Semarang (ANTARA) - Penetapan pasangan calon terpilih pada Pilpres 2019 berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, atau tidak menerapkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, kata analis politik dari Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono.
Karena Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI 2019 hanya diikuti dua pasangan calon sehingga ketentuan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi (17 provinsi) tidak berlaku, kata Teguh Yuwono di Semarang, Sabtu, .
Hal itu, lanjut dia, sesuai dengan Putusan MK No.50/PUU-XII/2014 yang intinya Pasal 159 Ayat (1) UU No. 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden yang hanya terdiri atas dua pasangan calon.
Menurut Teguh Yuwono, seharusnya ketentuan itu sudah tidak ada lagi dalam UU No.7/2017 tentang Pemilu. Namun, pada kenyataannya termaktub di dalam undang-undang tersebut setelah putusan MK pada tahun 2014.
Dalam UU No.7/2017 Pasal 416 Ayat (1), disebutkan bahwa pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
"Jadi, Undang-Undang Pemilu tidak berlaku meski lahirnya UU itu setelah Putusan MK No.50/PUU-XII/2014," kata Teguh Yuwono yang juga Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Undip.
Sesuai dengan putusan MK, katanya lagi, jika hanya dua pasangan calon, berlaku aturan bahwa siapa pun yang memperoleh suara lebih dari 50 persen suara pilpres tingkat nasional dinyatakan sebagai pemenang.
Pengamat sebut paslon terpilih Pilpres berdasar suara terbanyak
Sabtu, 27 April 2019 12:06 WIB