Cilacap (ANTARA GORONTALO) - Terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir
dalam memori peninjauan kembali (PK) yang dibacakan secara bergantian
oleh tim penasihat hukumnya mengaku tidak tahu ada latihan militer di
Aceh.
"Pemohon PK atau terdakwa (Baasyir, red.) baru mengetahui adanya
latihan militer (di Aceh) setelah diperlihatkan oleh saksi Lutfi
Haidaroh. Diperlihatkan video latihan militer yang sebelumnya video
tersebut telah lama beredar di masyarakat," kata salah seorang anggota
tim penasihat hukum, Mahendradatta saat membacakan memori PK yang
diajukan Baasyir di Pengadilan Negeri Cilacap, Jawa Tengah, Selasa.
Memori PK tersebut dibacakan secara bergantian oleh anggota tim
penasihat hukum Baasyir, yakni Achmad Michdan dan Mahendradatta dalam
sidang PK dengan majelis hakim yang diketuai Nyoto Hindaryanto serta
beranggotakan Zulkarnaen dan Akhmad Budiman.
Sidang tersebut juga menghadirkan jaksa penuntut umum dari
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan yang terdiri atas Mayasari, Nana
Wiyana, dan Rahmat Sori.
Lebih lanjut, Mahendratta mengatakan bahwa pada saat itu, Baasyir
tidak menyetujui adanya latihan militer dengan menggunakan senjata
sebagaimana dalam sebutan "idad".
Dalam hal ini, kata dia, "idad" adalah persiapan untuk membela
agama termasuk bela negara atau bela diri sebagai bentuk tindakan
pertahanan diri.
Menurut dia, kegiatan tersebut merupakan latihan bela agama atau
negara apabila sewaktu-waktu mendapatkan serangan dari pihak musuh yang
menyerang menggunakan kekerasan.
"Pemohon PK sudah sepuh (tua, red.), tidak memungkinkan lagi
sebagai peserta latihan militer, sehingga tidak patut pemohon PK
dijatuhi pidana lebih berat dari empat terpidana yang mempunyai peran
lebih besar dalam latihan militer," katanya.
Dia mencontohkan terpidana Lutfi Haidaroh alias Ubaid yang dihukum
10 tahun penjara karena memiliki peran sebagai pengumpul atau bendahara
dari latihan militer di Aceh, terpidana Deni Suranto yang merupakan
Sekretaris Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Pusat dan menjadi peserta
pelatihan di Aceh dihukum 12 tahun penjara, terpidana Agus Kasdianto
selaku peserta pelatihan dihukum selama sembilan tahun, serta terpidana
Joko Sulistyo alias Mahfud selaku peserta dan pelatih pada pelatihan di
Aceh dihukum 14 tahun penjara termasuk Komarudin dihukum pidana 10 tahun
penjara.
Sementara peran pemohon PK, kata dia, berdasarkan fakta persidangan
tingkat pertama adalah infak "fisabilillah" untuk kepentingan "idad"
bukan untuk terorisme namun dipidana 15 tahun penjara.
Menurut dia, pemohon PK berperan menghimpun dana untuk infak bagi korban atau kaum muslimin di Palestina.
Terkait hal itu, Mahendradatta mengharapkan Majelis Hakim Agung
berkenan menerima permohonan PK yang diajukan Baasyir, membatalkan
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2442 K/Pid.Sus/2011
tanggal 27 Februari 2012, mengadili kembali, dan menyatakan pemohon PK
dibebaskan dari segala dakwaan serta merehabilitasi dan mengembalikan
hak-haknya secara penuh seperti semula.
Selain itu, kata dia, memerintahkan pemohon PK agar segera
dilepaskan dari lembaga pemasyarakatan dan menghukum jaksa penuntut umum
untuk membayar biaya perkara.
Usai pembacaan memori PK, Baasyir berkesempatan membacakan keterangan tambahan terkait PK yang dia ajukan.
Dalam keterangan tambahan tersebut, Baasyir mengutip sejumlah surat dalam Al Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW.
Setelah mendengarkan keterangan tambahan tersebut majelis hakim
mempersilakan jaksa penuntut umum untuk memberikan tanggapan.
Oleh karena adanya keterangan tambahan dari Baasyir, jaksa memohon
kepada majelis hakim untuk memberi waktu selama dua pekan guna menyusun
tanggapan tersebut.
Terkait hal itu, majelis hakim memutuskan sidang dilanjutkan pada
tanggal 26 Januari 2016 untuk mendengarkan tanggapan dari jaksa dan
keterangan dari saksi yang diajukan penasihat hukum.
Ba`asyir tidak tahu ada latihan militer
Selasa, 12 Januari 2016 14:45 WIB