Semarang (ANTARA) - Analis politik dari Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono menyatakan tidak mudah memakzulkan Presiden dan/atau Wakil Presiden karena mekanisme impeachment ada syarat-syarat sebagaimana ketentuan dalam Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945.
"Kalau proses politik pemakzulan karena dinilai ingkar janji dan dinilai macam-macam, nah, itu pertanyaan yang menilai siapa? Terus yang bisa mengatakan ingkar janji itu siapa?" kata Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. di Semarang, Senin pagi.
Menurut Teguh Yuwono, jika pemakzulan berbasis pada kesalahan politik, itu ada proses politiknya. Namun, jika Presiden dan/atau Wakil Presiden ketangkap basah karena korupsi, itu tidak perlu mekanisme politik terlalu panjang.
"Itu bisa diberhentikan sementara sampai proses pengadilan selesai," kata Teguh Yuwono yang juga Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip Semarang.
Ia melanjutkan, "Tentu ada mekanisme-mekanisme politik. 'Kan ada hak penyelidikan di DPR, ada hak bertanya, dan sebagainya. Jadi, mekanisme pemakzulan tidak sesederhana yang dibayangkan".
Kalau pemakzulan begitu simpel dilakukan, menurut Teguh Yuwono, Presiden dan/atau Wakil Presiden baru dilantik 2—3 bulan bisa dimakzulkan karena ketidakpuasan orang.
"Jadi, di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu mekanismenya jelas bahwa harus melalui proses politik," tutur alumnus Flinders University Australia ini.
Di dalam Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Analis sebut tidak mudah memakzulkan Presiden
Senin, 5 Juli 2021 9:42 WIB