Yogyakarta (ANTARA GORONTALO) - "Skip challenge" sudah seharusnya disebut berbahaya dan sekolah seharusnya menyosialisasikan risiko permainan itu dan menindak siswa yang melakukannya.
Oleh karena itu, menurut dia, pihak sekolah harus memberikan perhatian serius terhadap aktivitas siswanya di lingkungan sekolah. Hal itu perlu dilakukan karena permainan "skip challenge" berbahaya, apalagi berkali-kali dilakukan.
"Sekolah harus mampu berlaku secara arif menghadapi persoalan ini karena tidak banyak siswa yang mengetahui bahaya dan risiko melakukan skip challenge," kata Guru Besar Fakultas Psikologi UGM itu.
Ia mengatakan bahwa sekolah perlu melihat apakah siswa melakukan "skip challenge" atas kesadaran dan kemauan sendiri atau justru sebagai korban "bullying". Kalau mengarah ke "bullying", perlu ada langkah-langkah hukum.
"Orang tua juga perli lebih aktif berkomunikasi dengan anak-anaknya. Selain memantau aktivitas anak di lingkungan rumah, orang tua juga memberikan pemahaman kepada anak tentang risiko melakukan aktivitas bahaya, termasuk skip challenge," katanya.
Menurut dia, salah satu alasan para remaja mengikuti "skip challenge" karena ingin mencari tantangan. Tantangan ini dilakukan sebagai cara untuk menguji adrenalin.
"Anak-anak dan remaja suka mencoba hal baru dan menantang, termasuk dengan melakukan skip challenge," kata Koentjoro.
Selain menantang, kata dia, "skip challenge" digunakan remaja sebagai salah satu cara untuk menarik perhatian. Dengan mengikuti tantangan ini mereka berharap akan mendapatkan pujian, dianggap berani, hebat, dan populer.
"Hal itu bagian dari tren yang tidak akan berlangsung lama. Mereka hanya ikut-ikutan saja agar dianggap keren," katanya.