Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menguraikan bukti keterlibatan Direktur Utama PT PLN (Persero) 2016-2018 Sofyan Basir dalam perkara suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.
Diketahui, Sofyan telah divonis bebas dari semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam perkara dugaan pembantuan kesepakatan proyek PLTU Riau-1.
"KPK meyakini bukti yang kami hadirkan di persidangan kuat. Sofyan Basir didakwa sebagai pembantu dalam tindak pidana korupsi suap yang dilakukan oleh Eni M Saragih (mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR), Idrus Marham (mantan Menteri Sosial), dan Johannes B Kotjo (pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd) yang telah dijatuhi vonis bersalah di Pengadilan Tipikor Jakarta," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu.
Adapun bukti keterlibatan Sofyan, yakni untuk mempercepat proses kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI) dengan Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd, dan China Huadian Engineering Company (CHEC), Ltd yang dibawa oleh Kotjo.
"Padahal terdakwa mengetahui Eni dan Idrus akan mendapat sejumlah uang atau fee sebagai imbalan dari Kotjo, suap Rp4,75 miliar dari Kotjo," ucap Febri.
Oleh karena itu, kata dia, KPK menerapkan pasal suap yang dihubungkan dengan Pasal 15 UU Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 56 ke-2 KUHP.
"Pasal 56 ke-2 KUHP mengatur dipidana sebagai pembantu kejahatan, mereka yang sengaja memberikan kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Pemenuhan Pasal 15 UU Tipikor atau Pasal 56 ke-2 KUHP ini tidak lah mensyaratkan pihak yang membantu harus mendapatkan keuntungan langsung," tuturnya.
Dari bukti yang ada, lanjut Febri, KPK memandang peran terdakwa Sofyan sangat penting.
"Saksi Kotjo yang juga telah diproses sebelumnya dan terbukti memberikan suap menyatakan di persidangan bahwa jika tanpa bantuan terdakwa selaku Dirut PLN maka keinginannya untuk mempercepat kesepakatan proyek IPP PLTU MT Riau-1 tidak akan terlaksana," kata Febri.
Sebagaimana sudah diproses di persidangan sebelumnya, ia menyatakan pokok perkara kasus suap ini untuk mempercepat kesepakatan proyek IPP PLTU MT Riau-1 antara PT PJBI dengan BNR Ltd dan CHEC Ltd.
"Karena bantuan terdakwa juga, Eni dan Idrus menerima suap Rp4,75 miliar dari Kotjo," ungkap Febri.
Febri pun menguraikan peran terdakwa Sofyan sebagai pembantu dalam tindak pidana korupsi.
"Pertama, mempertemukan Eni dan Kotjo dengan Direktur Pengadan Strategis 2 PT PLN dan melakukan beberapa kali pertemuan untuk membahas pembangunan proyek PLTU Riau-1. Pertemuan dilakukan di kantor dan rumah terdakwa," kata dia.
Kedua, meminta pada Direktur Perencanaan PT PLN sebagai jawaban dari permintaan Eni dan Kotjo agar proyek PLTU Riau-1 tetap dicantumkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2017-2026.
Ketiga, menandatangani Power Purchase Agreement (PPA) proyek pada 29 September 2017 sebelum semua prosedur dilalui dan hal tersebut dilakukan tanpa membahas dengan Direksi PLN lainnya. Adapun, PPA secara resmi tertanggal 6 Oktober 2017.
"Padahal, saat PPA ditandatangani belum dimasukan proposal penawaran anak perusahaan, belum ada penandatanganan LoI (letter of intent) belum dilakukan persetujuan dan evaluasi dan negosiasi harga jual-beli listrik antara PLN dengan anak perusahaan atau afiliasi lainnya," ujar Febri.
Sementara terkait pengetahuan terdakwa tentang adanya suap dari Kotjo ke Eni, Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menyisir bahwa terdapat sejumlah pertimbangan majelis hakim yang mengabaikan sejumlah fakta dan bukti yang muncul di persidangan.
"Di antaranya, adanya dugaan pengetahuan terdakwa tentang suap yang akan diterima oleh Eni dari Kotjo. Hal ini pernah disampaikan terdakwa saat menjadi saksi dalam perkara Eni yang menyatakan bahwa terdakwa diberitahu Eni bahwa Eni mengawal perusahaan Kotjo dalam rangka menggalang dana untuk partai," kata Febri.
Meskipun Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersebut dicabut atau keterangan diubah, namun Sofyan menyatakan tidak mendapat tekanan atau paksaan dari pihak penyidik.
"Majelis hakim juga tidak mempertimbangkan keterangan Eni yang menyatakan bahwa benar Eni memberitahu Sofyan bahwa ia ditugaskan untuk mengawal perusahaan Kotjo guna mencari dana untuk parpol," kata dia.
Selain itu, KPK juga mengidentifikasi bahwa majelis hakim tidak mempertimbangkan peran Sofyan dalam mempercepat proses proyek PLTU Riau-1 dengan cara yang melanggar sejumlah aturan.
"Poin-poin ini akan kami matangkan dalam memori kasasi yang disiapkan JPU. Jadi, secara paralel, KPK melakukan analisis terhadap pertimbangan yang disampaikan hakim secara lisan di pengadilan," ujar Febri.
Ia pun menyatakan sampai hari ini, KPK belum menerima salinan putusan Sofyan secara lengkap dari pengadilan.
"Kami baru menerima petikan putusan saja pada hari yang sama pembacaan putusan. Sebagai catatan, meskipun KPK kecewa dan memiliki pendapat yang berbeda dengan putusan tersebut, namun sebagai institusi penegak hukum KPK harus tetap menghormati kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial," kata Febri.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019
Diketahui, Sofyan telah divonis bebas dari semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam perkara dugaan pembantuan kesepakatan proyek PLTU Riau-1.
"KPK meyakini bukti yang kami hadirkan di persidangan kuat. Sofyan Basir didakwa sebagai pembantu dalam tindak pidana korupsi suap yang dilakukan oleh Eni M Saragih (mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR), Idrus Marham (mantan Menteri Sosial), dan Johannes B Kotjo (pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd) yang telah dijatuhi vonis bersalah di Pengadilan Tipikor Jakarta," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu.
Adapun bukti keterlibatan Sofyan, yakni untuk mempercepat proses kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI) dengan Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd, dan China Huadian Engineering Company (CHEC), Ltd yang dibawa oleh Kotjo.
"Padahal terdakwa mengetahui Eni dan Idrus akan mendapat sejumlah uang atau fee sebagai imbalan dari Kotjo, suap Rp4,75 miliar dari Kotjo," ucap Febri.
Oleh karena itu, kata dia, KPK menerapkan pasal suap yang dihubungkan dengan Pasal 15 UU Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 56 ke-2 KUHP.
"Pasal 56 ke-2 KUHP mengatur dipidana sebagai pembantu kejahatan, mereka yang sengaja memberikan kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Pemenuhan Pasal 15 UU Tipikor atau Pasal 56 ke-2 KUHP ini tidak lah mensyaratkan pihak yang membantu harus mendapatkan keuntungan langsung," tuturnya.
Dari bukti yang ada, lanjut Febri, KPK memandang peran terdakwa Sofyan sangat penting.
"Saksi Kotjo yang juga telah diproses sebelumnya dan terbukti memberikan suap menyatakan di persidangan bahwa jika tanpa bantuan terdakwa selaku Dirut PLN maka keinginannya untuk mempercepat kesepakatan proyek IPP PLTU MT Riau-1 tidak akan terlaksana," kata Febri.
Sebagaimana sudah diproses di persidangan sebelumnya, ia menyatakan pokok perkara kasus suap ini untuk mempercepat kesepakatan proyek IPP PLTU MT Riau-1 antara PT PJBI dengan BNR Ltd dan CHEC Ltd.
"Karena bantuan terdakwa juga, Eni dan Idrus menerima suap Rp4,75 miliar dari Kotjo," ungkap Febri.
Febri pun menguraikan peran terdakwa Sofyan sebagai pembantu dalam tindak pidana korupsi.
"Pertama, mempertemukan Eni dan Kotjo dengan Direktur Pengadan Strategis 2 PT PLN dan melakukan beberapa kali pertemuan untuk membahas pembangunan proyek PLTU Riau-1. Pertemuan dilakukan di kantor dan rumah terdakwa," kata dia.
Kedua, meminta pada Direktur Perencanaan PT PLN sebagai jawaban dari permintaan Eni dan Kotjo agar proyek PLTU Riau-1 tetap dicantumkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2017-2026.
Ketiga, menandatangani Power Purchase Agreement (PPA) proyek pada 29 September 2017 sebelum semua prosedur dilalui dan hal tersebut dilakukan tanpa membahas dengan Direksi PLN lainnya. Adapun, PPA secara resmi tertanggal 6 Oktober 2017.
"Padahal, saat PPA ditandatangani belum dimasukan proposal penawaran anak perusahaan, belum ada penandatanganan LoI (letter of intent) belum dilakukan persetujuan dan evaluasi dan negosiasi harga jual-beli listrik antara PLN dengan anak perusahaan atau afiliasi lainnya," ujar Febri.
Sementara terkait pengetahuan terdakwa tentang adanya suap dari Kotjo ke Eni, Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menyisir bahwa terdapat sejumlah pertimbangan majelis hakim yang mengabaikan sejumlah fakta dan bukti yang muncul di persidangan.
"Di antaranya, adanya dugaan pengetahuan terdakwa tentang suap yang akan diterima oleh Eni dari Kotjo. Hal ini pernah disampaikan terdakwa saat menjadi saksi dalam perkara Eni yang menyatakan bahwa terdakwa diberitahu Eni bahwa Eni mengawal perusahaan Kotjo dalam rangka menggalang dana untuk partai," kata Febri.
Meskipun Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersebut dicabut atau keterangan diubah, namun Sofyan menyatakan tidak mendapat tekanan atau paksaan dari pihak penyidik.
"Majelis hakim juga tidak mempertimbangkan keterangan Eni yang menyatakan bahwa benar Eni memberitahu Sofyan bahwa ia ditugaskan untuk mengawal perusahaan Kotjo guna mencari dana untuk parpol," kata dia.
Selain itu, KPK juga mengidentifikasi bahwa majelis hakim tidak mempertimbangkan peran Sofyan dalam mempercepat proses proyek PLTU Riau-1 dengan cara yang melanggar sejumlah aturan.
"Poin-poin ini akan kami matangkan dalam memori kasasi yang disiapkan JPU. Jadi, secara paralel, KPK melakukan analisis terhadap pertimbangan yang disampaikan hakim secara lisan di pengadilan," ujar Febri.
Ia pun menyatakan sampai hari ini, KPK belum menerima salinan putusan Sofyan secara lengkap dari pengadilan.
"Kami baru menerima petikan putusan saja pada hari yang sama pembacaan putusan. Sebagai catatan, meskipun KPK kecewa dan memiliki pendapat yang berbeda dengan putusan tersebut, namun sebagai institusi penegak hukum KPK harus tetap menghormati kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial," kata Febri.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019