Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bina Darma Rahma Santhi Zinaida meminta warganet untuk selalu kritis dalam menerima setiap informasi guna mengantisipasi penyebaran berita bohong atau hoaks.
"Cermatilah baik-baik judul beritanya, serta berhati-hati dengan provokasi serta periksa sumber tulisannya,” kata Rahma dalam rilis pers yang diterima, Sabtu.
Rahma menyampaikan hal tersebut dalam webinar bertema “Jadilah Warganet Cerdas, Tangkal Hoaks di Platform Digital” yang diinisiasi Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi di Samarinda, Kalimantan Timur, baru-baru ini.
Rahma mengatakan penyebaran hoaks yang kian masif dapat menjadi pintu masuk warganet untuk membuka data pribadinya dan sampai akhirnya terbongkar identitas pribadi yang bersifat rahasia.
Menurut dia, untuk memproteksi diri dari ancaman berita bohong tersebut, warganet harus waspada terhadap tautan ataupun file yang tidak dikenal, baik dikirim via email, media sosial, maupun aplikasi percakapan.
“Berpikirlah secara kritis, jangan sampai dengan serta merta setiap informasi yang masuk langsung ditangkap dan disebarkan," kata dia.
Sementara itu, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Olivia Lewi Pramesti menilai masyarakat mudah percaya akan sebarkan berita bohong atau hoaks karena beberapa alasan.
Antara lain efek barnum atau merasa benar karena telah viral, terjadinya pengulangan pesan yang diterima, penurunan kepercayaan pada media arus utama akibat tertipu judul berita, ketakutan secara psikologis, serta hanya menerima satu sumber.
Sedangkan upaya yang dapat dilakukan warganet untuk menangkal berita hoaks misalnya, dengan memanfaatkan fitur mesin pencari, verifikasi fakta lewat situs Cekfakta atau Turnbackhoax, serta berhati-hati terhadap judul berita yang mencurigakan seperti mengandung kata viralkan atau astaga.
“Telah terjadi transformasi pergeseran digital masyarakat Indonesia, sudah banyak yang menggunakan internet atau mencapai 77 persen, bahkan penggunanya lebih sering bermain di media sosial. Tapi sayangnya, literasi atau sub indeksnya rendah, yaitu tingkat kritisi akan berita dari media sosial yang rendah sehingga langsung percaya hoaks maupun konten negatif lainnya,” kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2022
"Cermatilah baik-baik judul beritanya, serta berhati-hati dengan provokasi serta periksa sumber tulisannya,” kata Rahma dalam rilis pers yang diterima, Sabtu.
Rahma menyampaikan hal tersebut dalam webinar bertema “Jadilah Warganet Cerdas, Tangkal Hoaks di Platform Digital” yang diinisiasi Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi di Samarinda, Kalimantan Timur, baru-baru ini.
Rahma mengatakan penyebaran hoaks yang kian masif dapat menjadi pintu masuk warganet untuk membuka data pribadinya dan sampai akhirnya terbongkar identitas pribadi yang bersifat rahasia.
Menurut dia, untuk memproteksi diri dari ancaman berita bohong tersebut, warganet harus waspada terhadap tautan ataupun file yang tidak dikenal, baik dikirim via email, media sosial, maupun aplikasi percakapan.
“Berpikirlah secara kritis, jangan sampai dengan serta merta setiap informasi yang masuk langsung ditangkap dan disebarkan," kata dia.
Sementara itu, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Olivia Lewi Pramesti menilai masyarakat mudah percaya akan sebarkan berita bohong atau hoaks karena beberapa alasan.
Antara lain efek barnum atau merasa benar karena telah viral, terjadinya pengulangan pesan yang diterima, penurunan kepercayaan pada media arus utama akibat tertipu judul berita, ketakutan secara psikologis, serta hanya menerima satu sumber.
Sedangkan upaya yang dapat dilakukan warganet untuk menangkal berita hoaks misalnya, dengan memanfaatkan fitur mesin pencari, verifikasi fakta lewat situs Cekfakta atau Turnbackhoax, serta berhati-hati terhadap judul berita yang mencurigakan seperti mengandung kata viralkan atau astaga.
“Telah terjadi transformasi pergeseran digital masyarakat Indonesia, sudah banyak yang menggunakan internet atau mencapai 77 persen, bahkan penggunanya lebih sering bermain di media sosial. Tapi sayangnya, literasi atau sub indeksnya rendah, yaitu tingkat kritisi akan berita dari media sosial yang rendah sehingga langsung percaya hoaks maupun konten negatif lainnya,” kata dia.
Adapun Ketua Umum Ikatan Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Pitoyo memaparkan tentang kiat-kiat menerapkan etika yang baik dalam bermedia digital.
Menurutnya, prinsip dasar menjalankan etika di dunia maya dimulai dari menjaga privasi, memberi rasa aman, serta menunjukkan integritas. Selain itu, ketika beraktivitas di media sosial warganet harus menjaga kepercayaan publik baik dalam mengunggah konten, berbagi informasi, maupun saat berkomentar.
Warganet juga perlu waspada terhadap bias saat menerima maupun ketika menyampaikan informasi, contohnya bias alam bawah sadar karena sering berpikir negatif, bias konfirmasi, serta bias data.
“Awali dari diri sendiri inilah yang penting untuk terus mempromosikan kepercayaan publik, kemudian waspada akan bias data dan pesan agar jangan mudah percaya dan terprovokasi. Ingat, terprovokasi karena informasi yang masuk tidak ada untungnya,” ujar Pitoyo.
Diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menghadirkan program Gerakan Nasional Literasi Digital yang diharapkan dapat mendorong masyarakat menggunakan internet secara cerdas, positif, kreatif, dan produktif.
Kemenkominfo bersama GNLD Siberkreasi juga terus menjalankan program Indonesia Makin Cakap Digital melalui kegiatan-kegiatan literasi digital yang disesuaikan pada kebutuhan masyarakat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akademisi minta warganet kritis terima informasi guna cegah hoaks
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akademisi minta warganet kritis terima informasi guna cegah hoaks
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2022