Surabaya, (ANTARAGORONTALO) - Kepala Biro Lemtala Srena Kepolisian RI (Polri) Brigjen Pol Gatot Eddy Pramono menegaskan bahwa Surat Edaran (SE) Kapolri tentang "Hate Speech" (Ujaran Kebencian) bukan kriminalisasi.

"Itu (SE Kapolri) bukan kriminalisasi, karena peraturan hukum yang dipakai bukan baru yakni KUHP dan UU ITE, namun ada petunjuk tentang 'Hate Speech' untuk aparat yang dikaitkan dengan KUHP dan UU ITE," katanya di Surabaya.

Dalam workshop yang dihadiri Asrena Kapolri Irjen Pol Arif Wachyunadi itu, ia menjelaskan SE "Hate Speech" itu diperlukan karena tiga hal yakni perkembangan teknologi informasi, geografis, dan pengetahuan aparat kepolisian di lapangan.

"Bagaimanapun teknologi informasi itu membuat hasutan kebencian dan ajaran radikal yang ada di ruang publik sudah mengarah pada diskriminasi, kekerasan, dan konflik sosial, bahkan ISIS-Alqaeda mengajarkan kekerasan dengan menghalalkan segala cara. Misalnya, konflik agama di Cikeusik itu dipicu Facebook (teknologi informasi)," katanya.

Di hadapan 200-an peserta workshop "Peran Polri dalam Melindungi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan" oleh Imparsial-Polri itu, ia mengatakan kondisi geografis dan dinamika urbanisasi membuat polisi kalah gesit dengan pelaku kekerasan atas nama agama.

"Konflik masyarakat pribumi dan pendatang di Bali, konflik komunitas di NTB yang dikemas dengan kecelakaan tapi mengarah pada konflik SARA, dan konflik Syiah di Sampang itu dipicu kondisi geografis yang menyulitkan polisi bergerak cepat, apalagi bila pelaku bekerja menggunakan media sosial," katanya.

Faktor yang juga tidak kalah penting adalah keterbatasan pengetahuan aparat kepolisian tentang "Hate Speech" sehingga polisi di lapangan menjadi ragu dan akhirnya tindakan "Hate Speech" tidak tertangani secara tepat.

"Karena itu, SE Kapolri menjadi pedoman penting bagi aparat," katanya.

Senada dengan itu, Kriminolog UI Prof Dr Adrianus Meliala menegaskan bahwa SE "Hate Speech" itu bukan kriminalisasi karena SE itu memang bukan kebencian yang sifatnya personal, melainkan kebencian yang bersifat serangan primordial/SARA.

"Dengan kata lain, kebencian dalam 'Hate Speech' itu merupakan prasangka aktif yakni prasangka yang dimunculkan dalam bentuk orasi, spanduk/pamflet, khutbah/ceramah, media sosial, dan sejenisnya dengan variabel berupa prasangka SARA. Jadi, bukan sekadar me-reply email, hashtag twitter, like FB, posting WA, dan lainnya," katanya.

Sementara itu, Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Setiadji menegaskan bahwa SE itu bukan cari-cari kesalahan, melainkan pedoman untuk personel di lapangan dalam bertindak.

"Sebagai pedoman, Kapolri meminta edukasi terkait "Hate Speech" itu lebih penting daripada tindak pidana. Kita akan edukasi bahwa kalau bicara begini akan menyakitkan orang lain, jadi sifatnya mencegah, bukan kriminalisasi," katanya.

Dalam kesempatan itu, Kapolda Jatim mencatat 13 konflik kebebasan beragama yang terjadi di wilayah hukumnya sejak tahun 2008 hingga kini.

"Kita banyak belajar dari konflik yang terjadi, ada yang konflik pribadi tapi diseret ke agama," katanya.

Pewarta:

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2015