Iran siap berunding dengan negara-negara Barat dalam kerangka kesepakatan nuklir yang ditandatangani pada 2015 untuk mencabut sanksi ekonomi yang dijatuhkan kepada negara tersebut atas program nuklirnya, kata Wakil Menteri Luar Negeri Iran Majid Takht-Ravanchi, Selasa (7/1).

Takht-Ravanchi, mantan utusan untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menyampaikan pernyataan tersebut dalam sebuah wawancara dengan majalah Italia Affari Internazionalu dan stasiun radio Radicale, yang menguraikan posisi Iran mengenai perundingan nuklir yang kini terhenti dengan negara-negara Eropa.

Perundingan tersebut diharapkan akan dilanjutkan sebelum Presiden terpilih AS Donald Trump kembali ke Gedung Putih dalam waktu kurang dari dua minggu.

Dia menekankan bahwa setiap perundingan akan dilakukan dalam kerangka Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), yang ditinggalkan secara sepihak oleh Amerika Serikat di bawah Trump pada 2018, yang membuat nasibnya tidak menentu hingga hari ini.

Sebagai anggota Perjanjian Non-Proliferasi (NPT), Takht-Ravanchi menyatakan bahwa Iran secara inheren berhak atas program energi nuklir yang damai. Dia menegaskan bahwa hak-hak itu telah berulang kali dilanggar oleh pihak-pihak lain yang terlibat.

Perselisihan yang telah berlangsung lama atas program nuklir Iran sebagian besar berasal dari penolakan hak-haknya berdasarkan NPT, diplomat senior itu menambahkan.

Ketegangan semakin meningkat ketika, katanya, berkas Iran secara tidak adil dirujuk ke Dewan Keamanan PBB yang mengakibatkan beberapa putaran sanksi terhadap Iran.

"Kami selalu menyatakan bahwa kami tidak mencari senjata nuklir. Sebagai anggota NPT, senjata nuklir tidak memiliki tempat dalam doktrin pertahanan kami," katanya.

Dia menegaskan bahwa banyak laporan dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA) telah mengonfirmasi kepatuhan penuh Iran terhadap komitmennya berdasarkan JCPOA. Namun, AS sebagai penandatangan kesepakatan tersebut, gagal menegakkan kewajibannya sejak hari pertama, tambahnya.

Pelanggaran yang dilakukan AS berujung pada penarikan diri dari kesepakatan yang didukung PBB, kata Takht-Ravanchi. Para penandatangan kesepakatan Eropa mendesak Iran saat itu untuk tidak keluar dari JCPOA, dan berjanji untuk memberikan kompensasi atas kerugian ekonomi yang diderita oleh keputusan AS.

"Kami menunggu selama setahun, tetapi sayangnya, negara-negara Eropa tidak dapat atau tidak ingin memenuhi komitmen mereka," katanya. Akibatnya, pada 2019, Iran mulai secara bertahap mengurangi kewajibannya berdasarkan JCPOA.

Ketika ditanya tentang kemungkinan implikasi dari masa jabatan kedua Trump sebagai presiden bagi Iran, wakil menteri tersebut menekankan, "Kami menilai AS berdasarkan tindakannya, bukan retorikanya."

Takht-Ravanchi selanjutnya menyarankan pemerintahan AS yang baru untuk melepaskan kebijakan "tekanan maksimum" yang gagap terhadap Iran, yang telah dijanjikan Trump untuk diberlakukan kembali secara penuh setelah kembali ke Gedung Putih. "Mengapa Amerika ingin menegakkan kebijakan yang gagal lagi?" tanyanya.

Sumber: IRNA-OANA

 

 


Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Iran siap untuk perundingan nuklir dalam kerangka JCPOA

Pewarta: Cindy Frishanti Octavia

Editor : Debby H. Mano


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2025