Jakarta (ANTARA) - Pemerintah perlu melakukan berbagai langkah kebijakan yang fokus untuk mengantisipasi potensi kenaikan harga beras pada akhir tahun 2020, kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania.
"Laporan Indeks BURT (Indeks Bulanan Rumah Tangga) yang rutin dikeluarkan oleh CIPS setiap bulan menunjukkan harga beras kualitas medium sejak Oktober memang terpantau stabil tinggi di kisaran Rp12.500 per kilogram. Namun, harga ini berpotensi untuk mengalami kenaikan jelang Natal dan Tahun Baru 2021," kata Galuh Octania dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, pemerintah perlu segera mengantisipasi adanya potensi kenaikan harga beras antara lain karena titik kenaikan harga selalu tampak di saat permintaan meningkat seiring dengan datangnya perayaan hari raya dan libur nasional.
Ia berpendapat, jumlah stok sebanyak 1,1 juta ton saat ini tidak hanya menandakan lebih rendahnya stok dibanding tahun 2019 yang berjumlah 2,24 juta ton, namun juga lebih rendah dibandingkan dengan stok beras 2018 sebanyak 2,19 juta ton.
Walaupun demikian, tambahnya, jumlah stok beras saat ini masih lebih tinggi kalau dibandingkan dengan stok 2017 yang tercatat sebanyak 900.000 ton.
"Jika melihat perbandingan yang kurang lebih sama dengan keadaan di tahun 2017, Indonesia harus dapat mengantisipasi ketersediaan beras, tidak hanya untuk menghadapi libur akhir tahun akan tetapi juga menghadapi kebutuhan tahun 2021," ujarnya.
Galuh mengingatkan bahwa jumlah stok akhir di tahun 2017 kemudian memaksa pemerintah untuk melakukan importasi beras hingga sebanyak 2,25 juta ton sepanjang 2018.
Untuk itu, ujar dia, peluang berulangnya keadaan seperti ini di tahun 2021 seharusnya sudah diantisipasi sesegera mungkin.
"Perhitungan akan impor harus dikalkulasikan sedini dan seefektif mungkin untuk menghindari kerugian akibat tingginya harga beras dan panjangnya birokrasi impor," katanya.
Selain panjangnya proses birokrasi impor, ia juga mengemukakan bahwa Indonesia juga perlu untuk mewaspadai maraknya perilaku proteksionisme akibat pandemi COVID-19.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat selama November 2020, rata-rata harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani turun 1,93 persen dan rata-rata harga beras kualitas premium di penggilingan turun sebesar 1,00 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
"Ada penurunan yang tajam untuk GKP secara month to month yaitu sebesar 1,93 persen dibandingkan gabah kering giling (GKG) yang sebesar 1,74 persen," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto dalam paparan di Jakarta, Selasa (1/12).
Menurut Setianto, tren penurunan harga gabah terjadi karena sejumlah alasan diantaranya pasokan yang masih terjaga karena sejumlah wilayah masih musim panen.
"Curah hujan juga tinggi sehingga berdampak ke kualitas gabah dan membuat turun harga. Ini yang barangkali menyebabkan harga gabah turun," katanya.
Selama November 2020, rata-rata harga GKP di tingkat petani Rp4.722 per kg atau turun 1,93 persen dan di tingkat penggilingan Rp4.815 per kg atau turun 2,29 persen dibandingkan harga gabah kualitas yang sama pada bulan sebelumnya.
Rata-rata harga GKG di tingkat petani Rp5.312 per kg atau turun 1,74 persen dan di tingkat penggilingan Rp5.440 per kg atau turun 1,56 persen. Harga gabah luar kualitas di tingkat petani Rp4.454 per kg atau turun 3,22 persen dan di tingkat penggilingan Rp4.565 per kg atau turun 3,09 persen.
Dibandingkan November 2019, rata-rata harga gabah pada November 2020 di tingkat petani untuk kualitas GKP turun 7,38 persen, GKG turun 5,47 persen dan gabah luar kualitas turun 4,33 persen.
Peneliti CIPS: Pemerintah perlu antisipasi potensi kenaikan harga beras akhir tahun
Kamis, 3 Desember 2020 10:12 WIB