Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai bahwa program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) penting untuk dioptimalkan untuk menjaga ketahanan pangan dan menekan angka kemiskinan di tengah pandemi COVID-19.
Peneliti CIPS, Pingkan Audrine Kosijungan di Jakarta, Kamis mengatakan bahwa pandemi COVID-19 membawa dampak yang signifikan bagi masyarakat Indonesia, terutama keluarga prasejahtera dan yang pekerjaannya terdampak berbagai kebijakan akibat pandemi ini.
"Maka itu, BPNT penting dan harus dipastikan penyalurannya bisa memberikan dampak yang optimal terhadap para Keluarga Penerima Manfaat (KPM)," kata Pingkan dalam diskusi daring bertema "Menjamin Ketahanan Pangan melalui program BPNT".
Ia mengemukakan jumlah KPM yang meningkat dari 15,2 juta menjadi 20 juta, diharapkan tepat sasaran yaitu mereka yang benar-benar terdampak.
Ia menambahkan adanya peningkatan jumlah manfaat yang diberikan, yaitu dari Rp150.000 per KPM per bulan (Januari-Februari) menjadi Rp200.000 per KPM per bulan (Maret-Desember), juga perlu diikuti adanya faktor-faktor yang menunjang efektivitasnya.
"Tujuan penyaluran bantuan ini untuk menekan angka kemiskinan, harus juga didukung adanya ketersediaan pasokan pangan yang memadai karena ketersediaan akan membantu menjaga stabilitas harga pangan," katanya.
Maka itu, lanjut dia, pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah harus dapat dipastikan tidak menghambat akses transportasi dari kendaraan yang membawa pasokan kebutuhan pangan antardaerah.
Dalam kesempatan sama, Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kemensos Asep Sasa Purnama mengatakan selain peningkatan jumlah manfaat yang diberikan KPM, pihaknya juga meningkatkan dan mempercepat program keluarga harapan (PKH) yang semula disalurkan tiap tiga bulan sekali, akan diberikan tiap bulan ke 10 juta KPM.
"Ini untuk meringankan beban keluarga penerima manfaat selama terdampak pandemi COVID-19," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020