Selama lima tahun terakhir ini atau pada periode 2009-2014, pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla telah melakukan berbagai upaya dalam rangka mewujudkan konsep Poros Maritim Dunia.
Salah satu prestasi yang dicapai dan menggaung di tingkat global antara lain adalah tegaknya kedaulatan maritim dengan menenggelamkan ratusan kapal yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di kawasan perairan Republik Indonesia.
Diketahui bahwa dalam jangka waktu lima tahun, terdapat 824 pelaku illegal fishing yang ditangkap dengan sebanyak 636 kasus yang telah selesai di pengadilan.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan dirinya telah menyuarakan pentingnya pemberantasan illegal fishing atau penangkapan ikan secara ilegal sedari dulu, yaitu sejak sekitar tahun 2005 lampau.
"Saya telah mengemukakan tentang IUU Fishing (penangkapan ikan secara ilegal) bahkan sebelum jadi menteri, sejak tahun 2005," kata Menteri Susi di Jakarta, Senin.
Menurut Susi Pudjiastuti, hal tersebut dapat dibuktikan antara lain dari buah pikirannya yang telah ditulis dalam sejumlah artikel di beberapa media massa ketika itu.
Apalagi, ia menyatakan telah berprofesi sebagai pedagang ikan yang telah mengekspor komoditasnya hingga ke negara seperti Jepang dan Amerika Serikat.
Menteri Kelautan dan Perikanan RI itu menilai, bahwa sejak sekitar tahun 2000, nelayan Nusantara sudah sukar lagi menangkap produksi ikan seperti kondisi pada beberapa dekade sebelumnya.
Selain itu, ujar dia, kebijakan pemerintah yang pada tahun 2001 yang membuka izin penangkapan ikan bagi kapal perikanan asing dinilai juga semakin menurunkan jumlah stok perikanan nasional.
Untuk itu, lanjutnya, sejak diangkat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada tahun 2014, maka dia memutuskan untuk melakukan moratorium perizinan kapal ikan asing dan eks-asing.
Susi juga fokus dalam memberantas penangkapan ikan ilegal yang hasilnya telah terlihat saat ini, di mana ikan tuna berukuran besar tidak hanya ditangkap oleh kapal besar, tetapi juga nelayan kecil.
Kemanusiaan
Menteri Kelautan dan Perikanan menyatakan, aktivitas kejahatan perikanan yang terjadi di Indonesia dan banyak negara lainnya juga mengancam berbagai aspek kemanusiaan yang harus segera diatasi secara global.
Dalam acara Regional Investigative and Analytical Case Meeting (RIACM), di Kantor KKP, Jakarta, Senin (14/10), Menteri Susi mengungkapkan bahwa aktivitas penangkapan ikan akan mengancam kemanusiaan global antara lain karena terkait pula dengan kejahatan keji lainnya seperti perbudakan.
Selain itu, ujar dia, terdapat pula tindak pencurian ikan yang juga terkait dengan perdagangan satwa langka serta hingga penyelundupan senjata api dan narkoba.
Menteri Susi juga berpendapat bahwa tindak pidana sektor perikanan merupakan aktivitas kejahatan yang dinilai menguntungkan karena kerap dapat menghindari pajak seperti dengan melakukan alih muatan di tengah laut, sehingga bisa mengurangi beban biaya lebih besar lagi.
Untuk itu, Menteri Kelautan dan Perikanan RI menekankan pentingnya pula untuk berkolaborasi secara internasional dengan berbagai negara dalam rangka mengatasi kegiatan penangkapan ikan secara ilegal.
Ketika memberi kuliah umum di New York University, 23 September 2019, Susi menyatakan bahwa penangkapan ikan secara ilegal harus dijadikan sebagai kejahatan lintas negara yang terorganisir karena melibatkan banyak kewarganegaraan.
Indonesia, ujar dia, terus berupaya menggalang dukungan negara-negara lain untuk membentuk komunitas yang menyetujui menjadikan kejahatan perikanan ini sebagai transnational organized crime.
Ia mengatakan kapal yang ditangkap umumnya memiliki anak buah kapal (ABK) atau kru dari berbagai negara. Ada yang dari Indonesia, Peru, Myanmar, dan lainnya.
Menurut dia, kebanyakan kapal pelaku penangkapan ikan ilegal itu beroperasi secara global, di mana mereka tidak hanya menangkap ikan di satu negara, tetapi juga di berbagai negara.
Oleh karena itu, ujar dia, menggalang dukungan untuk menjadikan kejahatan perikanan sebagai transnational organized crime menjadi penting. Namun, Menteri Susi menyebutkan bahwa hingga saat ini baru sekitar 16 negara yang menyatakan dukungan.
"Indonesia masih membutuhkan lebih banyak lagi dukungan negara lainnya agar kebijakan pemberantasan transnational organized crime di industri perikanan dapat diperkuat," katanya.
Tak hanya itu, ia juga menginginkan ada hak laut (ocean rights) bagi laut lepas karena jika 71 persen dari planet bumi adalah laut, 61 persennya merupakan laut lepas.
Selama ini, Indonesia memprioritaskan untuk mengelola laut secara berkelanjutan, antara lain dengan berkomitmen untuk memberantas penangkapan ikan ilegal dan kejahatan perikanan terorganisir transnasional.
Percepatan
KKP selama ini juga mendorong percepatan Indonesia sebagai poros maritim dunia dan telah melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan visi yang telah dicetuskan oleh Presiden Joko Widodo tersebut.
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) KKP Sjarief Widjaja menyatakan perlunya pemantapan dan akselerasi terhadap konsep Indonesia sebagai poros maritim untuk lima tahun ke depan.
Sjarief Widjaja mengungkapkan bahwa dalam jangka waktu tiga tahun pertama, pemerintah telah berhasil memberantas IUU Fishing dan telah mampu menghasilkan 16 juta ton ikan per tahun.
Untuk itu, ujar dia, saat ini yang perlu dilakukan adalah membuat rencana aksi untuk pemantapan, membuat peta jalan, serta menunjuk kerja tim lintas departemen guna memastikan seluruh target bisa tercapai.
"Sejak tahun 2014, cetak biru untuk poros maritim di Indonesia sudah tersedia. Hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, termasuk dalam Perpres Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia," ucapnya.
Kepala BPRSDM berpendapat ada lima pilar utama dalam mewujudkan poros maritim, yakni pembangunan kembali budaya maritim Indonesia; menjaga dan mengelola sumber daya laut; infrastruktur dan konektivitas: diplomasi maritim; serta pertahanan dan keamanan.
Namun, lanjutnya, dalam pelaksanaannya, Indonesia masih mengalami berbagai kendala, antara lain IUU Fishing, penurunan minat rumah tangga nelayan, hingga stunting pada anak karena tidak mampu mengonsumsi ikan.
Lebih lanjut Sjarief mengatakan bahwa saat ini masyarakat Indonesia membutuhkan 50 kilogram ikan per orang per tahun. Dengan jumlah penduduk 260 juta, maka ikan yang harus disiapkan untuk konsumsi dalam negeri mencapai 12,8 juta ton.
"Peningkatan stok ikan juga secara otomatis meningkatkan penghasilan nelayan. Saat ini, nilai tukar nelayan melesat naik dari yang semula 102-103 ke 113-114. Sementara itu, nilai tukar usaha perikanan juga naik menjadi 127. Dengan demikian nilai kesejahteraan nelayan saat ini sudah meningkat," ucapnya.
Milenial
Sjarief juga mengemukakan bahwa pihaknya mengajak kalangan milenial atau generasi muda di Tanah Air untuk semakin banyak lagi menggeluti dunia usaha perikanan, sesuai arahan Presiden Jokowi bahwa laut merupakan masa depan bangsa Indonesia.
Menurut dia, selama ini berbagai sinetron di layar kaca kerap menampilkan bahwa stereotipe orang sukses adalah orang yang berdasi dan bermobil mewah serta selalu di ruangan ber-AC.
Padahal, lanjutnya, hal tersebut merupakan utopia karena kekayaan alam Indonesia yang perlu dikelola bukanlah berada di dalam ruang ber-AC, tetapi ada di alam luas termasuk lautan Nusantara.
Dia menginginkan agar para orang tua dapat mengantar generasi milenial untuk masuk ke dunia perikanan nasional serta membimbing mereka agar bisa menjadi wirausahawan yang hebat.
Sjarief mengingatkan bahwa Presiden Jokowi pernah menyatakan bahwa "kita telah lama memunggungi laut", padahal lautan Indonesia merupakan masa depan bangsa.
Selama lima tahun ini, pemerintah juga telah meraih beberapa capaian antara lain 12.581 penerima manfaat asuransi nelayan di 294 kabupaten/kota penerima asuransi nelayan, mengalokasikan anggaran Rp1,3 triliun untuk bank mikro nelayan, hingga 61 pelabuhan yang direvitalisasi.
Sinergi
Sedangkan terkait dengan nasib ABK, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Perhubungan juga telah bersinergi dalam rangka meningkatkan perlindungan dan kompetensi dari awak kapal penangkapan ikan.
"Ini harus kita perhatikan, agar awak kapal penangkapan ikan bisa terhindar dari D3 (dirty, dangerous, difficult), diharapkan ke depannya menjadi C3 (clean, clear, competent)," kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dalam acara Peluncuran Peraturan Presiden No 18/2019 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Awak Kapal Penangkapan Ikan di Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Jakarta, Rabu (2/10).
Menurut Luhut, peningkatan kompetensi serta sekaligus melindungi awak kapal penangkapan ikan merupakan hal yang penting guna menyelaraskan upaya pemerintah yang ingin membuat industri perikanan sebagai salah satu soko guru perekonomian nasional.
Menko Maritim juga menegaskan agar berbagai pilar perlindungan perlu dilengkapi dengan penguatan regulasi, seperti diberlakukannya Perpres No 18/2019 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Standar Pelatihan, Sertifikasi dan Dinas Jaga bagi Awak Kapal Penangkapan Ikan.
"Seluruh K/L (Kementerian/Lembaga) agar bisa menindaklanjuti implementasi amanat konvensi ini," kata Menko Luhut.
Menko Maritim juga menegaskan agar tidak hanya seremonial saja, tetapi berbagai pihak terkait juga mengecek pelaksanannya di lapangan.
Dengan berbagai pencapaian itu, sejumlah pihak juga menyatakan bahwa terdapat peningkatan tata kelola sektor kelautan dan perikanan dibandingkan dengan masa pemerintahan sebelumnya.
"Ada peningkatan di bidang tata kelola perikanan, meskipun belum terbangun sistem yang mengarah kepada upaya memastikan dikelolanya SDI (sumber daya ikan) dengan pendekatan saintifik yang berkelanjutan dan bertanggung jawab," kata pengamat perikanan, Abdul Halim kepada ANTARA di Jakarta, Jumat (18/10).
Menurut dia, seharusnya peningkatan di bidang tata kelola perikanan dapat menghadirkan relasi yang sinergis antara pusat dan daerah.
Dengan adanya harmonisasi yang semakin solid antara pusat dan daerah, maka langkah untuk tercapainya Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia juga akan semakin lebih terwujud.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019
Salah satu prestasi yang dicapai dan menggaung di tingkat global antara lain adalah tegaknya kedaulatan maritim dengan menenggelamkan ratusan kapal yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di kawasan perairan Republik Indonesia.
Diketahui bahwa dalam jangka waktu lima tahun, terdapat 824 pelaku illegal fishing yang ditangkap dengan sebanyak 636 kasus yang telah selesai di pengadilan.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan dirinya telah menyuarakan pentingnya pemberantasan illegal fishing atau penangkapan ikan secara ilegal sedari dulu, yaitu sejak sekitar tahun 2005 lampau.
"Saya telah mengemukakan tentang IUU Fishing (penangkapan ikan secara ilegal) bahkan sebelum jadi menteri, sejak tahun 2005," kata Menteri Susi di Jakarta, Senin.
Menurut Susi Pudjiastuti, hal tersebut dapat dibuktikan antara lain dari buah pikirannya yang telah ditulis dalam sejumlah artikel di beberapa media massa ketika itu.
Apalagi, ia menyatakan telah berprofesi sebagai pedagang ikan yang telah mengekspor komoditasnya hingga ke negara seperti Jepang dan Amerika Serikat.
Menteri Kelautan dan Perikanan RI itu menilai, bahwa sejak sekitar tahun 2000, nelayan Nusantara sudah sukar lagi menangkap produksi ikan seperti kondisi pada beberapa dekade sebelumnya.
Selain itu, ujar dia, kebijakan pemerintah yang pada tahun 2001 yang membuka izin penangkapan ikan bagi kapal perikanan asing dinilai juga semakin menurunkan jumlah stok perikanan nasional.
Untuk itu, lanjutnya, sejak diangkat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada tahun 2014, maka dia memutuskan untuk melakukan moratorium perizinan kapal ikan asing dan eks-asing.
Susi juga fokus dalam memberantas penangkapan ikan ilegal yang hasilnya telah terlihat saat ini, di mana ikan tuna berukuran besar tidak hanya ditangkap oleh kapal besar, tetapi juga nelayan kecil.
Kemanusiaan
Menteri Kelautan dan Perikanan menyatakan, aktivitas kejahatan perikanan yang terjadi di Indonesia dan banyak negara lainnya juga mengancam berbagai aspek kemanusiaan yang harus segera diatasi secara global.
Dalam acara Regional Investigative and Analytical Case Meeting (RIACM), di Kantor KKP, Jakarta, Senin (14/10), Menteri Susi mengungkapkan bahwa aktivitas penangkapan ikan akan mengancam kemanusiaan global antara lain karena terkait pula dengan kejahatan keji lainnya seperti perbudakan.
Selain itu, ujar dia, terdapat pula tindak pencurian ikan yang juga terkait dengan perdagangan satwa langka serta hingga penyelundupan senjata api dan narkoba.
Menteri Susi juga berpendapat bahwa tindak pidana sektor perikanan merupakan aktivitas kejahatan yang dinilai menguntungkan karena kerap dapat menghindari pajak seperti dengan melakukan alih muatan di tengah laut, sehingga bisa mengurangi beban biaya lebih besar lagi.
Untuk itu, Menteri Kelautan dan Perikanan RI menekankan pentingnya pula untuk berkolaborasi secara internasional dengan berbagai negara dalam rangka mengatasi kegiatan penangkapan ikan secara ilegal.
Ketika memberi kuliah umum di New York University, 23 September 2019, Susi menyatakan bahwa penangkapan ikan secara ilegal harus dijadikan sebagai kejahatan lintas negara yang terorganisir karena melibatkan banyak kewarganegaraan.
Indonesia, ujar dia, terus berupaya menggalang dukungan negara-negara lain untuk membentuk komunitas yang menyetujui menjadikan kejahatan perikanan ini sebagai transnational organized crime.
Ia mengatakan kapal yang ditangkap umumnya memiliki anak buah kapal (ABK) atau kru dari berbagai negara. Ada yang dari Indonesia, Peru, Myanmar, dan lainnya.
Menurut dia, kebanyakan kapal pelaku penangkapan ikan ilegal itu beroperasi secara global, di mana mereka tidak hanya menangkap ikan di satu negara, tetapi juga di berbagai negara.
Oleh karena itu, ujar dia, menggalang dukungan untuk menjadikan kejahatan perikanan sebagai transnational organized crime menjadi penting. Namun, Menteri Susi menyebutkan bahwa hingga saat ini baru sekitar 16 negara yang menyatakan dukungan.
"Indonesia masih membutuhkan lebih banyak lagi dukungan negara lainnya agar kebijakan pemberantasan transnational organized crime di industri perikanan dapat diperkuat," katanya.
Tak hanya itu, ia juga menginginkan ada hak laut (ocean rights) bagi laut lepas karena jika 71 persen dari planet bumi adalah laut, 61 persennya merupakan laut lepas.
Selama ini, Indonesia memprioritaskan untuk mengelola laut secara berkelanjutan, antara lain dengan berkomitmen untuk memberantas penangkapan ikan ilegal dan kejahatan perikanan terorganisir transnasional.
Percepatan
KKP selama ini juga mendorong percepatan Indonesia sebagai poros maritim dunia dan telah melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan visi yang telah dicetuskan oleh Presiden Joko Widodo tersebut.
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) KKP Sjarief Widjaja menyatakan perlunya pemantapan dan akselerasi terhadap konsep Indonesia sebagai poros maritim untuk lima tahun ke depan.
Sjarief Widjaja mengungkapkan bahwa dalam jangka waktu tiga tahun pertama, pemerintah telah berhasil memberantas IUU Fishing dan telah mampu menghasilkan 16 juta ton ikan per tahun.
Untuk itu, ujar dia, saat ini yang perlu dilakukan adalah membuat rencana aksi untuk pemantapan, membuat peta jalan, serta menunjuk kerja tim lintas departemen guna memastikan seluruh target bisa tercapai.
"Sejak tahun 2014, cetak biru untuk poros maritim di Indonesia sudah tersedia. Hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, termasuk dalam Perpres Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia," ucapnya.
Kepala BPRSDM berpendapat ada lima pilar utama dalam mewujudkan poros maritim, yakni pembangunan kembali budaya maritim Indonesia; menjaga dan mengelola sumber daya laut; infrastruktur dan konektivitas: diplomasi maritim; serta pertahanan dan keamanan.
Namun, lanjutnya, dalam pelaksanaannya, Indonesia masih mengalami berbagai kendala, antara lain IUU Fishing, penurunan minat rumah tangga nelayan, hingga stunting pada anak karena tidak mampu mengonsumsi ikan.
Lebih lanjut Sjarief mengatakan bahwa saat ini masyarakat Indonesia membutuhkan 50 kilogram ikan per orang per tahun. Dengan jumlah penduduk 260 juta, maka ikan yang harus disiapkan untuk konsumsi dalam negeri mencapai 12,8 juta ton.
"Peningkatan stok ikan juga secara otomatis meningkatkan penghasilan nelayan. Saat ini, nilai tukar nelayan melesat naik dari yang semula 102-103 ke 113-114. Sementara itu, nilai tukar usaha perikanan juga naik menjadi 127. Dengan demikian nilai kesejahteraan nelayan saat ini sudah meningkat," ucapnya.
Milenial
Sjarief juga mengemukakan bahwa pihaknya mengajak kalangan milenial atau generasi muda di Tanah Air untuk semakin banyak lagi menggeluti dunia usaha perikanan, sesuai arahan Presiden Jokowi bahwa laut merupakan masa depan bangsa Indonesia.
Menurut dia, selama ini berbagai sinetron di layar kaca kerap menampilkan bahwa stereotipe orang sukses adalah orang yang berdasi dan bermobil mewah serta selalu di ruangan ber-AC.
Padahal, lanjutnya, hal tersebut merupakan utopia karena kekayaan alam Indonesia yang perlu dikelola bukanlah berada di dalam ruang ber-AC, tetapi ada di alam luas termasuk lautan Nusantara.
Dia menginginkan agar para orang tua dapat mengantar generasi milenial untuk masuk ke dunia perikanan nasional serta membimbing mereka agar bisa menjadi wirausahawan yang hebat.
Sjarief mengingatkan bahwa Presiden Jokowi pernah menyatakan bahwa "kita telah lama memunggungi laut", padahal lautan Indonesia merupakan masa depan bangsa.
Selama lima tahun ini, pemerintah juga telah meraih beberapa capaian antara lain 12.581 penerima manfaat asuransi nelayan di 294 kabupaten/kota penerima asuransi nelayan, mengalokasikan anggaran Rp1,3 triliun untuk bank mikro nelayan, hingga 61 pelabuhan yang direvitalisasi.
Sinergi
Sedangkan terkait dengan nasib ABK, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Perhubungan juga telah bersinergi dalam rangka meningkatkan perlindungan dan kompetensi dari awak kapal penangkapan ikan.
"Ini harus kita perhatikan, agar awak kapal penangkapan ikan bisa terhindar dari D3 (dirty, dangerous, difficult), diharapkan ke depannya menjadi C3 (clean, clear, competent)," kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dalam acara Peluncuran Peraturan Presiden No 18/2019 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Awak Kapal Penangkapan Ikan di Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Jakarta, Rabu (2/10).
Menurut Luhut, peningkatan kompetensi serta sekaligus melindungi awak kapal penangkapan ikan merupakan hal yang penting guna menyelaraskan upaya pemerintah yang ingin membuat industri perikanan sebagai salah satu soko guru perekonomian nasional.
Menko Maritim juga menegaskan agar berbagai pilar perlindungan perlu dilengkapi dengan penguatan regulasi, seperti diberlakukannya Perpres No 18/2019 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Standar Pelatihan, Sertifikasi dan Dinas Jaga bagi Awak Kapal Penangkapan Ikan.
"Seluruh K/L (Kementerian/Lembaga) agar bisa menindaklanjuti implementasi amanat konvensi ini," kata Menko Luhut.
Menko Maritim juga menegaskan agar tidak hanya seremonial saja, tetapi berbagai pihak terkait juga mengecek pelaksanannya di lapangan.
Dengan berbagai pencapaian itu, sejumlah pihak juga menyatakan bahwa terdapat peningkatan tata kelola sektor kelautan dan perikanan dibandingkan dengan masa pemerintahan sebelumnya.
"Ada peningkatan di bidang tata kelola perikanan, meskipun belum terbangun sistem yang mengarah kepada upaya memastikan dikelolanya SDI (sumber daya ikan) dengan pendekatan saintifik yang berkelanjutan dan bertanggung jawab," kata pengamat perikanan, Abdul Halim kepada ANTARA di Jakarta, Jumat (18/10).
Menurut dia, seharusnya peningkatan di bidang tata kelola perikanan dapat menghadirkan relasi yang sinergis antara pusat dan daerah.
Dengan adanya harmonisasi yang semakin solid antara pusat dan daerah, maka langkah untuk tercapainya Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia juga akan semakin lebih terwujud.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019