Gorontalo, (ANTARA GORONTALO) - Bupati Pohuwato Syarif Mbuinga mengatakan pihaknya mendapatkan stigma buruk sebagai perusak hutan mangrove, karena semakin banyaknya tambak di kawasan itu.
"Di luar ada stigma seakan-akan saya ini penyebab semuanya. Kami dianggap melakukan pembiaran terhadap alih fungsi mangrove menjadi tambak dan sebagainya," ungkapnya saat Dialog Publik "Satu Langkah Lindungi Ekosistem Pesisir Dari Kerusakan Mangrove", di Gorontalo, Sabtu.
Menurutnya tuduhan tersebut sangat subyektif, karena ia mengklaim pemda telah melakukan berbagai upaya penyelematan hutan mangrove bersama seluruh pihak terkait seperti akademisi, LSM hingga kepolisian.
"Kalau kita mau jujur, sejak kapan sih mangrove di Pohuwato ini rusak? Tahun 1980-an bahkan ada SK Gubernur Sulawesi Utara, tahun 1990-an ada SK Bupati. Kami menerima warisan yang sangat pahit," lanjutnya.
Ia menilai persoalan mangrove tidak bisa hanya diselesaikan oleh pemerintah, sehingga tidak bisa dibebankan pada satu pihak atau institusi.
Syarif mengaku tidak nyaman atas stigma tersebut, karena isu mangrove melibatkan masalah "perut" rakyat dan degradasi lingkungan.
"Sesungguhnya ada kapitalis di belakang rakyat yang menggunakan kemampuan uangnya untuk membeli lahan mangrove. Hari ini langkah kebijakan yang kami buat mengawinkan kepentingan lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat," tambahnya.
Sementara itu aktivis lingkungan, Rahman Dako menilai beberapa penyebab rusaknya hutan mangrove di Pohuwato diantaranya adalah alih fungsi lahan.
"Bahkan ada oknum polisi yang terlibat dalam jual beli lahan mangrove. Perlu ada penindakan tegas karena Pohuwato ini adalah yang paling luas kawasan mangrovenya di Gorontalo," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2016
"Di luar ada stigma seakan-akan saya ini penyebab semuanya. Kami dianggap melakukan pembiaran terhadap alih fungsi mangrove menjadi tambak dan sebagainya," ungkapnya saat Dialog Publik "Satu Langkah Lindungi Ekosistem Pesisir Dari Kerusakan Mangrove", di Gorontalo, Sabtu.
Menurutnya tuduhan tersebut sangat subyektif, karena ia mengklaim pemda telah melakukan berbagai upaya penyelematan hutan mangrove bersama seluruh pihak terkait seperti akademisi, LSM hingga kepolisian.
"Kalau kita mau jujur, sejak kapan sih mangrove di Pohuwato ini rusak? Tahun 1980-an bahkan ada SK Gubernur Sulawesi Utara, tahun 1990-an ada SK Bupati. Kami menerima warisan yang sangat pahit," lanjutnya.
Ia menilai persoalan mangrove tidak bisa hanya diselesaikan oleh pemerintah, sehingga tidak bisa dibebankan pada satu pihak atau institusi.
Syarif mengaku tidak nyaman atas stigma tersebut, karena isu mangrove melibatkan masalah "perut" rakyat dan degradasi lingkungan.
"Sesungguhnya ada kapitalis di belakang rakyat yang menggunakan kemampuan uangnya untuk membeli lahan mangrove. Hari ini langkah kebijakan yang kami buat mengawinkan kepentingan lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat," tambahnya.
Sementara itu aktivis lingkungan, Rahman Dako menilai beberapa penyebab rusaknya hutan mangrove di Pohuwato diantaranya adalah alih fungsi lahan.
"Bahkan ada oknum polisi yang terlibat dalam jual beli lahan mangrove. Perlu ada penindakan tegas karena Pohuwato ini adalah yang paling luas kawasan mangrovenya di Gorontalo," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2016