Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Hari Kemerdekaan Indonesia selalu dirayakan
dengan meriah setiap tahunnya, tapi ada hal lebih penting dari sekadar
perayaan yang mungkin telah diabaikan masyarakat yakni nilai-nilai
adiluhung bangsa ini.
Contoh paling ringan adalah nilai-nilai
tenggang rasa dan sikap saling menghargai, yang sering kita dengar namun
tidak mudah untuk melaksanakannya. Nilai-nilai tersebut tidak bisa
lantas selalu dicap sebagai warisan orde baru semata, namun sudah
berakar pada tradisi masyarakat Indonesia jauh sebelum rezim itu
berkuasa.
Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari menyoroti secara
khusus mengenai nilai-nilai tersebut di masyarakat Indonesia dalam
konteks kekinian.
"Nilai-nilai rukun, gotong royong, tepo sliro, tenggang rasa dan saling menghormati adalah sangat khas di masyarakat kita dulu namun sekarang sudah sangat langka," katanya.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, "tenggang rasa" dimaknai sebagai ikut
menghargai atau menghormati perasaan orang lain. Sementara itu "saling
menghormati" diartikan sebagai sikap seseorang memberikan hormat atau
pun penghargaan kepada yang lain.
Hajriyanto mengatakan
nilai-nilai tersebut saat ini sudah mulai luntur dalam kehidupan
masyarakat, padahal itu salah satu nilai luhur bangsa Indonesia. Dia
mencontohkan pernyataan masyarakat di media elektronik atau pun di media
sosial yang cenderung kasar dan tidak mencerminkan nilai-nilai
tersebut.
"Diksi yang dipilih juga tidak lagi mencerminkan nilai-nilai kesopanan dan keadaban," ujarnya.
Dia
menilai sikap tenggang rasa semakin tumpul karena masyarakat tidak mau
menghormati sikap pihak lain yang berbeda, contohnya terlihat dalam
pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014.
Dia
mencontohkan fenomena gugatan hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK)
yaitu yang kalah dengan mudahnya menggugat ke MK secara ramai-ramai dan
demonstratif. Sementara pihak yang merasa menang mencibir,
mengolok-olok, menghina, dan mencaci maki pihak lain yang menggugat ke
MK.
Anggota Fraksi PKB di MPR Abdul Kadir Karding menilai sikap
tenggang rasa dan saling menghormati saat ini sudah mulai memudar atau
berkurang. Hal itu, menurut dia, disebabkan karena masyarakat Indonesia
saat ini sudah semakin individualis dan menjadikan materi sebagai tujuan
utama hidup.
"Selain itu, contoh tauladan dari para pemimpin juga sangat jarang kita temui," katanya.
Selain
itu menurut Karding mengatakan lunturnya nilai-nilai tersebut salah
satunya disebabkan mulai hilangnya kesadaran masyarakat dalam
menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dia juga menilai gempuran
dan masuknya budaya dari luar juga menjadi sebab mulai lunturnya
nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Hajriyanto melihat ada faktor
internal dan eksternal yang menyebabkan lunturnya nilai-nilai tenggang
rasa dan saling menghargai. Faktor internal menurut dia seperti
transmisi nilai antargenerasi yang terputus, orang tua tidak
menyosialisasikan nilai-nilai yang sangat khas itu kepada anak-anaknya.
"Di
sisi lain pendidikan budi pekerti tidak ada lagi di sekolah. Lihat
saja, bahasa sehari-hari yang digunakan dalam percakapan saja cenderung
kasar bahkan tidak sopan, kata-kata 'maaf' atau 'terima kasih' saja
jarang terdengar," ujarnya.
Faktor yang eksternal menurut dia
gempuran globalisasi dalam bentuk teknologi informasi dan komunikasi,
televisi telah menjadi lembaga tersendiri yang menggeser peran lembaga
keluarga. Dia menilai anak-anak lebih deket kepada televisi daripada
dengan keluarga.
"Tidak heran jika budaya nasional tergerus oleh
budaya asing populer melalui televisi, vÃdeo, film, twitter, dan
facebook," katanya.
Mengembalikan nilai luhur
Mulai
lunturnya nilai-nilai luhur bangsa Indonesia tentu saja tidak bisa
dibiarkan lebih parah, perlu upaya atau langkah yang harus dilakukan
baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Hajriyanto menilai perlu
dilakukan pemberdayaan nilai-nilai luhur tersebut melalui lembaga
keluarga dan pendidikan. Menurut dia, keluarga adalah agen sivilisasi bangsa atau pelaku pendidikan adab bangsa.
"Peradaban
bangsa itu pilar utamanya adalah keluarga tapi sayangnya sekarang ini
keluarga Indonesia ini sebenarnya sudah bergeser menjadi keluarga yang
liberal melebihi liberalisme bangsa-bangsa barat," ujarnya.
Dia
menilai institusi keluarga sejatinya sudah pecah dan tidak utuh lagi.
Dia mencontohkan ketika para anggota keluarga duduk bersama dalam
suasana rukun dan guyub, namun ternyata masing-masing sedang asyik menggunakan telepon genggamnya masing-masing.
Selain
itu menurut dia, institusi pendidikan harus dikembangkan menjadi
pendidikan karakter, karena saat ini sudah terjadi pergeseran dalam
institusi tersebut.
"Saat ini pendidikan kita menjadi semata-mata
lembaga transfer ilmu pengetahuan, bukan transfer akhlak, adab, dan
budi pekerti luhur," ujarnya.
Abdul Kadir Karding menilai
pendidikan bisa dijadikan sebagai media untuk menanamkan kembali
nilai-nilai tersebut. Pancasila menurut dia dijadikan sebagai bagian
kehidupan dan perilaku masyarakat.
"Penanaman nilai-nilai
tersebut melalui pendidikan harus diajarkan sejak kecil dan bersifat
aplikatif dalam kehidupan sehari-hari anak," katanya.
Dia juga
menekankan pentingnya upaya memelihara dan menggerakikian kembali
budaya-budaya lokal yang terkait dengan nilai-nilai tersebut. Salah
satunya menurut dia, dukungan media massa dalam penguatan kembali nilai
tersebut dengan menyajikan dan menyiarkan berita yang membangkitkan
nilai-nilai tersebut.
Selain itu, dia menekankan pemimpin bangsa
baik yang formal maupun non formal harus memberikan contoh kepada
masyarakat dalam membangkitkan kembali nilai-nilai tersebut.
Kemerdekaan dan nilai adiluhung bangsa
Minggu, 17 Agustus 2014 12:51 WIB