Indonesia sebagai salah satu negara anggota G20, kini dipandang sebagai negara dengan ekonomi berkembang yang memiliki prospek menjanjikan.
Namun di balik pencapaian tersebut, ada kenyataan kontras yang hingga kini masih membayangi, yakni sekitar 25 persen anak Indonesia tidak memiliki akses terhadap makanan.
"Apa gunanya Indonesia menjadi anggota G20, jika 25 persen anak-anak di negara ini tidak punya cukup makanan?," ujar Presiden Prabowo Subianto saat hadir di Indonesia-Brazil Business Forum, di Rio de Janeiro, Brasil, pada 17 November lalu.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, populasi anak usia 0--19 tahun di Indonesia mencapai sekitar 88,7 juta jiwa. Artinya, lebih dari 22 juta anak hidup dalam kondisi ketidakcukupan pangan.
Situasi itu pun menempatkan Indonesia di urutan ke-77 dari total 127 negara di dunia dengan tingkat kerawanan pangan berkategori 'sedang' versi laporan terbaru Indeks Kelaparan Global yang diumumkan via laman Global Hunger Index.
Laporan tahunan yang diterbitkan oleh organisasi nonpemerintah dari Jerman, Welthungerhilfe, itu menempatkan Indonesia di posisi yang cukup serius dibandingkan anggota G20 lainnya.
Berdasarkan data tersebut, 7,2 persen populasi Indonesia kekurangan gizi, 26,8 persen anak mengalami stunting, 10 persen balita kekurangan gizi, dan 2,1 persen angka kematian balita dengan akumulasi skor 16,9.
Sebagai perbandingan, Afrika Selatan justru berada di posisi lebih baik dari Indonesia, menduduki peringkat ke-60 dengan skor 12,5. India berstatus tingkat kelaparan serius dengan skor 27,3, menduduki peringkat ke-105.
Belajar dari Brasil dan India
Pada kesempatan G20 di Brasil, Presiden menyatakan ketertarikannya mengadopsi pendekatan program pemberian makan gratis di Brasil untuk anak-anak sekolah di Indonesia.
Brasil dikenal menghadapi tantangan besar dalam mengatasi kemiskinan dan kelaparan. Fome Zero atau Tanpa Kelaparan jadi program prioritas Presiden Luiz Inácio Lula da Silva, yang terpilih pada 2003, untuk menjamin setiap warga Brasil bisa makan tiga kali sehari.
Meski awalnya menghadapi tantangan birokrasi dan kritik, Lula tetap mendorong implementasinya dengan menunjuk pakar pertanian, José Graziano da Silva, untuk memimpin program tersebut.
Pemerintah setempat memproduksi pangan sehat sendiri, mendukung petani lokal untuk memproduksi nasi, telur, daging, sayuran, hingga buah, serta memastikan akses kredit serta bantuan teknis permodalan.
Hasilnya, angka kelaparan di Brasil menurun drastis. Pada tahun 2003, 12 persen populasi Brasil atau setara 22 juta orang mengalami kelaparan, tetapi angka itu menurun lebih dari setengahnya menjadi hanya 10 juta pada akhir masa jabatan Lula.
Program ini juga meningkatkan partisipasi anak-anak di sekolah karena mereka mendapat makanan bergizi, dengan porsi makanan tergantung pada kondisi ekonomi daerah.
Keberhasilan Lula diakui secara global. Pada 2010, ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pemberantasan Kelaparan oleh Badan Pangan PBB (WFP). Program Fome Zero menjadi model yang diadopsi di negara lain, terutama di Afrika, untuk mengatasi kelaparan dunia.
Laporan terbaru berdasarkan survei Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) RI ke Kota Rio de Janeiro, Brasil, pada 23 Juli, anggaran program makan siang ini melibatkan dana pusat dan negara bagian, dengan biaya per siswa sekitar BRL1,5 atau sekitar Rp4.400.
Sejumlah restoran dilibatkan untuk memproduksi 1.800 hingga 3.000 porsi makanan gratis untuk masyarakat miskin, lansia, dan penyandang disabilitas. Kemudian, untuk masyarakat umum lainnya dikenai biaya yang sangat terjangkau untuk satu porsi makanan.
Selain mengadopsi skema Brasil, Indonesia juga mempelajari program makan siang di sekolah di India, dikenal sebagai Mid-Day Meal Scheme, yang diluncurkan untuk mengatasi kekurangan gizi, mendukung pendidikan, dan mengurangi kelaparan di kalangan anak-anak.
Dimulai pada 1925 di Chennai, skema ini berkembang menjadi program nasional bernama PM Poshan Shakti Nirman (PM Poshan), yang menyediakan makan siang gratis di sekolah-sekolah negeri dan bantuan pemerintah.
Sejak 1995, program ini secara resmi diperluas melalui Program Nasional Dukungan Gizi untuk Pendidikan Dasar, bertujuan meningkatkan partisipasi, kehadiran, dan status gizi anak-anak.
Dalam perjalanan waktu, pemerintah setempat memperbarui aturan, seperti menyesuaikan kandungan gizi makanan hingga mencakup 700 kalori dan 20 gram protein per sajian. Selain itu, anggaran memasak pun ditingkatkan, memastikan kelancaran pelaksanaan.
Keunikan program ini dibanding negara lain adalah mandatnya berdasarkan Undang-Undang Ketahanan Pangan, yang menjadikan pemberian makan sebagai kewajiban hukum.
Program ini tidak hanya membantu meringankan beban ekonomi keluarga tetapi juga berdampak positif terhadap kesehatan, pendidikan, dan perkembangan generasi berikutnya.
Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan Hamdan Hamedan menyebut bahwa ragam studi di India menunjukkan Makan Bergizi Gratis bagi anak-anak dapat meningkatkan nilai siswa di bidang membaca hingga 18 persen dan matematika hingga 9 persen, termasuk peningkatan pertumbuhan anak dan pengurangan stunting di India.
Implementasi di RI
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia dijadwalkan bergulir mulai 2 Januari 2025. Pada tahap awal, program ini akan berlangsung selama 3 bulan dengan menyasar 3 juta penerima manfaat dan dialokasikan anggaran sebesar Rp71 triliun dari APBN.
Setelah 3 bulan pertama, kuota penerima manfaat direncanakan akan ditambah untuk tahap berikutnya hingga mencapai target 82,9 juta jiwa.
Setiap anak akan menerima makanan bergizi gratis satu kali sehari dengan nilai Rp15 ribu per siswa. Pembagian makanan dilakukan dalam tiga jadwal berbeda sesuai jenjang pendidikan.
Untuk siswa SMP dan SMA, makanan dibagikan pukul 12.00, siswa kelas 3 hingga 6 SD menerima makanan pada pukul 09.30, sedangkan siswa PAUD hingga kelas 2 SD mendapat makanan setiap pukul 08.00.
Meski alokasi anggaran APBN yang dialokasikan Rp15 ribu per anak, Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana memastikan implementasi di lapangan akan bersifat fleksibel, bergantung pada kebutuhan dan pemahaman masing-masing daerah.
Mirip seperti di Brasil, jika ada daerah yang menghabiskan anggaran lebih sedikit, sisa anggaran tersebut akan dialihkan ke daerah lain yang membutuhkan dana tambahan, terutama yang menghadapi harga bahan baku lebih tinggi.
Anggaran tersebut tidak digunakan untuk membeli paket makanan jadi, melainkan untuk membeli bahan baku yang akan dimasak di lokasi dengan melibatkan peran masyarakat maupun usaha katering lokal. Setiap menu akan memiliki perhitungan tersendiri, termasuk ongkos tenaga kerja yang memasak makanan tersebut.
Badan Gizi Nasional juga menempatkan seorang ahli gizi di setiap kantor layanan MBG yang bertanggung jawab memastikan komposisi nutrisi sesuai dengan standar gizi nasional.
Badan Gizi Nasional pun telah menetapkan bahwa badan usaha milik desa (BUMDes) dan koperasi menjadi pemasok bahan pangan MBG. Lalu mereka juga akan membentuk 86 unit satuan pelayanan gizi (SPG).
SP itu akan menyebar ke seluruh desa dan kelurahan dengan skala pelayanan yakni 1 banding 3 ribu jiwa atau 1 satuan pelayanan gizi melayani 3 ribu jiwa yang di dalamnya yang mencakup siswa dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga SMA, ibu hamil dan menyusui, serta balita.
Sebagai penutup, program MBG di Indonesia dirancang untuk mengatasi krisis gizi dan ketahanan pangan dengan belajar dari keberhasilan program serupa di sejumlah negara.
Dengan alokasi anggaran yang signifikan dan dukungan dari komunitas lokal, program ini dirancang mampu meningkatkan kualitas kesehatan, pendidikan, dan masa depan generasi muda Indonesia secara berkelanjutan.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Makan Bergizi Gratis harapan baru bagi anak Indonesia
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2024