Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Minggu, 10 Mei 2015, menjadi hari bersejarah bagi para jurnalis asing yang tertarik pada isu-isu Papua.
Betapa tidak, mereka yang telah lama memendam keinginan kuat untuk
meliput kondisi di Provinsi Papua dan Papua Barat, wilayah paling timur
Indonesia yang berbatasan langsung dengan wilayah Papua Nugini, ini bak
mendapat kado istimewa.
Kado istimewa yang dimaksud adalah kebebasan dalam menjalani
tugas-tugas jurnalistik di wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat. Pada
10 Mei itu, di sela menghadiri acara Panen Raya di wilayah Kabupaten
Merauke, Provinsi Papua, Presiden Joko Widodo mengumumkan kado istimewa
bagi para jurnalis asing ini.
"Untuk wartawan asing, mulai hari ini (10/5), sudah kita
perbolehkan. Kita bebaskan untuk bisa masuk ke Papua sama seperti ke
provinsi-provinsi yang lain," kata Kepala Negara.
Pernyataan Presiden Joko Widodo itu hanya terpaut sembilan hari
setelah Wakil Direktur Human Rights Watch untuk Asia Phelim Kine
mendesak Indonesia untuk menandai Peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia
3 Mei 2015 dengan "mengakhiri pengekangan panjang kebebasan pers di
Papua".
Di mata lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional seperti
Human Rights Watch, Indonesia selama ini telah melakukan pembatasan yang
efektif terhadap media asing yang hendak meliput secara bebas di Papua
dengan hanya memberikan akses kepada para jurnalis yang mendapat izin
resmi khusus untuk mengunjungi Papua.
Namun permohonan para wartawan maupun pegiat LSM asing untuk
mendapatkan izin meliput di dua provinsi paling timur Indonesia itu
tidak mudah dipenuhi Jakarta sehingga upaya mereka melaporkan berbagai
peristiwa penting di sana tidak dapat dilakukan.
Bagaimana aparat pemerintah menindaklanjuti kebijakan baru Presiden Joko Widodo ini di lapangan?
Seperti diungkap Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan
Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno, kebijakan yang memungkinkan wartawan
asing untuk melihat situasi di Papua seperti apa adanya ini bukan tanpa
syarat.
Menurut Tedjo, para jurnalis asing itu diperbolehkan masuk ke Papua
dan Papua Barat dengan syarat "tidak memberitakan fitnah atau hal-hal
yang tidak nyata dan menjelekkan Indonesia".
Dengan kata lain, wartawan asing yang masuk disyaratkan bahwa
mereka boleh meliput tentang apa yang dia lihat dan tidak boleh
soalah-olah mencari data yang tidak benar dari kelompok bersenjata,
katanya.
Kapolda Papua Irjen Pol Irjen Pol Yotje Mende pun menekankan
pentingnya para wartawan asing yang akan menjalani tugas jurnalistiknya
di wilayah paling timur Indonesia itu mengikuti aturan keimigrasian
maupun prosedur lain yang berlaku, termasuk ketika mereka hendak ke
kawasan pegunungan.
Pengawalan bagi para jurnalis yang hendak meliput ke kawasan
pegunungan itu diperlukan untuk menjaga keamanan diri mereka. Karena
itu, kendati Papua merupakan daerah yang damai, mereka diminta memberi
tahu polisi sebelum ke wilayah pegunungan.
Pengawalan tersebut, kata orang nomor satu di Polda Papua ini,
tidak dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak para jurnalis asing
tersebut melainkan semata-mata untuk menjaga keamanan diri supaya mereka
terhindar dari masalah.
Terlepas dari bagaimana makna kebebasan bagi wartawan asing untuk
melakukan peliputan di Provinsi Papua dan Papua Barat itu diterjemahkan
para pihak terkait di lapangan nantinya, harapan Menko Polhukam Tedjo
Edhy Purdijatno agar media asing tidak menjelekkan Indonesia dari hasil
liputan jurnalisnya agaknya sulit terwujud.
Bagi media mapan di negara-negara Barat yang konsisten dengan
prinsip jurnalisme "bad news is good news", masalah konflik, disparitas
sosial-ekonomi, dan berbagai sisi kurang yang ada dari realitas faktual
kekinian dan masa lalu Papua boleh jadi dianggap hal yang lebih menarik
untuk disajikan bagi publik mereka.
Sisi sensasional dan tidak berimbang dalam memilih maupun memilah
fakta maupun narasumber yang mendukung penyajian realitas faktual ke
dalam realitas media yang disesuaikan dengan "agenda setting" dan "media
framing" juga menambah sulit Indonesia untuk sepenuhnya berharap
mendapatkan hasil liputan yang proporsional.
Pengalaman Mark Davis
Pengalaman
Mark Davis, wartawan investigatif stasiun televisi SBS Australia yang
mendapat izin pemerintah untuk melakukan peliputan di Kota Jayapura dan
sekitarnya pada Mei 2014 misalnya, menunjukkan bagaimana isu pelanggaran
hak azasi manusia tetap menjadi agenda utama pembingkaian
pemberitaannya.
Dalam upayanya merekonstruksi dan menggali informasi tentang
baku-tembak antara aparat TNI-Polri dengan sejumlah anggota separatis
Organisasi Papua Merdeka (OPM) di wilayah perbatasan RI-PNG Skouw,
Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Papua, pada 5 April 2014, Mark Davis
antara lain menanyakan siapa yang terlebih dahulu menembak.
Pertanyaan itu diajukan Mark kepada sejumlah aparat kepolisian yang
mendampinginya selama berada di wilayah perbatasan RI-PNG itu kendati
kenyataannya bahwa serangan yang melukai seorang prajurit TNI dan Kepala
Kepolisian Resor Jayapura, AKBP Alfred Papare itu dimulai oleh pihak
separatis.
Pertanyaan tentang isu-isu pelanggaran HAM, termasuk perihal
penanganan demonstrasi damai di Papua, juga secara konsisten ditanyakan
Mark Davis dalam wawancara khususnya dengan Kapolda Papua Irjen Pol Tito
Karnavian di Jayapura maupun dengan Menteri Luar Negeri Marty
Natalegawa di Jakarta.
Pertanyaan senada juga diajukannya kepada Frans Albert Joku, Nick
Messet, Pdt Dr.Benny Giay, Pdt Socrates SY, Merry Costavina Yoweni
(pengusaha) dan Taha Al Hamid, enam tokoh Papua yang menghadiri forum
dialog yang digagasnya untuk kepentingan liputannya pada Mei 2014 itu.
Jauh sebelum perjalanannya ke Jayapura pada Mei 2014 itu, wartawan
yang sejumlah film dokumenter dari hasil liputannya di berbagai tempat,
termasuk Indonesia, telah mendapatkan penghargaan bergengsi di Australia
termasuk Gold Walkley ini sudah melakukan peliputan di hutan Papua pada
1990-an.
Pengalaman dan hasil liputannya yang membawanya bertemu dengan tokoh
Organisasi Papua Merdeka (OPM) itu diberi judul "Mark Davis on the
Hostage Affair" (1999) dan jurnal ilmiah "Pacific Journalism Review"
menerbitkannya dengan judul "Blood on the Cross" (2000).
Dari pengalamannya yang panjang sebagai wartawan investigatif, Mark
Davis memiliki banyak kontak di Papua, termasuk kalangan yang tidak
sejalan dengan Indonesia sehingga, seperti layaknya para jurnalis
profesional pada umumnya, dia menjalankan setiap agenda liputannya
sesuai dengan ideologi media tempatnya bekerja.
Ideologi media tempat para jurnalis asing, seperti Mark Davis,
bekerja maupun keyakinan diri mereka sebagai manusia yang merdeka tidak
selalu sejalan dengan apa menjadi harapan Pemerintah RI sebagaimana yang
telah diungkapkan Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno dan Kapolda
Papua Irjen Pol Irjen Pol Yotje Mende.
Semua itu memerlukan sikap profesional, kedewasaan dan kesiapan
mental berbagai pihak yang terlibat dalam penanganan kehadiran wartawan
asing yang telah mengantongi kado kebebasannya meliput di Tanah Papua
dari Presiden Joko Widodo supaya kebijakan ini berjalan secara wajar dan
tidak kontraproduktif bagi keutuhan NKRI.
Dari itu semua, yang tak kalah penting adalah bagaimana percepatan
pembangunan yang memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh
kelompok masyarakat di Papua dapat dilakukan secara terencana dan
berkesinambungan sebagaimana yang menjadi harapan rakyat dan tokoh Papua
yang dihormati, Nicolaas Jouwe.
"Prioritas utama mengapa saya kembali dan menetap di Indonesia
adalah untuk membantu pembangunan Papua. Sebelumnya, saya tinggal di
Belanda selama hampir setengah abad karena adanya perbedaan-perbedaan
pendapat dengan Pemerintah Indonesia terkait Papua," katanya dalam buku
berbahasa Inggris yang mengisahkan perjuangan panjangnya kembali ke
pangkuan Ibu Pertiwi berjudul "Nicolaas Jouwe: Back to Indonesia Step,
Thought and Desire" (2014).
Memaknai kado kebebasan pers di Papua
Senin, 18 Mei 2015 16:47 WIB