Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Skip challenge atau pass-out challenge bahkan
bisa saja dilakukan mereka yang tergolong cerdas. Benarkah hal itu?
psikolog anak dan keluarga Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi., Psi.
memberikan penjelasannya.
Berikut tuturannya kepada ANTARA News:
1. Soal "skip challenge" atau "choking game" atau "pass-out challenge"
yang belakangan viral di media sosial, psikolog di Inggris menyebut itu
dilakukan bahkan anak-anak yang cerdas. Apa yang melatarbelakangi
anak-anak ini melakukan skip challenge yang bahkan membahayakan jiwa
mereka?
Selain kecerdasan, faktor apa saja yang membuat anak-anak melakukan tantangan itu? Apa sebatas karena ingin menjajal keberanian?
Mungkin saja. Karena anak yang cerdas, punya rasa ingin tahu yang tinggi
sehingga terdorong untuk mencoba. Dan, di usia remaja, pemikiran jauh
tentang konsekuensi dari perbuatan yang mereka lakukan memang belum
tercapai optimal sehingga remaja seringkali ceroboh saat ambil
keputusan.
Ini ada hubungannya dengan bagian otak yang belum penuh perkembangannya
sampai usia 20 tahun nanti. Bagian otak ini (prefrontal cortex) yang
membantu seseorang untuk mengambil keputusan sesuai pertimbangan baik
buruknya. Sebelum bagian ini terbentuk sempurna, keputusan lebih banyak
dipengaruhi oleh emosi spt merasa ditantang, tidak mau dibilang penakut
dan sebagainya.
2. Apakah dewasa juga mungkin melakukannya? Dewasa seperti apa yang kemungkinan akan melakukannya?
Mungkin saja ada yang melakukannya demi melakukan penelitian misalnya.
Namun orang dewasa semestinya punya pertimbangan lebih baik sehingga
cenderung memutuskan untuk tidak melakukannya.
3. Apa saran Anda untuk anak-anak dan masyarakat di Indonesia pada umumnya, agar tidak melakukan tantangan berbahaya itu?
Tantangan ini memang berbahaya karena membuat aliran oksigen terhenti
dan ini bisa berakibat fatal secara jangka waktu panjang pada sel otak.
Dengan melihat dampak tersebut, tentu tantangan ini tidak dilanjutkan.
Bisa dengan dimulai memberitahukan anak/remaja tentang bahaya dari
tantangan ini. Ini bisa dilakukan oleh guru dan orang tua di rumah.
Guru pun dapat lebih ketat mengawasi aktivitas siswa di sekolah terutama
saat istirahat atau saat peralihan pelajaran. Lalu alihkan mereka ke
aktivitas yang lebih positif dimana mereka juga dapat mencoba tantangan
yang lebih bermanfaat dan menjadi wadah bagi mereka untuk memperoleh
eksistensi diri, misalnya ikut klub olahraga atau seni.
Skip challenge bahkan oleh si cerdas? Ini jawaban ahli psikologi
Minggu, 12 Maret 2017 13:50 WIB