Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Beberapa waktu lalu Pemerintah menerbitkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017
sebagai perubahan atas UU No 17 tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (Perppu Ormas).
Perppu Ormas ini diterbitkan karena pemerintah menilai
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tidak lagi memadai dalam mencegah
meluasnya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Alasan dikeluarkannya Perppu tersebut juga karena tidak adanya asas
hukum "contrario actus" dalam Undang-Undang Ormas, yang mana
kementerian pemberi izin ormas (Kemenkumham), kemudian juga memiliki
kewenangan untuk mencabut atau membatalkannya.
Selain itu, dalam Undang-Undang Ormas pengertian ajaran dan
tindakan bertentangan Pancasila dirumuskan secara sempit dan terbatas
pada atheisme, komunisme, marxisme dan leninisme. Padahal sejarah di
Indonesia membuktikan ajaran-ajaran lain juga bisa menggantikan atau
bertentangan dengan Pancasila.
Kewenangan yang dimiliki pemerintah untuk mencabut atau
membatalkan izin ormas kemudian digunakan terhadap Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI).
Kementerian Hukum dan HAM secara resmi mencabut status badan hukum ormas HTI mulai tanggal 19 Juli 2017.
Padahal satu hari sebelum status badan hukum HTI dicabut oleh
Pemerintah, HTI bersama dengan kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra,
kemudian mengajukan permohonan uji materi Perppu Ormas ke Mahkamah
Konstitusi.
Pemerintah melalui Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU)
Kemenkumham, Freddy Haris, juga meyakinkan pencabutan SK Badan Hukum HTI
bukanlah keputusan sepihak, melainkan hasil dari sinergi badan
pemerintah yang berada di ranah politik, hukum, dan keamanan.
Tindakan tegas ini tidak hanya diberikan kepada HTI, namun akan
diberlakukan bagi semua perkumpulan ormas yang melakukan upaya atau
aktivitas yang tidak sesuai dengan kehidupan ideologi Pancasila dan
hukum NKRI.
Kekhawatiran Yusril
Pada Rabu (26/7) Mahkamah
Konstitusi menggelar sidang pendahuluan untuk perkara uji materi Perppu
Ormas yang telah diajukan oleh HTI pada Selasa (18/7).
Dalam sidang pendahuluan tersebut Yusril selaku kuasa hukum HTI
meminta klarifikasi Majelis Hakim Konstitusi terkait dengan kedudukan
hukum kliennya dalam mengajukan gugatan uji materi tersebut.
"Ada sedikit persoalan hukum terkait dengan kedudukan hukum
permohonan ini, yang kami mohon sudilah kiranya panel Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi memberikan klarifikasi terhadap persoalan ini," ujar
Yusril.
Di hadapan tiga orang Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Hakim
Konstitusi Arief Hidayat, Yusril menjelaskan bahwa permohonan kliennya
diregister di MK pada 18 Juli 2017.
Pada saat itu HTI adalah perkumpulan yang sah berbadan hukum dan teregistrasi di Kementerian Hukum dan HAM.
Namun, sehari setelah permohonan HTI diregistrasi oleh MK, status
hukum HTI dicabut sekaligus dinyatakan bubar oleh Menteri Hukum dan HAM.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, pihak yang
dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang kepada MK adalah
pihak yang menganggap hak atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya undang-undang. Pihak-pihak ini antara lain adalah badan
hukum publik dan badan hukum privat.
Pada saat mengajukan permohonan uji materi, HTI masih sah sebagai
badan hukum publik, namun ketika perkara ini mulai diperiksa HTI sudah
dibubarkan, tutur Yusril.
"Jadi supaya tidak membuang-buang waktu, kami mohon nasihat dari
Yang Mulia terhadap permohonan ini sehubungan dengan pembubaran Ormas
HTI pada 19 Juli 2017 lalu," ujar Yusril.
Terkait dengan hal ini, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna
menyebutkan supaya HTI selaku pihak Pemohon harus memperbaiki
permohonannya menyangkut Pemohon.
"Jadi nanti di bagian kedudukan hukum dapat diubah, dari badan
hukum menjadi perorangan warga negara Indonesia, namun tentu ada risiko
mengubah argumentasi mengenai kedudukan hukumnya," kata Palguna.
Pendapat Pengamat
Pengamat dari Pusat Pengkajian
Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember, Jawa Timur, Bayu
Dwi Anggono berpendapat keputusan Kemkumham pada Rabu (19/7) yang
mencabut status badan hukum HT telah memiliki landasan hukum baik dari
segi formil maupun materiil.
Bayu menjelaskan dilihat dari segi formil tindakan pencabutan ini
berdasarkan pada ketentuan UUD 1945 dan Perppu Nomor 2 Tahun 2017
tentang Ormas).
Pada hakikatnya perppu itu memberikan kewenangan kepada pemerintah
untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap ormas yang menganut,
mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan
dengan Pancasila, kata Bayu.
Dengan demikian pemberian sanksi administratif kepada HTI berupa
pencabutan status badan hukum tanpa melalui sanksi tahapan peringatan
tertulis dan penghentian kegiatan adalah kewenangan penuh dari
pemerintah dengan mendasarkan pada fakta, kondisi dan kebutuhan yang
ada.
Sementara dilihat dari aspek materiil, pemberian sanksi berupa
pencabutan status badan hukum adalah tindakan yang dapat
dipertanggungjawabkan mengingat berdasarkan pada ketentuan Pasal 59
ayat (4) huruf c Perppu Ormas.
"Kampanye dan kegiatan HTI selama ini adalah ingin mengganti NKRI, atau mengubah Pancasila dan UUD 1945," katanya.
Tindakan pemerintah mencabut status badan hukum ini bukanlah tindakan sewenang-wenang dan tidak demokratis.
"Karena terhadap keputusan ini, apabila HTI keberatan, tetap memiliki hak untuk melakukan upaya hukum," jelas Bayu.
Upaya yang dimaksud merujuk pada UU Pengadilan Tata Usaha Negara,
dimana HTI dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang
berwenang supaya keputusan Tata Usaha Negara terkait pencabutan status
badan hukum HTI dinyatakan batal atau tidak sah.
Ketika pemerintah cabut status badan hukum HTI
Jumat, 28 Juli 2017 11:54 WIB