Bamako, (ANTARA News) - Di dalam kelas di sebuah sekolah bagi anak-anak
penyandang tuna netra di ibu kota Mali, Bamako, murid tenang mengikuti
pelajaran bahasa Prancis yang diajarkan dalam huruf braille.
Namun, tampak jelas mereka tidak sabar untuk keluar kelas untuk bermain sepak bola.
Di
lapangan sekolah bertanah merah, tiga kali sepekan, mereka mengejar
bola khusus yang di dalamnya ada bel dalam versi sepak bola bagi tuna
netra.
"Ini ketertarikan saya," kata Mamadou Thiam (18), yang telah memainkan permainan ini selama dua tahun.
"Ambisi saya adalah bermain dalam kompetisi besar internasional."
Dengan versi masing-masing tim terdiri atas lima pemain, permainan kencang ini dikenal di Mali dengan nama Prancisnya "cecifoot" (dari kata "cecite" yang berarti kebutaan) dan mengikuti aturan FIFA dengan beberapa modifikasi.
Bersama
bola, yang mengeluarkan bunyi saat ditendang di lapangan, terdapat
pelatih di tepi lapangan, yang berteriak memberi instruksi untuk
membantu para pemain menemukan jalan ke tiang gawang timnya. Lapangan
dikelilingi pelindung.
Semua pemain kecuali kipet, mengenakan
masker mata, sehingga yang buta dan yang bisa melihat sedikit semuanya
berada pada kondisi yang sama.
Dan antusiasme pada olahraga tersebut di antara anak laki-laki Mali dimulai saat masih sangat muda.
Daouda
Kassambara, baru delapan tahun, ingin bermain di laga besar suatu hari
nanti dan mengatakan olahraga itu memotivasi dia untuk bekerja keras di
sekolah.
Cecifoot "membuat saya ingin lebih jauh lagi (dalam
pendidikan saya), sehingga akan datang hari ketika saya menjadi pemain
besar, mengapa tidak, bahkan pemain internasional," katanya seperti
dikutip AFP.
Para ahli mengatakan bahwa permainan tersebut
membantu anak muda membangun percaya diri dan kemandirian, keterampilan
yang akan mereka butuhkan bagi kehidupan seharii-hari di luar lapangan.
Mariam
Katito mengajar pelajaran fisika di srekolah menengah Bamako tetapi
menghabiskan waktu luangnya melatih para pemain tuna netra.
"Saya
telah mencintai anak-anak ini sejak mereka kecil, dan saya selalu
senang memberi apapun yang saya bisa," kata perempuan itu usai sesi
latihan.
Alamissa Cisse, guru di Institute for Blind Youth
(IJA), mengatakan bahwa bermain sepak bola mengajarkan anak-anak
"bagaimana menguasai bola, ruang di sekitar mereka, dan di atas semuanya
mengajarkan mereka komunikasi."
Pertama kali dimainkan di
Spanyol pada 1920an, sepak bola dengan lima pemain bagi tuna netra dan
orang dengan gangguan penglihatan melakukan debutnya pada Paralympics
Athena pada 2004.
Di London pada Olimpiade 2012, tim dari from
Argentina, Brasil, Eropa, Iran dan Tiongkok bertanding di delapan
besar, tetapi tidak ada dari Afrika.
Remaja buta di Mali bisa main sepak bola
Rabu, 18 Juni 2014 15:38 WIB