Jakarta (ANTARA) - Pemanfaatan energi hijau atau energi baru terbarukan kini telah menjadi tren di seluruh dunia. Indonesia pun sudah memulainya meski masih dalam skala relatif kecil.
Di negara maju seperti Islandia, energi baru terbarukan memasok hampir 100 persen produksi listrik, dengan rincian sekitar 73 persen berasal dari tenaga air dan 27 persen dari tenaga panas bumi, yang mampu menyalurkan konsumsi listrik sebesar 18.798 Gigawatt hour (GWh) pada 2015.
Sementara di wilayah Asia, China berkontribusi terhadap lebih dari 50 persen, dari 510 GW kapasitas energi baru terbarukan yang baru terpasang di seluruh dunia pada 2023. China juga memegang posisi dominan dalam produksi komponen fotovoltaik, turbin angin, dan baterai.
Di negara tetangga, Malaysia, diperkirakan bisa mencapai kapasitas energi baru terbarukan sebesar 18,2 persen pada tahun 2025 dan 36,4 persen pada tahun 2035. Hal tersebut berpotensi untuk diraih melalui dukungan 13,3 persen dari total kapasitas pembangkit listrik di negeri jiran tersebut, yang berasal dari energi baru terbarukan.
Indonesia sendiri bukan tanpa potensi untuk mengikuti jejak ketiga negara tersebut. Sebab, Presiden RI Joko Widodo dalam Penyampaian Laporan Kinerja Lembaga-Lembaga Negara dan Pidato Kenegaraan dalam rangka HUT Ke-79 RI mengungkapkan Indonesia memiliki sebanyak lebih dari 3.600 GW potensi energi hijau, baik dari energi air, angin, Matahari, panas bumi, gelombang laut, dan bio energi.
Pemerintah juga menyatakan keseriusannya dalam mengembangkan energi hijau tersebut. Sejak 2017, Pemerintah telah menyusun Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menetapkan target bauran energi melalui pemanfaatan berbagai sumber energi.
Selain itu, Pemerintah juga meluncurkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 22 Tahun 2017 yang menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk mencapai target energi terbarukan dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada tahun 2030, atau hingga 41 persen dengan dukungan internasional.
Upaya konversi energi
Dengan wilayah negara yang terletak di bawah Garis Khatulistiwa, Indonesia memiliki potensi besar dalam pemanfaatan panas Matahari untuk dikonversi menjadi energi hijau.
Oleh sebab itu, dalam mengembangkan dan memanfaatkan energi hijau di Indonesia, Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan inovasi, teknologi, dan penelitian yang dapat mendukung transisi energi di Indonesia, seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Salah satu inovasi yang dilakukan adalah dengan mengembangkan PLTS terapung yang bisa diletakkan di berbagai wilayah di Indonesia, seperti Pulau Sumatera yang memiliki potensi energi surya mencapai 48.000 terawatt hours (TWh) per tahun dengan potensi pemanfaatan PLTS terapung sebanyak 94,7 persen.
Kemudian, Pulau Jawa dan Kepulauan Sunda Kecil dengan 11.500 TWh dan potensi pemanfaatan 53,8 persen, Pulau Kalimantan dengan 29.400 TWh dan potensi pemanfaatan 97,3 persen, Pulau Sulawesi dengan 50.200 TWh dan potensi pemanfaatan mencapai 96,9 persen, serta Maluku dan Papua yang memiliki potensi energi surya sebanyak 51.200 TWh dengan potensi pemanfaatan PLTS terapung mencapai 99,7 persen.
Kiprah Indonesia dalam pemanfaatan energi hijau tersebut diawali dengan terciptanya PLTS terapung seluas 200 hektare di Waduk Cirata, Jawa Barat, yang telah diresmikan pada 2023. PLTS yang bernilai investasi sebesar Rp1,7 triliun tersebut memiliki kapasitas sebesar 192 Megawatt peak (MWp).
Guna memaksimalkan potensi energi surya yang belum dimanfaatkan, Pemerintah juga mendorong pembangunan PLTS terapung di sejumlah wilayah dengan mengidentifikasi wilayah perairan yang berpotensi untuk dibangun PLTS terapung, membuat mekanisme lelang proyek pembangunan PLTS yang transparan, menyiapkan skema investasi untuk menarik minat investor, serta menyusun regulasi yang mendukung pembangunan PLTS terapung, termasuk skema pembiayaan dan kemudahan perizinan.
Tak hanya pengembangan PLTS terapung, Pemerintah juga melakukan pengembangan sumber daya manusia (SDM), penerapan teknologi energi hijau, dan proyek percontohan di berbagai desa di Indonesia hingga melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak, seperti kerja sama dengan lembaga riset dari negara-negara maju untuk transfer teknologi dan peningkatan kapasitas riset.
Berbagai upaya tersebut turut mengantarkan Indonesia, yang kini memiliki hampir 13 persen bauran energi baru terbarukan. Namun demikian, angka tersebut baru diperoleh dari pemanfaatan energi hijau yang hanya 0,3 persen dari potensi yang tersedia.
Ahli juga mengungkapkan penggunaan energi hijau sebesar 100 persen di masa yang akan datang juga memungkinkan, dengan tetap memperhatikan trilemma energi yaitu Energy Equity atau energi yang disediakan dapat diakses dan terjangkau oleh semua orang, Energy Security atau upaya penyediaan energi dengan tetap memperhatikan rantai pasok serta kemampuan memenuhi permintaan yang terus meningkat dengan infrastruktur yang andal, dan Environmental Sustainability atau pembangunan infrastruktur berbasis energi terbarukan dan sumber energi rendah karbon lainnya serta peningkatan efisiensi energi (supply and demand).
Dengan terus meningkatnya dukungan kebijakan dan investasi serta kerja sama yang baik antara Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, pemanfaatan energi hijau di Indonesia akan terus meningkat, mendukung target nasional dan turut berkontribusi terhadap perubahan iklim global.
Secara keseluruhan, Pemerintah Indonesia telah menunjukkan keseriusan dalam memaksimalkan potensi energi hijau melalui berbagai kebijakan strategis, investasi, dan insentif yang dirancang untuk mendorong pengembangan energi terbarukan.
Meskipun terdapat sejumlah tantangan, komitmen ini memberikan dasar yang kuat untuk pertumbuhan sektor energi hijau di masa depan.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Masa depan pengembangan energi hijau di Indonesia
Masa depan pengembangan energi hijau di Indonesia
Jumat, 16 Agustus 2024 17:43 WIB