Tradisi sebuah pesantren di Jawa Timur, tepatnya Pondok Pesantren Darul
Ulum Jombang, cukup menarik sebagai bahan refleksi dalam memperingati
Hari Santri Nasional, 22 Oktober.
Betapa tidak, jargon Santri Njoso, begitu masyarakat sekitar sering
menyebutnya, menggunakan jargon yang berdimensi sangat global. Slogan
itu adalah "Berotak London, Berhati Masjidilharam (Mekah)".
Selain terpampang di gerbang utama pesantren yang dapat dilihat oleh
setiap pengunjung, slogan itu juga tercetak di buku harian santri yang
berisi amalan harian santri, seperti tahlil, istigasah dan selawat.
Slogan ini diciptakan oleh K.H. Mustain Romly (almarhum) yang pada
waktu itu menjabat sebagai pengasuh pesantren, mursyid Tarekat Qadiriyah
wan Naqsyabandiyah sekaligus pendiri Universitas Darul Ulum (Undar).
Ayah dari Kiai Mustain sendiri, K.H. Romly, adalah seorang ulama
karismatik yang berjasa dalam menyusun istigasah, sebuah zikir dan doa
yang saat ini diamalkan kaum nahdiyin di Indonesia.
Slogan santri Njoso ini sangat inspiratif karena memiliki makna yang
begitu strategis dalam menghadapi masalah-masalah global.
Santri tidak hanya mengemban misi lokal nasional, tetapi juga mampu
merespons tren modernitas dan globalisasi di masa depan.
Ini menunjukkan suatu sikap maju dan akomodatif yang tentunya sebangun dengan prinsip kaum santri, yaitu almuhafadhah alal qadimis shalih wal-akhdu bil jadidil ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).
Santri pun menjadi aset bangsa yang luar biasa karena kemampuannya
dalam menjaga karakter bangsa sekaligus melakukan transformasi untuk
memainkan peran historis dan strategis dalam pembangunan dan kemajuan
pada masa depan.
Peran Historis
Tradisi santri yang sangat menonjol adalah semangat berkorban,
mandiri, bersahaja, egaliter, tawaduk, dan moderat. Sifat-sifat ini
merupakan karakter kebangsaan yang penting. Semuanya telah dicontohkan
dengan baik oleh tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang berlatar belakang
santri dari masa ke masa.
Pada masa kolonialisme, santri telah membuktikan dirinya sebagai
kekuatan utama dalam mengusir penjajah. Mereka tidak segan-segan
mengorbankan jiwanya guna memperjuangkan Indonesia yang merdeka.
Sikap mandiri yang dimiliki santri menjadikannya tumbuh sebagai
generasi yang independen, anti terhadap segala bentuk penjajahan.
Setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal
17 Agustus 1945, para santri pun terpanggil untuk mempertahankannya.
Soekarno adalah murid Cokroaminoto, pendiri Sarekat Islam (SI),
sementara Hatta merupakan anak Muhammad Djamil, tokoh agama terkemuka di
Bukittinggi. Masa remaja kedua tokoh ini dihabiskan dalam lingkungan
habitus sangat agamis.
Jiwa santri melekat dalam diri mereka. Kiai Haji Hasyim Asyari
mengeluarkan Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945, yang dapat menggerakkan
semangat jihad para santri di seluruh penjuru Indonesia.
Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman sebagai santri dan kader
Muhammadiyah juga merupakan contoh sempurna bagaimana kaum santri
berkontribusi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Tidak hanya sampai di situ, karakter santri yang moderat dan
inklusif termanifestasi dalam sikap kenegarawan para tokoh Islam pendiri
bangsa, terutama ketika mereka secara ikhlas mau menghapuskan tujuh
kata--"dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya"--dalam Piagam Jakarta.
Pengorbanan besar dalam mengukuhkan semangat kebinekaan guna mendukung terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada era kemerdekaan pun banyak lahir tokoh-tokoh santri yang
bersahaja dan egaliter. Perjuangan politik mereka jalankan dengan penuh
amanah demi menciptakan negara yang adil dan sejahtera.
Transformasi Santri
Santri saat ini tidak hanya dipahami sebagai orang yang secara
formal belajar agama di pondok pesantren. Santri telah mengalami
perluasan makna sebagai sifat yang melekat pada siapa pun yang
mengamalkan tradisi santri.
Kini santri telah tertransformasi menjadi kekuatan kelas menengah Muslim yang diperhitungkan.
Tantangan globalisasi yang makin kompleks saat ini menjadikan nilai-nilai santri menjadi relevan untuk dikembangkan.
Otoritarianisme, ketidakadilan ekonomi, konflik etnis, terorisme,
maupun persoalan etika global masih menjadi tantangan-tantangan global
pada masa depan.
Berkembangnya gaya hidup yang cenderung konsumtif dan hedonis maupun
berkembangnya radikalisme global menuntut peran aktif santri ke depan.
Dalam perjalanan sejarahnya, santri telah membuktikan perannya dalam
memperkuat karakter bangsa.
Pada masa Orde Baru, walaupun secara politik kaum santri mengalami
tindakan represif dari regim berkuasa, kelas menengah santri mengalami
perkembangan penting. Hefner (2000), misalnya, menyimpulkan
berkembangnya Civil Islam yang dimotori oleh kelas menengah Islam. Ini
ditandai dengan hadirnya kalangan birokrasi dan profesional yang menjadi
bagian penting gerakan santrinisasi.
Munculnya kekuatan baru di birokrasi menjadi sebuah perdebatan
apakah karena buah dari santri yang bertransformasi menjadi kekuatan
penting di birokrasi (priyayisasi santri) atau kelompok priyayi yang
berubah menjadi santri (santrinisasi priyayi).
Dua istilah ini membawa konsekuensi berbeda apakah kaum santri yang
berhasil memengaruhi kekuasaan atau sebaliknya pihak penguasa yang
berhasil menundukkan kaum santri? Apa pun realitas sejarah pada waktu
itu, faktanya adalah santri menjadi kekuatan kelas menengah baru yang
diperhitungkan tidak hanya di bidang sosial politik, tetapi juga di
bidang ekonomi dan budaya.
Dalam artikel yang ditulis oleh Wasisto Raharjo Jati (2014) berjudul
"Tinjauan Perpektif Intelegensia terhadap Genealogi Kelas Menengah
Muslim di Indonesia" menyebutkan munculnya dua kecenderungan kelas
menengah muslim, yaitu kelas intelegensia muslim dan urban muslim.
Kelas intelegensia muslim merupakan perluasan fungsi santri yang
biasanya lebih banyak memfokuskan pada isu-isu hubungan agama dan
negara, termasuk upaya pembentukan masyarakat yang ideal (masyarakat
madani).
Kelas urban muslim yang juga merupakan fenomena kelas menengah baru lebih menginginkan gaya hidup yang lebih islami.
Mereka menginginkan mode, bisnis, maupun gaya hidup yang islami walaupun kadang tampak sederhana dan artifisial.
Baik intelegensia muslim maupun urban muslim ini sama-sama merespons
tantangan-tantangan global dalam tataran sosial politik dan budaya.
Jika kelas menengah muslim dari kalangan intelegensia berhasil
melahirkan konsep Islam sipil dan muslim demokrat, kelompok urban muslim
lebih tertarik dengan Islam populer.
Dua-duanya penting dalam menempatkan fungsi agama maupun sekadar
memenuhi kebutuhan kelas menengah terhadap agama, baik itu Islam
difungsikan sebagai nilai spiritual maupun Islam sebagai simbol
kesalehan sosial semata.
Tentunya kecendurungan semacam ini tidak perlu dikontraskan, tetapi
harus dapat dikombinasikan sebagai kekuatan dalam menghadapi
tantangan-tantangan global.
Di sinilah kemudian modal sosial santri diharapkan mampu
menyelesaikan persoalan-persoalan kekinian, termasuk beberapa tantangan
global yang cukup krusial.
Otoritarianisme tidak sejalan dengan sifat egaliter dan demokratis
santri, ketidakadilan ekonomi dapat dicegah dengan sikap bersahaja dan
tawaduk yang ditopang oleh semangat berkorban santri dan konflik agama
maupun terorisme bias diatasi dengan sifat moderat dan inklusif santri.
Demikian pula, hambatan dalam mengembangkan terobosan bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat dijembati dengan model slogan Santri
Njoso "Berotak London, Berhati Masjidilharam (Mekah)".
Dengan pengakuan dan pengakuan peran santri, secara tidak langsung
telah memperkuat bangsa ini dalam menghadapi masalah-masalah global.
Itulah peran strategis santri yang kadang kurang disadari oleh publik
dan para elite di Indonesia.
Kekuatan Tersendiri
Karakteristik santri yang mencirikan sikap semangat berkorban,
mandiri, bersahaja, egaliter, tawaduk, dan moderat akan menjadi kekuatan
tersendiri bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan
globalisasi.
Oleh karena itu, peran santri perlu diwadahi dan ditingkatkan
disebabkan kemampuannya dalam menopang karakter bangsa dan juga
kemampuannya dalam menyesuaikan diri dan menghadapi tantangan-tantangan
globalisasi.
Kemampuan mereka dalam mengendalikan dan menyesuaikan dengan
perkembangan global akan berdampak positif dalam mencegah dampak-dampak
negatif globalisasi.
Lahirnya santri bertransformasi menjadi kekuatan kelas menengah
santri baik dalam bentuk kekuatan intelegensia muslim maupun urban
muslim perlu diapresiasi. Keduanya harus didekatkan agar lebih sempurna
dalam berkontribusi guna memperkuat karakter bangsa dan menopang tetap
kukuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di sini peran strategis santri menjadi sangat relevan bagi kemajuan bangsa Indonesia ke depan.
Slogan "Berotak London, Berhati Masjidilharam (Mekah)" adalah salah
satu ide orisinal dari sebuah komunitas santri yang mencoba untuk
mensinkronkan antara kewajiban agama dan tuntutan modernitas.
Artinya, agama diharapkan mampu mengendalikan dan mengarahkan
tuntutan-tuntutan global sehingga membawa manfaat bagi keberlangsungan
peradaban manusia pada masa depan. Selamat Hari Santri!
*) Penulis adalah Ketua Program Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia.
Peran strategis santri pada era global
Minggu, 22 Oktober 2017 16:09 WIB