(ANTARA GORONTALO) Tidaklah mengherankan bahwa begitu banyak kekeliruan merajalela di
kehidupan politik Indonesia. Satu di antara sekian banyak penyebab
kekeliruan politik Indonesia terletak pada kenyataan memang begitu
banyak kekeliruan istilah politik terlanjur kaprah hadir di persada
Nusantara.
Misalnya saja, saya sempat protes ketika Gus Dur mengatakan bahwa
perilaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat persis seperti anak-anak di
Taman Kanak-Kanak.
Bagi saya, penyamaan perilaku anggota DPR dengan anak-anak TK yang
masih polos, jujur dan bersih itu merendahkan citra anak-anak TK.
Istilah Dewan Perwakilan Rakyat juga pada hakikatnya tidak sesuai
kenyataan bahwa para anggota DPR pada hakikatnya bukan mewakili rakyat,
namun partai politik. Maka selama anggota DPR belum benar-benar pada
kenyataan mewakili rakyat, sebaiknya akronim yang digunakan adalah DPPP
sebagai kependekan dari Dewan Perwakilan Partai Politik.
Entah bagaimana dan kenapa, istilah fraksi terlanjur digunakan
sebagai pengelompokan para anggota DPR berdasar parpol yang mengusung
mereka padahal istilah yang benar sebenarnya adalah faksi tanpa "r" di
antara "f" dan "a" di bagian awal sang kata.
Karena istilah fraksi sebenarnya bermakna pecahan maka tidaklah
mengherankan apabila suasana di dalam DPR lebih kerap cenderung
terpecah-belah ketimbang bersatu-padu.
Nama yang sempat digunakan untuk kantor kepresidenan di masa Orde
Baru juga sebenarnya keliru. Graha adalah nama bahasa Sansekerta untuk
buaya, sementara kata Sansekerta yang lebih benar untuk Gedung
sebenarnya adalah Grha tanpa huruf "a" setelah "g" dan "r".
Namun bahwa pada kenyataan memang banyak politisi berperangai mirip
buaya maka penggunaan istilah graha sebenarnya dapat dibenarkan juga.
Isme
Berbagai isme juga kerap keliru
ditafsirkan, seperti misalnya Machiavellisme ditafsirkan sebagai
pembenaran politik kotor, bahkan laknat, konsumerisme ditafsirkan
sebagai perilaku konsumtif berlebih, fasisme ditafsirkan sebagai mazhab
penghalalan segala cara demi mencapai tujuan, bahkan Marhaeinisme
ditafsirkan sebagai paham komunis.
Tidak heran bahwa pada kenyataan pengejawantahannya, apa yang
disebut sebagai otonomi daerah ditafsirkan sebagai pemutlakan kekuasaan
kepala daerah.
Tidak dari kurang sang Bapak Otonomi Daerah Prof Dr Ryaas Rasyid
sendiri yang meratapi kekeliruan penjabaran kebijakan otonomi daerah
pada kenyataan pewujudannya.
Kebijakan otonomi daerah yang dengan susah payah dirancang oleh
Prof Ryaas Rasyid dengan niat mendesentralisasi kekuasaan demi
memandirikan daerah pada kenyataannya lebih banyak membawa mudarat
ketimbang manfaat akibat para kepala daerah memang belum siap untuk
mandiri.
Tidak perlu diragukan lagi bahwa maksud dan tujuan semangat
pembangunan infrastruktur yang digelorakan oleh Presiden Joko Widodo
adalah demi menyejahterakan, bukan menyengsarakan rakyat.
Namun sayang sekali, pada kenyataan begitu banyak kepala daerah
keliru atau pura-pura keliru menafsirkan maka keliru menatalaksana
pembangunan infrastruktur sehingga alih-alih menyejahterakan, malah
menyengsarakan rakyat yang dikorbankan atas nama pembangunan
infrastruktur dengan cara yang secara jelas, bahkan sempurna melanggar
hukum, hak asasi manusia, agenda pembangunan berkelanjutan, Pancasila
serta nurani kemanusiaan.
Pembangunan infrastuktur yang sedang digelorakan oleh Presiden
Jokowi teryata dilaksanakan dengan cara yang jelas mengingkari Kontrak
Politik yang ditandatangani Presiden Jokowi di masa masih menjadi Calon
Gubernur Jakarta dengan janji bukan menggusur, namun menata pemukiman
rakyat miskin.
Demokrasi
Demokrasi pada kenyataan pewujudannya cenderung
dikelirukan menjadi Democracy. Alur gerak demokrasi yang seharusnya dari
rakyat oleh rakyat untuk rakyat dikelirukan menjadi dari rakyat oleh
rakyat untuk penguasa.
Rakyat yang mati-matian dirayu dengan segala cara oleh mereka yang
ingin dipilih oleh rakyat untuk duduk di tahta kekuasaan pada masa
kampanye ternyata setelah masa kampanye usai dan mereka yang ingin
dipilih oleh rakyat pada kenyataan telah berhasil dipilih oleh rakyat
untuk duduk di tahta kekuasaan langsung menderita amnesia sehingga
langsung lupa kepada rakyat.
Istilah "pemerintah" mungkin tepat untuk negara penganut mazhab
kerajaan atau diktatur, namun tampaknya keliru untuk negara penganut
mazhab demokrasi sebab menyebabkan pihak yang kebetulan sedang memegang
kendali kekuasaan cenderung kerjanya hanya main perintah terhadap rakyat
yang telah memilih dirinya menjadi penguasa.
Jika rakyat tidak sudi diperintah oleh pemerintah maka pemerintah
memiliki cukup banyak kekuasaan untuk memaksa rakyat tunduk pada
perintah pemerintah.
Kebebasan berpendapat dan mengungkap pendapat yang dipersembahkan
Orde Reformasi bagi bangsa Indonesia pada era Orde Reformasi ternyata
juga keliru ditafsirkan sebagai kebebasan menghujat bahkan kebebasan
memfitnah yang sedang mewabah di persada Nusantara masa kini.
Namun mungkin kekeliruan paling keliru adalah yang sedang ganas
melekat pada sistem ketata-negaraan Indonesia yang bukan cuma
membiarkan, namun bahkan menyemangati setiap partai politik untuk bebas
merdeka leluasa merajalela gigih mencari dana sebanyak mungkin demi
menghidupi diri sendiri masing-masing.
Parpol bukan hanya berfungsi sebagai mesin politik, namun juga
mesin cari duit. Selama parpol dibiarkan merajalela sibuk dan giat
mencari duit sendiri maka silakan asyik bermimpi di siang hari bolong
bahwa korupsi akan lenyap dan musnah dari Tanah Air Angkasa kita
tercinta ini.
*) Penulis adalah seniman dan budayawan, pendiri Pusat Studi Kelirumologi
Kelirumologi politik Indonesia
Jumat, 24 Maret 2017 21:47 WIB