Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta agar KPK menindaklanjuti keterangan Miftahul Ulum, bekas asisten pribadi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi yang menyatakan ada dugaan aliran dana kepada anggota BPK Achsanul Qosasi dan mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Adi Toegarisman.
"ICW dalam hal ini menuntut agar KPK dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) pro-aktif dalam melindungi para saksi yang sedang memberikan keterangan di persidangan. Terlebih lagi, keterangan saksi tersebut rawan akan intimidasi dari pihak tertenu karena menyasar keterlibatan oknum mantan pejabat tinggi di institusi penegak hukum," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Jakarta, Jumat.
Pada sidang 15 Mei 2020 lalu, Ulum menyatakan pihak Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Kemenpora sudah punya kesepakatan untuk memberikan sejumlah uang ke BPK dan Kejaksaan Agung untuk mengatasi sejumlah panggilan ke KONI oleh Kejaksaan Agung.
Ulum pun menyebutkan uang tersebut diberikan ke beberapa oknum di BPK dan Kejaksaan Agung.
"BPK untuk insial AQ yang terima 3 miliar itu Achsanul Qosasih, kalau Kejaksaan Agung ke Andi Togarisman, setelah itu KONI tidak lagi dipanggil oleh Kejagung," kata Ulum dalam sidang.
Namun, pascamemberikan kesaksian di persidangan, Ulum langsung dipanggil oleh Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam perkara yang hampir serupa dengan KPK.
"Langkah hukum yang diambil Kejaksaan Agung ini pun patut untuk dipertanyakan bersama. Pertama, kuat dugaan pemanggilan Ulum oleh Kejaksaan terkait langsung dengan kesaksiannya yang menyebutkan adanya dugaan aliran dana ke mantan Jampidsus Adi Toegarisman," ungkap Kurnia.
Soal momentum itu menurut Kurnia penting untuk disorot, jangan sampai ada upaya dari Kejaksaan Agung untuk melindungi oknum-oknum tertentu yang diduga terlibat dalam praktik korupsi.
"Kedua, Kejaksaan Agung tidak berhak untuk menilai keterangan yang disampaikan oleh Ulum di persidangan dengan terdakwa mantan Menpora Imam Nahrawi. Selain perkara itu bukan ditangani langsung oleh Kejaksaan Agung, mestinya sebagai penegak hukum dapat memahami bahwa yang berhak untuk menilai kesaksian di persidangan hanya majelis hakim," ucap Kurnia menambahkan.
Atas dasar tersebut maka mudah sebenarnya bagi masyarakat untuk membangun dugaan teori kausalitasnya, yakni: pemanggilan Ulum oleh Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam sebuah perkara dugaan korupsi menjadi akibat dari keterangannya yang menyasar salah seorang mantan petinggi di Korps Adhyaksa itu.
"Pernyataan Kejaksaan Agung yang membantah keterangan Ulum di persidangan amat disayangkan, seharusnya Kejaksaan Agung mendukung upaya KPK yang sedang berupaya membongkar praktik rasuah di Kemenpora tersebut. Bahkan, jika di kemudian hari ditemukan adanya dugaan keterlibatan pihak lain, pihak Kejaksaan Agung sebenarnya secara hukum tidak punya hak untuk turut ikut campur," ungkap Kurnia.
Menurut Kurnia, tidak sedikit masyarakat yang menduga bahwa langkah Kejaksaan Agung ini sebagai upaya intervensi terhadap proses hukum yang sedang berjalan di persidangan karena terkesan ingin menyelamatkan rekan sejawatnya bukan kali pertama ini saja terjadi.
Contoh lain pada pertengahan 2019 lalu saat KPK melakukan tangkap tangan di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta terkesan adanya dugaan intervensi terhadap proses hukum, mulai dari anggota DPR sampai mantan Jaksa Agung saat itu mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menginginkan agar proses hukum terhadap jaksa-jaksa dilakukan oleh internal Kejaksaan sendiri.
Selain itu, perlindungan saksi pun penting untuk digaungkan kembali. Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban secara tegas menyebutkan bahwa seorang saksi dalam perkara tindak pidana korupsi berhak mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
"Tak hanya itu, KPK pun semestinya dapat pro-aktif dalam melakukan perlindungan terhadap saksi, hal ini diatur dalam Pasal 15 UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK bahwa KPK berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi yang memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi," ungkap Kurnia.
Menurut Kejaksaan Agung, pihaknya telah mendapat laporan dari masyarakat terkait dugaan kasus penyaluran dana hibah dari Kemenpora ke KONI pada 16 Mei 2018. Laporan tersebut kemudian diadministrasikan lalu ditelaah oleh jaksa peneliti.
Hasil penelaahan sudah selesai dilakukan pada 6 Juni 201, jaksa peneliti merekomendasikan laporan itu layak ditindaklanjuti karena ada indikasi kuat pidana.
Selanjutnya pada 26 Juni 2018 Warih Sadono selaku Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung melaporkan tindak lanjut laporan itu kepada Adi. Warih meminta persetujuan laporan itu naik ke tahap penyelidikan.
Adi Toegarisman lalu mengeluarkan disposisi menyetujui dilakukannya penyelidikan terkait perkara itu sehingga surat perintah penyelidikan terbit pada 9 Juli 2018. Penyelidikan kasus dugaan rasuah dana hibah KONI ke Kemenpora pun mulai dilakukan Kejaksaan Agung.
Pada 17 September 2018, tim penyelidik sudah membuat hasil laporan penyelidikan. Perkara bisa dinaikkan ke penyidikan, namun jabatan direktur penyidikan Kejagung yang semula diisi oleh Warih Sadono berpindah ke Asri Agung Putra. Akibatnya ada ekspose ulang mengenai kasus dana hibah KONI tersebut.
Dalam gelar perkara oleh Direktur Penyidikan yang baru pada 21 Februari 2019, kasus tersebut direkomendasikan naik jadi penyidikan dan pada 12 Maret 2019 laporan hasil ekspose dilaporkan kepada Adi.
Pada 13 Maret 2019 Adi pun menyetujui kasus naik ke penyidikan. Berkas penyidikan dinyatakan selesai dan surat perintah penyidikan terbit pada 22 April 2019, sempat mengalami perpanjangan hingga 8 Mei 2019, penyidik Kejagung sudah memeriksa sekitar 50 orang saksi dan tinggal meminta bantuan perhitungan kerugian negara ke BPKP.
Namun, BPKP merekomendasikan perhitungan kerugian negara diminta ke BPK sebab BPK sudah mendalami terkait perkara ini sehingga Kejagung meminta bantuan BPK pada September 2019.
Adi lalu pensiun pada 28 Februari 2020, hingga dia pensiun, perhitungan BPK terkait kerugian negara belum keluar dan Kejagung pun masih menunggu terkait hasil perhitungan tersebut hingga saat ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020
"ICW dalam hal ini menuntut agar KPK dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) pro-aktif dalam melindungi para saksi yang sedang memberikan keterangan di persidangan. Terlebih lagi, keterangan saksi tersebut rawan akan intimidasi dari pihak tertenu karena menyasar keterlibatan oknum mantan pejabat tinggi di institusi penegak hukum," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Jakarta, Jumat.
Pada sidang 15 Mei 2020 lalu, Ulum menyatakan pihak Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Kemenpora sudah punya kesepakatan untuk memberikan sejumlah uang ke BPK dan Kejaksaan Agung untuk mengatasi sejumlah panggilan ke KONI oleh Kejaksaan Agung.
Ulum pun menyebutkan uang tersebut diberikan ke beberapa oknum di BPK dan Kejaksaan Agung.
"BPK untuk insial AQ yang terima 3 miliar itu Achsanul Qosasih, kalau Kejaksaan Agung ke Andi Togarisman, setelah itu KONI tidak lagi dipanggil oleh Kejagung," kata Ulum dalam sidang.
Namun, pascamemberikan kesaksian di persidangan, Ulum langsung dipanggil oleh Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam perkara yang hampir serupa dengan KPK.
"Langkah hukum yang diambil Kejaksaan Agung ini pun patut untuk dipertanyakan bersama. Pertama, kuat dugaan pemanggilan Ulum oleh Kejaksaan terkait langsung dengan kesaksiannya yang menyebutkan adanya dugaan aliran dana ke mantan Jampidsus Adi Toegarisman," ungkap Kurnia.
Soal momentum itu menurut Kurnia penting untuk disorot, jangan sampai ada upaya dari Kejaksaan Agung untuk melindungi oknum-oknum tertentu yang diduga terlibat dalam praktik korupsi.
"Kedua, Kejaksaan Agung tidak berhak untuk menilai keterangan yang disampaikan oleh Ulum di persidangan dengan terdakwa mantan Menpora Imam Nahrawi. Selain perkara itu bukan ditangani langsung oleh Kejaksaan Agung, mestinya sebagai penegak hukum dapat memahami bahwa yang berhak untuk menilai kesaksian di persidangan hanya majelis hakim," ucap Kurnia menambahkan.
Atas dasar tersebut maka mudah sebenarnya bagi masyarakat untuk membangun dugaan teori kausalitasnya, yakni: pemanggilan Ulum oleh Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam sebuah perkara dugaan korupsi menjadi akibat dari keterangannya yang menyasar salah seorang mantan petinggi di Korps Adhyaksa itu.
"Pernyataan Kejaksaan Agung yang membantah keterangan Ulum di persidangan amat disayangkan, seharusnya Kejaksaan Agung mendukung upaya KPK yang sedang berupaya membongkar praktik rasuah di Kemenpora tersebut. Bahkan, jika di kemudian hari ditemukan adanya dugaan keterlibatan pihak lain, pihak Kejaksaan Agung sebenarnya secara hukum tidak punya hak untuk turut ikut campur," ungkap Kurnia.
Menurut Kurnia, tidak sedikit masyarakat yang menduga bahwa langkah Kejaksaan Agung ini sebagai upaya intervensi terhadap proses hukum yang sedang berjalan di persidangan karena terkesan ingin menyelamatkan rekan sejawatnya bukan kali pertama ini saja terjadi.
Contoh lain pada pertengahan 2019 lalu saat KPK melakukan tangkap tangan di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta terkesan adanya dugaan intervensi terhadap proses hukum, mulai dari anggota DPR sampai mantan Jaksa Agung saat itu mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menginginkan agar proses hukum terhadap jaksa-jaksa dilakukan oleh internal Kejaksaan sendiri.
Selain itu, perlindungan saksi pun penting untuk digaungkan kembali. Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban secara tegas menyebutkan bahwa seorang saksi dalam perkara tindak pidana korupsi berhak mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
"Tak hanya itu, KPK pun semestinya dapat pro-aktif dalam melakukan perlindungan terhadap saksi, hal ini diatur dalam Pasal 15 UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK bahwa KPK berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi yang memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi," ungkap Kurnia.
Menurut Kejaksaan Agung, pihaknya telah mendapat laporan dari masyarakat terkait dugaan kasus penyaluran dana hibah dari Kemenpora ke KONI pada 16 Mei 2018. Laporan tersebut kemudian diadministrasikan lalu ditelaah oleh jaksa peneliti.
Hasil penelaahan sudah selesai dilakukan pada 6 Juni 201, jaksa peneliti merekomendasikan laporan itu layak ditindaklanjuti karena ada indikasi kuat pidana.
Selanjutnya pada 26 Juni 2018 Warih Sadono selaku Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung melaporkan tindak lanjut laporan itu kepada Adi. Warih meminta persetujuan laporan itu naik ke tahap penyelidikan.
Adi Toegarisman lalu mengeluarkan disposisi menyetujui dilakukannya penyelidikan terkait perkara itu sehingga surat perintah penyelidikan terbit pada 9 Juli 2018. Penyelidikan kasus dugaan rasuah dana hibah KONI ke Kemenpora pun mulai dilakukan Kejaksaan Agung.
Pada 17 September 2018, tim penyelidik sudah membuat hasil laporan penyelidikan. Perkara bisa dinaikkan ke penyidikan, namun jabatan direktur penyidikan Kejagung yang semula diisi oleh Warih Sadono berpindah ke Asri Agung Putra. Akibatnya ada ekspose ulang mengenai kasus dana hibah KONI tersebut.
Dalam gelar perkara oleh Direktur Penyidikan yang baru pada 21 Februari 2019, kasus tersebut direkomendasikan naik jadi penyidikan dan pada 12 Maret 2019 laporan hasil ekspose dilaporkan kepada Adi.
Pada 13 Maret 2019 Adi pun menyetujui kasus naik ke penyidikan. Berkas penyidikan dinyatakan selesai dan surat perintah penyidikan terbit pada 22 April 2019, sempat mengalami perpanjangan hingga 8 Mei 2019, penyidik Kejagung sudah memeriksa sekitar 50 orang saksi dan tinggal meminta bantuan perhitungan kerugian negara ke BPKP.
Namun, BPKP merekomendasikan perhitungan kerugian negara diminta ke BPK sebab BPK sudah mendalami terkait perkara ini sehingga Kejagung meminta bantuan BPK pada September 2019.
Adi lalu pensiun pada 28 Februari 2020, hingga dia pensiun, perhitungan BPK terkait kerugian negara belum keluar dan Kejagung pun masih menunggu terkait hasil perhitungan tersebut hingga saat ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020