Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Kalah dengan kepala tegak adalah istilah yang sering digunakan
dalam mengomentari tim sepak bola yang kalah berlaga setelah tim
pecundang itu memperlihatkan usaha maksimal dengan bermain sportif.
Tim yang menerima kekalahan dengan lapang dada dalam kompetisi
sepak bola itu juga sering disebut sebagai tim yang kalah bermartabat
karena mengakui kekalahan itu akibat lawan telah bermain lebih bagus.
Dalam konteks politik, semua kalangan saat ini berharap para
kontestan dalam kompetisi Pilpres 2014 pun siap untuk kalah secara
bermartabat, siapapun yang kalah. Sang pemenang pun dituntut untuk
bermetamorposis menjadi pemenang bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menerima kekalahan dengan lapang dada, atau kalah secara
bermartabat adalah bagian dari adab politik modern, yang telah
diperlihatkan oleh para elit politik yang matang di seluruh dunia.
Di Indonesia pun, sejumlah elit politik memperlihatkan kebesaran
jiwa tersebut. Untuk menyebut beberapa di antara mereka adalah Fauzi
Bowo ketika dia dikalahkan oleh Joko Widodo dalam kompetisi
memperebutkan kursi Gubernur beberapa waktu lalu.
Presiden B.J. Habibie yang diturunkan dalam sidang MPR, meskipun di
dalam konteks persaingan individual memperebutkan jabatan politik, juga
dicatat dengan tinta emas sebagai figur negarawan yang dengan lapang
dada alias legowo menerima keputusan politik untuk melengserkannya dari
jabatan politik.
Kali ini, Pilpres 2014 janganlah sampai menjadi kompetisi yang
membelah rakyat Indonesia menjadi dua kelompok yang tetap bersaing,
apalagi bermusuhan secara politik. Kuncinya ada di tangan presiden
terpilih.
Entah Prabowo Subianto dan wakilnya, entah Joko Widodo dan
wakilnya, yang menang dalam Pilpres 2014 adalah presiden bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Situasi politik pasca-Pilpres 2014 diharapkan melahirkan kedamaian
sosial tanpa gejolak yang merugikan semua pihak. Prediksi pesimistik
bahwa perbedaan angka yang tipis dalam perolehan suara bagi pemenang
yang bisa menimbulkan kericuhan di akar rumput diharapkan tidak terjadi.
Untuk mencapai situasi damai itu, para elite politik, terutama
kedua capres dan cawapres, menjadi aktor utama yang akan menentukan
apakah siatuasi damai itu bisa tercapai atau tidak. Jika salah satu saja
tidak siap untuk kalah secara bermartabat, situasi di bawah bisa jauh
dari damai.
Namun, melihat kiprah perpolitikan kedua capres selama masa
kampanye Pilpres 2014, situasi damai setelah pengumuman pemenang Pilpres
oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) kemungkinan besar terwujud.
Baik kubu Prabowo maupun kubu Jokowi telah mengeluarkan komitmen
untuk siap menerima kekalahan. Dengarlah pernyataan Fadel Muhammad,
salah satu anggota Tim Kampanye Nasional Prabowo-Hatta, yang meneduhkan
ini: Tim Prabowo-Hatta siap berpolitik secara dewasa. Menang atau kalah,
pihak lawan tetap dihargai, tutur Fadel Muhammad.
Sementara kubu Jokowi-Kalla, yang diwakili Ahmad Basarah, anggota
Tim Kampanye Nasional Jokowi-Kalla, menyatakan komitmennya untuk siap
menang dan siap kalah.
Tentu siap menang dan siap kalah harus dimaknai secara luas dalam
arti bahwa masih ada proses-proses hukum yang bisa digunakan untuk
melakukan perlawanan politik setelah KPU mengumumkan hasil pencoblosan
Pilpres 2014 itu.
Pihak yang kalah, siapapun dia, bisa menggugat keputusan KPU,
melalui sidang di Mahkamah Konstitusi (MK). Dan ketika MK sudah
memutuskannya, apapun keputusan itu, kedua kubu semestinya menerimanya
dengan lapang dada.
Kekalahan dalam berpolitik bukahlah akhir dari segalanya. Masih ada
perlawanan politik dengan menjadi partai oposisi dalam rangka
memperjuangkan nilai-nilai ideologi yang diusung.
Dan setelah lima tahun, yang kalah bisa tampil kembali untuk
berlaga memperebutkan kursi kekuasaan eksekutif tertinggi, yakni kursi
kekuasaan kepresidenan.
Perjuangan merebut kekuasaan tertinggi selayaknya dimaknai juga sebagai perjuangan untuk cita-cita politik yang luhur.
Bukan
sekadar meraih keistimewaan material dan popularitas tapi meraih
kesempatan untuk mewujudkan impian menyejahterakan rakyat yang belum
sejahtera.
Jika impian luhur itu yang menjadi niat awal para capres dan
cawapres maju dalam Pilpres 2014, kekalahan pastilah dimaknai sebagai
kesempatan yang tertunda dan bisa diraih kembali di kesempatan
berikutnya.
Yang menarik dalam kehidupan politik di Indonesia saat ini adalah
semakin besarnya partisipasi publik untuk ikut menjaga proses
berdemokrasi.
Hal itu juga diperkuat oleh kemajuan teknologi
informasi yang memungkinkan setiap warga negara menyampaikan aspirasi
mereka lewat media sosial.
Sarana internet juga menjadikan hasil pencoblosan bisa diunggah dan
bisa disimak serta diverifikasi secara publik sehingga berbagai
kecurangan dalam proses penyelenggaraan Pilpres semakin dapat
diminimalkan.
Desakan berbagai kalangan untuk penyelenggaraan Pilpres 2014 yang jujur dan transparan sudah diekspresikan berkali-kali.
Salah satunya adalah pernyataan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammdiyah Din Syamsuddin.
Bersama sejumlah tokoh lintas agama dalam forum jumpa wartawan di
Pusat Dakwah Muhammadiyah belum lama ini, Din Syamsuddin menyerukan
permintaan tokoh lintas agama bahwa kedua pasang capres dan cawapres
beserta tim sukses kedua pasangan untuk mengedepankan sikap
kenegarawanan.
Sikap kenegarawanan itu diperlukan, demikian hemat Din Syamsuddin,
karena hal itu untuk memelihara dan menjaga kerukunan dan kesatuan serta
persatuan bangsa.
"Semua pihak harus mematuhi apapun hasil pemilihan presiden, siap
menang dan siap kalah. Semua pihak harus mengendalikan diri," katanya.
Bagi yang menang juga tak kalah pentingnya untuk tidak merayakannya
atau eufora secara berlebihan karena hal itu bisa menimbulkan
pertentangan antar-kelompok dan berpotensi memecah belah bangsa.
Pengamat politik J Kristiadi juga menyerukan pernyataan serupa.
Yang kalah harus legowo dan yang menang tak perlu mengumbar kegembiraan.
Bagi J Kristiadi, yang penting adalah kemenangan bagi rakyat.
Artinya, siapapun yang menjadi Presiden, kepentingan rakyat secara
keseluruhan harus terwujud dalam kebijakan-kebijakan politik dalam
kabinet mendatang.
Dengan kata lain, yang berdaulat adalah rakyat dan yang menang adalah rakyat juga.
Presiden
terpilih harus siap menjadi pelayan rakyat karena hakikat berpolitik
yang paling asasi adalah berbakti untuk kemaslahatan masyarakat bukan
kelompok atau pribadi.
Sudah saatnya rakyat melihat seorang presiden yang asketik, itulah
ungkapan yang agak ekstrem dari budayawan Indra Tranggono.
Meski agak ekstrem, namun mengandung seruan profetik yang substansial.
Kalah bermartabat bagian adab politik
Kamis, 17 Juli 2014 16:42 WIB