Berbicara tentang nasionalisme tak bisa dilepaskan dengan rasa cinta dan kesetiaan kepada bangsa sendiri.

Sebab nasionalisme berarti semangat kebangsaan yang menganggap bahwa kesetiaan tertinggi setiap individu harus diberikan kepada negara dan bangsanya.

Secara etimologi, kata “nasionalisme” berasal dari kata Latin “natio” yang berarti kelahiran, dan kemudian berkembang menjadi kata “nation” dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Belanda yang berarti bangsa.

Sikap nasionalisme ini dapat diajarkan sejak dini, sehingga saat dewasa nanti dapat diterapkan dengan baik.

Dari perspektif konsumen, nasionalisme konsumen erat kaitannya dengan sikap dan perilaku konsumen yang memilih produk-produk dalam negeri daripada produk impor, dengan tujuan meningkatkan perekonomian nasional; mendukung industri dalam negeri; mempertahankan identitas budaya; dan mengurangi ketergantungan pada produk impor.

Dalam kaitannya dengan produksi beras dalam negeri, sikap nasionalisme ini, benar-benar sangat dibutuhkan. Terlebih di kalangan masyarakat tertentu yang selama ini lebih memilih beras luar negeri untuk konsumsi kesehariannya.

Bila dikaitkan dengan makna nasionalisme, sikap seperti ini, betul-betul tidak mendukung rasa cinta terhadap produksi dalam negeri.

Hal yang kemudian menjadi tantangan adalah ketika daya beli masyarakat terutama dari kalangan menengah semakin tinggi, umumnya mereka memang akan tergoda untuk menjajal bahkan memilih produk impor.

Contoh konkretnya ketika demi gengsi sosial, kalangan menengah ke atas membiasakan diri untuk konsumsi beras produk impor ketimbang hasil produksi petani di dalam negeri.

Segudang alasan diberikan, misalnya karena tampilan beras impor dengan harga cukup mahal ini, lebih bagus dipandang mata karena ukurannya relatif seragam, warnanya lebih ceras, atau ada pertimbangan lain yang mereka miliki.

Memang produksi beras para petani dalam negeri umumnya memiliki tingkat kerusakan atau broken di atas 5 persen, sehingga kurang prima dipandang mata.

Namun bila dihubungkan dengan rasa, belum tentu beras petani negeri ini, tidak lebih pulen dibandingkan dengan beras impor. Bahkan dari kandungan gizinya pun, beras dalam negeri, boleh bersaing dengan beras impor.

Penampakan beras dalam negeri, kerap kali memang betul kurang menarik minat konsumen tertentu, tapi cita rasa dan kandungan gizi, sepertinya belum tentu kalah bersaing.

Namun sayangnya bagi golongan masyarakat tertentu, justru penampakan ini yang lebih dipentingkan. Dengan kata lain, yang mereka beli, bukan hanya beras untuk dikonsumsi, namun mereka pun akan mengeluarkan dana untuk membeli gengsi sosial dan tampilannya pula.

Jika kebiasaan ini ditradisikan maka beras petani dalam negeri bisa merana sehingga nasionalisme beras perlu untuk terus digaungkan.


Panen Raya

Tidak lama lagi panen raya padi akan tiba. Di beberapa daerah pada Februari 2025 sudah akan ada yang melaksanakan panen.

Yang dikhawatirkan adalah panen di musim hujan. Bisa dibayangkan betapa risaunya petani dalam semangat untuk menghasilkan gabah berkualitas. Dengan teknologi yang terbatas, mereka harus melakukan pengeringan gabah dengan optimal.

Bantuan sosial di bidang teknologi pasca-panen, memang tidak segencar pemberian bantuan teknologi di bidang budidaya.

Gencarnya pemberian bantuan membuat ada kelompok tani yang di rumahnya terparkir minimal dua traktor.

Idealnya perlu ada bantuan Alsintan bagi petani sehingga bantuan relatif beragam antara Alsintan budidaya dan Alsintan pasca-panen, sehingga petani pun tidak akan kesulitan misalnya untuk mengeringkan gabahnya, mengingat panen berlangsung di musim hujan.

Masalah semakin rumit, jika fenomena La Nina pun turut menyergap ke tengah-tengah kehidupan petani, praktis panen raya pun berubah menjadi tragedi kehidupan.

Kalau ini yang terjadi, dapat dipastikan penampakan beras yang dihasilkan petani dalam negeri, tidak akan seindah penampakan beras impor.

Belum lagi potensi broken atau tingkat kerusakan beras yang bisa di atas 5 persen. Itu sebabnya, untuk menjawab persoalan ini dibutuhkan tumbuhnya nasionalisme masyarakat untuk tetap membeli beras sekaligus memberi penghormatan atas jerih payah petani memproduksi padi.

Masyarakat perlu untuk dikuatkan literasinya tentang tiga nilai filosofi nasionalisme Indonesia. Pertama, nilai dasar yakni kesatuan dan persatuan dengan mengutamakan kebersamaan dan kesatuan bangsa; kemandirian dengan menghargai kemerdekaan dan otonomi; keadilan sosial dengan mempromosikan kesetaraan dan keadilan; demokrasi dengan menghormati hak dan suara rakyat, serta nasionalisme inklusif dengan mengakui dan menghargai keberagaman.

Kedua, nilai moral seperti patriotisme dengan mengutamakan kepentingan bangsa; solidaritas dengan menghargai persatuan dan kesatuan; kesabaran dalam menghadapi tantangan dengan bijak; kebijaksanaan dengan mengambil keputusan untuk kepentingan bangsa; dan ketaatan pada konstitusi dengan menghormati UUD 1945.

Ketiga, nilai spiritual yakni Ketuhanan dengan mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa; kebangsaan dengan menghargai identitas nasional; kemanusiaan dengan menghormati hak dan martabat manusia; keadilan moral dengan mengutamakan kebenaran dan keadilan dan kesadaran sejarah dengan menghargai perjuangan bangsa.

Nilai-nilai nasionalisme ini perlu dikuatkan ke kalangan masyarakat sebagai konsumen beras sehingga masyarakat akan membeli beras atas dasar cita rasa dan gizi yang dikandungnya, tidak cuma berdasarkan penampakannya secara kasat mata.

Pemerintah termasuk Bulog di dalamnya sebagai operator pangan diharapkan dapat lebih gencar melakukan sosialisasi dan memperluas literasi beras petani lokal agar konsumen beras semakin cerdas, bernas, dan nasionalis untuk tetap membeli beras petani dalam negeri.


*) Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.


Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Nasionalisme konsumen beras

Pewarta: Entang Sastraatmadja*)

Editor : Debby H. Mano


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2025