Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Sebanyak 17 negara berekonomi besar termasuk
salah satunya Indonesia, membahas langkah pengurangan emisi gas rumah
kaca (GRK) di New York Amerika Serikat.
Dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Senin, dalam pertemuan tersebut Indonesia diwakili oleh Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim (UKP-PPI), Rachmat Witoelar beserta perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Luar Negeri, dan Kepala Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia.
Negara-negara yang ikut membahas dalam pertemuan tersebut yaitu Australia, Brazil, Kanada, China, Uni Eropa, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Afrika Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat.
Pada kegiatan Major Economies Forum on Energy and Climate (MEF) yang telah dilaksanakan pada 23-24 April 2016 tersebut, pembahasan difokuskan pada proses ratifikasi hasil dari konferensi global perubahan iklim di Paris bulan Desember tahun 2015 atau yang dikenal sebagai Kesepakatan Paris (Paris Agreement) mengenai upaya global pengendalian perubahan iklim.
Selain itu, MEF juga membahas tentang prioritas pada konferensi global perubahan iklim berikutnya (Conference of Parties/COP ke-22) di Marakesh, Maroko pada akhir tahun 2016.
"Saya berharap Indonesia dapat segera memasuki proses ratifikasi. Indonesia harus jadi salah satu dari 55 negara pertama yang melakukan ratifikasi. Ini sebagai upaya untuk menunjukkan keseriusan Indonesia menangani perubahan iklim," kata Rachmat Witoelar pada kesempatan itu.
Rachmat Witoelar dalam pertemuan tersebut juga menyampaikan beberapa perkembangan di Indonesia terkait proses ratifikasi Kesepakatan Paris; harapan untuk COP ke-22 di Marakesh; dan upaya nasional terkait pengendalian perubahan iklim.
Rachmat Witoelar juga mengingatkan bahwa komitmen masing-masing negara yang disampaikan pada Conference of Parties ke-21 pada 2015 masih kurang untuk mencapai tujuan mencegah kenaikan suhu permukaan rata-rata bumi lebih dari dua derajat celcius.
"Kesepakatan Paris merupakan momentum penting untuk memberi sinyal bagi pemerintah dunia, masyarakat, dan terutama sektor bisnis bahwa seluruh dunia serius mengendalikan perubahan iklim dan tidak ada pilihan lain bagi semua pihak kecuali melakukan pembangunan yang rendah karbon," tambah dia.
Negara peserta juga berdiskusi mengenai upaya nasional terkait implementasi aksi pengendalian perubahan iklim serta perkembangan pembahasan Protokol Montreal terkait penggunaan gas hydrofluoro carbon (HFC) pada pendingin ruangan serta pengurangan emisi dari industri penerbangan.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2016
Dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Senin, dalam pertemuan tersebut Indonesia diwakili oleh Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim (UKP-PPI), Rachmat Witoelar beserta perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Luar Negeri, dan Kepala Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia.
Negara-negara yang ikut membahas dalam pertemuan tersebut yaitu Australia, Brazil, Kanada, China, Uni Eropa, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Afrika Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat.
Pada kegiatan Major Economies Forum on Energy and Climate (MEF) yang telah dilaksanakan pada 23-24 April 2016 tersebut, pembahasan difokuskan pada proses ratifikasi hasil dari konferensi global perubahan iklim di Paris bulan Desember tahun 2015 atau yang dikenal sebagai Kesepakatan Paris (Paris Agreement) mengenai upaya global pengendalian perubahan iklim.
Selain itu, MEF juga membahas tentang prioritas pada konferensi global perubahan iklim berikutnya (Conference of Parties/COP ke-22) di Marakesh, Maroko pada akhir tahun 2016.
"Saya berharap Indonesia dapat segera memasuki proses ratifikasi. Indonesia harus jadi salah satu dari 55 negara pertama yang melakukan ratifikasi. Ini sebagai upaya untuk menunjukkan keseriusan Indonesia menangani perubahan iklim," kata Rachmat Witoelar pada kesempatan itu.
Rachmat Witoelar dalam pertemuan tersebut juga menyampaikan beberapa perkembangan di Indonesia terkait proses ratifikasi Kesepakatan Paris; harapan untuk COP ke-22 di Marakesh; dan upaya nasional terkait pengendalian perubahan iklim.
Rachmat Witoelar juga mengingatkan bahwa komitmen masing-masing negara yang disampaikan pada Conference of Parties ke-21 pada 2015 masih kurang untuk mencapai tujuan mencegah kenaikan suhu permukaan rata-rata bumi lebih dari dua derajat celcius.
"Kesepakatan Paris merupakan momentum penting untuk memberi sinyal bagi pemerintah dunia, masyarakat, dan terutama sektor bisnis bahwa seluruh dunia serius mengendalikan perubahan iklim dan tidak ada pilihan lain bagi semua pihak kecuali melakukan pembangunan yang rendah karbon," tambah dia.
Negara peserta juga berdiskusi mengenai upaya nasional terkait implementasi aksi pengendalian perubahan iklim serta perkembangan pembahasan Protokol Montreal terkait penggunaan gas hydrofluoro carbon (HFC) pada pendingin ruangan serta pengurangan emisi dari industri penerbangan.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2016