Medan (ANTARA GORONTALO) - Kepala Staf Kepresidenan RI, Teten Masduki,
mengatakan pendidikan karakter multikultural kian mendesak untuk
dilaksanakan di setiap lembaga pendidikan.
"Pendidikan multikultural ini harus dimulai dari pendidikan usia
dini dan tidak berhenti di pendidikan tinggi," kata Teten, di Medan,
Rabu, pada orasi ilmiah Dies Natalis ke-65 Universitas Sumatera Utara
(USU).
Teten mengatakan, dengan pendidikan multikultural, sekolah atau
kampus menjadi lahan penghapus prasangka (prejudice), sekaligus melatih
dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis,
dan pluralis.
"Pengembangan karakter seperti ini untuk menghentikan penyebaran
berita bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech), maupun paham
radikalisme," ujarnya.
Ia menyebutkan, peran guru/pengajar/dosen dalam pendidikan
multikultural sangat penting, mereka diharapkan akan beranjak dari
pembelajaran yang hierarkis dan otoriter menuju pembelajaran yang
demokratis.
Dengan perubahan ini, diharapkan pembelajaran tidak menghasilkan
"stereotype" dan prasangka yang dapat mendorong perlakuan diskriminatif.
"Perlakuan diskriminatif seperti bully masih dalam tahapan menghawatirkan," ucapnya.
Ia mengatakan, laporan dari KPAI maupun Lembaga Internasional
seperti WHO, menunjukkan lebih dari 20 persen anak Indonesia berusia
13-17 tahun memiliki pengalaman bully (Unicep, 2015).
Tindakan bully adalah persoalan serius penolakan relasi sosial
secara sistematis yang akan membahayakan karakter generasi ke depannya.
"Kita harus secara terus menerus menghilangkan sikap perilaku bully," katanya.
Ia menjelaskan, peran penting lembaga pendidikan tinggi tidak
berhenti pada penumbuhan kultur demokrasi.Selain menciptakan masyarakat
yang berbudaya, perguruan tinggi juga menjadi tumpuan untuk menumbuhkan
daya saing dan agenda pembangunan bangsa.
Cita-cita peningkatan pertumbuhan ekonomi yang merata, juga tidak
terlepas dari peran perguruan tinggi.Jalan menuju ketercapaian cita-cita
tersebut bukan tanpa tantangan.Sebagai contoh, agenda pembangunan
infrastruktur membutuhkan setidaknya lebih kurang 2.700 insinyur
elektro.
"Sementara saat ini jumlah SDM bersangkutan tidak mencapai 50
persen dari angka yang dibutuhkan (Ditjen SDM Inptek Kemristekdikti,
2016)," kata mantan Ketua Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch itu.
Teten: pendidikan karakter multikultural kian mendesak dilaksanakan
Kamis, 28 September 2017 7:55 WIB