Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru memberikan akses yang lebih setara dan berkeadilan kepada peserta didik tanpa melihat latar belakang kemampuan atau perbedaan status sosial ekonomi.
"Kewajiban pemerintah dan sekolah adalah memastikan semua anak mendapat pendidikan dengan memperhatikan anak harus masuk ke sekolah terdekat dari rumahnya," ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Mendikbud Effendy menyebut pada dasarnya anak bangsa memiliki hak yang sama dalam pendidikan.
Oleh karena itu, katanya, tidak boleh ada diskriminasi, hak ekslusif, kompetisi yang berlebihan untuk mendapatkan layanan pemerintah.
Dia menambahkan apabila seorang anak yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu tidak mendapat sekolah di dalam zonanya, mereka akan berpotensi putus sekolah karena kendala biaya.
Ia bercerita tentang seorang peserta didik dengan latar belakang keluarga tidak mampu yang terpaksa harus bersekolah di tempat yang jaraknya mencapai 15 kilometer dari rumah. Anak itu harus berangkat pukul 05.30 dan baru sampai ke rumah pukul 18.30 setiap harinya.
"Kapan waktunya untuk belajar? Kapan waktunya untuk beristirahat? Belum biayanya untuk transportasi. Padahal di dekat rumahnya ada sekolah negeri, tapi karena nilainya tidak mencukupi, dia tidak bisa sekolah di sana. Ini 'kan tidak benar," tuturnya.
Masyarakat yang mampu diminta ikut berpartisipasi dengan membantu sekolah yang ada di sekitarnya sehingga pada saatnya semua sekolah kualitasnya menjadi baik.
Selain itu, dalam jangka panjang, pemerintah juga harus menanggung risiko urbanisasi dari penduduk yang tidak memiliki kecakapan kerja dan wawasan hidup, serta hilangnya penduduk yang diharapkan dapat membangun wilayah asalnya.
Oleh karena itu, Kemendikbud meminta ketegasan Dinas Pendidikan menindak sekolah swasta yang tidak memberikan layanan baik kepada siswa, khususnya yang terindikasi hanya beroperasi demi mendapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah.
"Kalau anak tidak mendapatkan pendidikan yang baik, yang menanggung bebannya bukan sekolahnya, tetapi negara dan masyarakat. Maka itu, saya mohon agar Dinas Pendidikan juga dapat memberikan perhatian dan pembinaan sekolah-sekolah swasta di wilayahnya," kata dia.
Ia meminta orang tua tidak perlu resah dan khawatir berlebihan dengan penerapan zonasi pendidikan pada PPDB.
Ia mengajak para orang tua mengubah cara pandang dan pola pikir terkait dengan "sekolah favorit/unggulan".
Ia memahami masyarakat masih resisten dengan konsep tersebut.
Mendikbud Effendy meminta agar jangan sampai sekolah mengklaim sebagai unggulan hanya karena menerima anak-anak yang pandai dan umumnya dari keluarga dengan ekonomi menengah ke atas, yang mampu memberikan fasilitas penunjang belajar anak.
Sekolah, khususnya sekolah negeri, katanya, harus mendidik semua siswa tanpa terkecuali.
Ia menjelaskan prestasi itu tidak diukur dari asal sekolah, tetapi masing-masing individu anak yang akan menentukan prestasi dan masa depannya.
Pada dasarnya, katanya, setiap anak itu mempunyai keistimewaan dan keunikan sendiri.
"Dan kalau itu dikembangkan secara baik itu akan menjadi modal untuk masa depan. Ke depan, yang unggul itu individu-individunya. Sekolah hanya memfasilitasi belajar siswa," katanya.
Pendekatan zonasi erat kaitannya dengan penguatan pendidikan karakter. Sesuai ajaran Ki Hajar Dewantara, pemerintah mendorong sinergi antara pihak sekolah (guru), rumah (orang tua), dan lingkungan sekitar (masyarakat). Ekosistem pendidikan yang baik tersebut dapat mudah diwujudkan melalui pendekatan zonasi.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019
"Kewajiban pemerintah dan sekolah adalah memastikan semua anak mendapat pendidikan dengan memperhatikan anak harus masuk ke sekolah terdekat dari rumahnya," ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Mendikbud Effendy menyebut pada dasarnya anak bangsa memiliki hak yang sama dalam pendidikan.
Oleh karena itu, katanya, tidak boleh ada diskriminasi, hak ekslusif, kompetisi yang berlebihan untuk mendapatkan layanan pemerintah.
Dia menambahkan apabila seorang anak yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu tidak mendapat sekolah di dalam zonanya, mereka akan berpotensi putus sekolah karena kendala biaya.
Ia bercerita tentang seorang peserta didik dengan latar belakang keluarga tidak mampu yang terpaksa harus bersekolah di tempat yang jaraknya mencapai 15 kilometer dari rumah. Anak itu harus berangkat pukul 05.30 dan baru sampai ke rumah pukul 18.30 setiap harinya.
"Kapan waktunya untuk belajar? Kapan waktunya untuk beristirahat? Belum biayanya untuk transportasi. Padahal di dekat rumahnya ada sekolah negeri, tapi karena nilainya tidak mencukupi, dia tidak bisa sekolah di sana. Ini 'kan tidak benar," tuturnya.
Masyarakat yang mampu diminta ikut berpartisipasi dengan membantu sekolah yang ada di sekitarnya sehingga pada saatnya semua sekolah kualitasnya menjadi baik.
Selain itu, dalam jangka panjang, pemerintah juga harus menanggung risiko urbanisasi dari penduduk yang tidak memiliki kecakapan kerja dan wawasan hidup, serta hilangnya penduduk yang diharapkan dapat membangun wilayah asalnya.
Oleh karena itu, Kemendikbud meminta ketegasan Dinas Pendidikan menindak sekolah swasta yang tidak memberikan layanan baik kepada siswa, khususnya yang terindikasi hanya beroperasi demi mendapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah.
"Kalau anak tidak mendapatkan pendidikan yang baik, yang menanggung bebannya bukan sekolahnya, tetapi negara dan masyarakat. Maka itu, saya mohon agar Dinas Pendidikan juga dapat memberikan perhatian dan pembinaan sekolah-sekolah swasta di wilayahnya," kata dia.
Ia meminta orang tua tidak perlu resah dan khawatir berlebihan dengan penerapan zonasi pendidikan pada PPDB.
Ia mengajak para orang tua mengubah cara pandang dan pola pikir terkait dengan "sekolah favorit/unggulan".
Ia memahami masyarakat masih resisten dengan konsep tersebut.
Mendikbud Effendy meminta agar jangan sampai sekolah mengklaim sebagai unggulan hanya karena menerima anak-anak yang pandai dan umumnya dari keluarga dengan ekonomi menengah ke atas, yang mampu memberikan fasilitas penunjang belajar anak.
Sekolah, khususnya sekolah negeri, katanya, harus mendidik semua siswa tanpa terkecuali.
Ia menjelaskan prestasi itu tidak diukur dari asal sekolah, tetapi masing-masing individu anak yang akan menentukan prestasi dan masa depannya.
Pada dasarnya, katanya, setiap anak itu mempunyai keistimewaan dan keunikan sendiri.
"Dan kalau itu dikembangkan secara baik itu akan menjadi modal untuk masa depan. Ke depan, yang unggul itu individu-individunya. Sekolah hanya memfasilitasi belajar siswa," katanya.
Pendekatan zonasi erat kaitannya dengan penguatan pendidikan karakter. Sesuai ajaran Ki Hajar Dewantara, pemerintah mendorong sinergi antara pihak sekolah (guru), rumah (orang tua), dan lingkungan sekitar (masyarakat). Ekosistem pendidikan yang baik tersebut dapat mudah diwujudkan melalui pendekatan zonasi.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019