,4 triliun,†tukas
Agus.
Terlebih, pengguna media sosial di
Indonesia sangatlah banyak, sehingga perusahaan-perusahaan tersebut
meraup banyak keuntungan dari masyarakat Indonesia.
Sayangnya,
tambah Agus, sebagian besar dari mereka belum dikenakan pajak oleh
Pemerintah Indonesia. Sehingga aktivitas yang dilakukan masyarakat
Indonesia tersebut tidak mendatangkan keuntungan untuk Indonesia
sendiri.
“Seharusnya, sebagian besar keuntungan mereka diberikan untuk pendidikan literasi masyarakat Indonesia,†pungkasnya.