Dalam kunjungan kerjanya di Provinsi Jambi, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim bermalam bersama orang rimba di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Rabu.

Melalui keterangan tertulis yang diterima di Jambi, Rabu, Nadiem bermalam bersama orang rimba di Kantor Lapangan Warsi pada Selasa (21/9) malam. Nadiem berinteraksi dengan anak-anak rimba yang juga tinggal di kantor lapangan, mengajak mereka bercengkerama dan juga menghadirkan suasana hangat bagi anak-anak rimba.

Dalam kunjungannya itu, Nadiem melihat langsung Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Bungo Kembang yang juga didukung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk anak-anak orang rimba di daerah itu. Nadiem turut menerima hasil karya anak rimba yang mengikuti kelas keterampilan berupa baju kaos yang bertuliskan "kamia ndok tokang baco tuliy" yang artinya kami ingin bisa membaca dan menulis.



Selain itu Nadiem turut menerima kerajinan karya anak rimba berupa kalung sebelit sumpah, anyaman rotan dan juga kotak tisue dari kulit kayu ipuh.

Saat bermalam bersama orang rimba, Nadiem turut mendengarkan keluh kesah orang rimba dalam memperjuangkan pendidikan untuk anak-anak mereka. Dimana pendidikan anak rimba tersebut dilakukan dalam dua bentuk berupa pendidikan non formal, dengan cara mengunjungi kelompok.

Dalam proses pembelajaran materi pendidikan disesuaikan dengan alam mereka. Misalkan untuk pelajaran berhitung dilakukan dengan cara menghitung pohon, menulis dan membaca juga didekatkan dengan apa yang mudah mereka pahami.

Selanjutnya bagi anak rimba yang sudah mahir dan adanya dukungan dari orang tua mulai dijembatani ke sekolah formal. Kolaborasi dengan Dinas Pendidikan dan pihak sekolah menjadi sangat penting bagi kelangsungan pendidikan anak-anak orang rimba. Namun ada kalanya anak-anak orang rimba meminta dispensasi ke sekolah, tidak harus selalu pendidikan dilangsungkan di ruang kelas. Misalnya ketika orang tuanya melangun (masuk ke dalam hutan mencari makanan), anak-anak yang sekolah ikut melangun.

Dengan penyesuaian-penyesuaian tersebut beberapa anak rimba sudah berhasil mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Sebagaimana disampaikan Tumenggung Ngrip, melalui proses pendidikan yang diikuti tersebut sudah ada tiga orang anak Orang Rimba yang kini sedang belajar di Kota Jambi. Dan ada juga yang sedang mengikuti pendidikan sekolah polisi.

Kepada Nadiem, Tungganai Basemen tetua adat Orang Rimba mengatakan mereka membutuhkan guru yang datang ke lokasi pemukiman mereka.

“Kalau sekolah di luar rimba, susah anak kami bepak, kami kalau buloh minta sekolahnya di dalam rimba tempat kami," kata Tungganai.

Tungganai menjelaskan bahwa Orang Rimba masih berpindah untuk mencari penghidupan. Kondisi ini menyulitkan bagi anak-anak mereka yang ingin bersekolah. Tanpa sekolah Tungganai khawatir akan masa depan Orang Rimba ke depannya.

Sementara itu, saat memberikan keterangan pers di Candi Kedaton kawasan Percandian Muaro Jambi, Nadiem Makarim mengatakan, pengalaman bermalam bersama orang rimba tidak akan Ia lupakan seumur hidupnya. Nadiem mengatakan Ia mengambil pelajaran yang sangat berharga saat bermalam dengan orang rimba.

Nadiem memberikan apresiasi yang tinggi terhadap guru yang memberikan pendidikan kepada anak-anak orang rimba. Sebab sangat sulit untuk memberikan pendidikan yang layak terhadap anak-anak orang rimba yang hidupnya masih berpindah-pindah.

"Saya banyak belajar mengenai seperti apa pendidikan di pinggiran, tentang guru yang harus masuk hutan untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak orang rimba khususnya," kata Nadiem Makarim.

Selain itu, menurut Nadiem yang dibutuhkan orang rimba untuk menjamin pendidikan anak-anak mereka yakni adanya mata pencaharian, dimana mata pencaharian adalah kunci permasalahan yang harus ditangani secara lintas sektor, bukan hanya pendidikan.

Manager Program KKI Warsi Robert Aritonang berharap kunjungan Menteri Nadiem ke orang rimba tersebut akan membawa dukungan dari semua pihak untuk kelancaran pendidikan orang rimba.

"Kunjungan Menteri adalah bentuk kepedulian negara kepada masyarakat adat yang hingga kini masih berjuang untuk mendapatkan kesetaraan dengan warga lainnya," kata Robert Aritonang.

Dijelaskan, selama ini persoalan mendasar yang dialami oleh orang rimba adalah kehilangan sumber penghidupan, setelah hutan yang menjadi rumah mereka beralih fungsi menjadi perkebunan dan hutan tanaman. Dengan ketidakpastian sumber kehidupan, menjadikan orang rimba yang kehilangan hutan juga kesulitan untuk melanjutkan hidup mereka.

Saat ini sebagian orang rimba hidup dari memungut buah sawit. Biji-biji sawit yang sudah jatuh dari pohon diambil satu persatu dan dijual untuk membeli bahan pangan. Kondisi tersebut menyebabkan orang rimba sangat rawan berkonflik dengan pemilik konsesi.

Bahkan tak jarang mereka menjadi sasaran kekerasan pihak perusahaan. Di sisi lain, perusahaan lupa bahwa mereka sudah merampas sumber penghidupan orang rimba yang dulunya tinggal di dalam hutan itu sebelum dijadikan perkebunan.

Butuh kesadaran semua pihak untuk memahami kondisi yang dialami orang rimba tersebut. Penyelesaian persoalan terhadap orang rimba harus dilakukan secara multisektor untuk pengakuan hak orang rimba atas lahan.

"Mau dimana lagi mereka hidup, ini dulu dibenahi baru pendidikan akan memberikan hasil yang maksimal untuk mendukung kehidupan mereka," katanya.

Pewarta: Muhammad Hanapi

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2021