Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Arcandra Tahar memaparkan hasil diskusi terkait rencana
pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
"Pada intinya kita berdiskusi. Yang selama ini saya pelajari,
diskusi kita berada pada tataran peraturan, strategi dan termasuk
Kebijakan Energi Nasional kita," katanya di Jakarta, melalui keterangan
tertulis yang diterima Antara, Sabtu.
"Nah hari ini approachnya
agak berbeda, bukan lagi berdialog apakah nuklir (dalam arti PLTN) yang
selama ini pada PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 79 dalam Kebijakan
Energi Nasional sebagai the last resource. Yang kita fokuskan apakah
kita punya resources, teknologi, sumber daya manusianya?" katanya.
Diskusi
ini membahas enam poin, yaitu ketersediaan, teknologi, sumber daya
manusia, kesiapan masyarakat, bisnis proses serta komersialisasi.
"Dalam
pengembangan PLTN ini harus diperhatikan beberapa, apakah ketersedian
bahan baku masih resource atau sudah reserve, untuk teknologi apakah
sudah ada yang bisa mengembangkan thorium, juga sumber daya manusia,
banyak hal yang harus dipertimbangkan," katanya.
Ia juga
menjelaskan beberapa hal yang terungkap dalam diskusi antara lain
pertama, ketersediaan potensi sumber daya di Bangka Belitung Thorium
sebesar 120.000 ton, Uranium 24.000 ton, dan Unsur Tanah Jarang
7.000.000 ton.
Kedua, belum adanya teknologi yang terbukti untuk thorium, selama ini mayoritas teknologi untuk uranium.
Terdapat
447 PLTN beroperasi di 31 negara, dan 61 negara sedang konstruksi.
Prancis memiliki kapasitas terbesar (75 persen bauran energi), sedangkan
saat ini Cina paling aktif konstruksi.
Selanjutnya, keekonomian harga nuklir masih di atas Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik nasional.
Keempat, penerimaan masyarakat terhadap adanya reaktor nuklir perlu dipertimbangkan.
"Secara garis besar kita memiliki potensi, tetapi pembiayaan nuklir
itu besar sekali, hingga 6 juta dolar AS per MW apabila dibandingkan
dengan pembangkit batubara yang membutuhkan 1 hingga 2 juta dolar AS per
MW, serta harga akhir yang masih di atas BPP, sekitar 9,7 sampai 13,6
sen per kWh," katanya.
Ia mencontohkan untuk perhitungan tarif listrik PLTN di Bangka oleh Rosatom (Rusia) sebesar 12 cent$/kWh.
Dengan
harga tersebut yang lebih tinggi dari BPP sebesar 7 cent$/kWh maka,
biaya kemahalan listrik PLTN mencapai Rp3 triliun untuk kapasitas 300
MW.
"Apabila secara komersial tidak memadai dibanding dengan pembangkit
energi terbarukan yang lainnya, lebih baik dipikirkan lagi, selain itu
perlu waktu 10 tahun untuk pengembangan nuklir setelah go nuklir,"
katanya juga.
Arcandra paparkan rencana pengembangan PLTN
Sabtu, 4 November 2017 21:31 WIB