Kementerian Komunikasi dan Informatika menjadi institusi paling diharapkan masyarakat untuk bisa mencegah penyebaran hoaks, demikian hasil survei yang diselenggarakan Katadata Insight Center bersama Kementerian Kominfo.
"Harapan masyarakat tinggi terhadap Kominfo untuk menangani hoaks," kata Direktur Riset Katadata Insight Center, Mulya Amri, dalam konferensi pers virtual, Jumat.
Survei Literasi Digital Nasional 2020 melibatkan 1.670 responden dari 34 provinsi. Sebanyak 54,8 persen responden menjawab Kementerian Kominfo adalah lembaga yang diharapkan bisa menghentikan penyebaran hoaks di dunia maya.
Terdapat 45 responden yang menyatakan semua warga negara adalah harapan dalam menghentikan penyebaran hoaks.
Responden lainnya menaruh harapan pada TNI/Polri (44,7 persen), pers dan penyiaran 22,7 persen dan platform jejaring online (20,1 persen).
Sementara di daerah tertinggal, terdepan dan terluar atau 3T, responden paling banyak menggantungkan harapan mencegah hoaks pada semua warga negara, yakni 60 persen, kemudian TNI/Polri 55,7 persen.
Kominfo berada di urutan ketiga dengan responden sebanyak 50 persen, terdapat juga responden yang meminta presiden (12,9 persen) untuk menangani hoaks.
Lebih dari separuh responden menjawab mereka sering menemukan hoaks di platform Facebook, atau tepatnya 71,9 persen responden, sementara 31,5 persen di WhatsApp dan YouTube 14,9 persen.
Temuan ini sejalan dengan media sosial yang paling sering digunakan di Indonesia, berdasarkan survei Literasi Digital Nasional 2020, yaitu WhatsaApp 98,9 persen, Facebook 89,8 persen dan YouTube 87,8 persen.
Konten hoaks yang paling sering mereka temui berupa politik (67,2 persen), kesehatan (46,3 persen) dan agama (33,2 persen).
Ketika mendapatkan hoaks, responden merujuk kepada keluarga dan saudara mereka (58,7 persen) untuk mengklarifikasi kebenaran informasi tersebut. Jumlah yang bertanya kepada keluarga lebih tinggi dibandingkan yang mencari langsung di internet, yakni 52,4 persen.
Sebanyak 28,6 persen responden mencari informasi ke tetangga mereka dan 25,1 persen ke situs pemerintah.
Survei Literasi Digital Nasional juga menanyakan kepada responden apakah mereka pernah menyebarkan hoaks, 88,8 persen menjawab tidak pernah. Hanya 11,2 persen yang pernah.
Bagi responden yang pernah menyebarkan hoaks, 68,4 persen beralasan "hanya meneruskan" informasi yang ia dapat, tidak menakar kebenaran informasi tersebut. Sementara 56,1 persen menyatakan tidak tahu bahwa informasi tersebut adalah hoaks.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020
"Harapan masyarakat tinggi terhadap Kominfo untuk menangani hoaks," kata Direktur Riset Katadata Insight Center, Mulya Amri, dalam konferensi pers virtual, Jumat.
Survei Literasi Digital Nasional 2020 melibatkan 1.670 responden dari 34 provinsi. Sebanyak 54,8 persen responden menjawab Kementerian Kominfo adalah lembaga yang diharapkan bisa menghentikan penyebaran hoaks di dunia maya.
Terdapat 45 responden yang menyatakan semua warga negara adalah harapan dalam menghentikan penyebaran hoaks.
Responden lainnya menaruh harapan pada TNI/Polri (44,7 persen), pers dan penyiaran 22,7 persen dan platform jejaring online (20,1 persen).
Sementara di daerah tertinggal, terdepan dan terluar atau 3T, responden paling banyak menggantungkan harapan mencegah hoaks pada semua warga negara, yakni 60 persen, kemudian TNI/Polri 55,7 persen.
Kominfo berada di urutan ketiga dengan responden sebanyak 50 persen, terdapat juga responden yang meminta presiden (12,9 persen) untuk menangani hoaks.
Lebih dari separuh responden menjawab mereka sering menemukan hoaks di platform Facebook, atau tepatnya 71,9 persen responden, sementara 31,5 persen di WhatsApp dan YouTube 14,9 persen.
Temuan ini sejalan dengan media sosial yang paling sering digunakan di Indonesia, berdasarkan survei Literasi Digital Nasional 2020, yaitu WhatsaApp 98,9 persen, Facebook 89,8 persen dan YouTube 87,8 persen.
Konten hoaks yang paling sering mereka temui berupa politik (67,2 persen), kesehatan (46,3 persen) dan agama (33,2 persen).
Ketika mendapatkan hoaks, responden merujuk kepada keluarga dan saudara mereka (58,7 persen) untuk mengklarifikasi kebenaran informasi tersebut. Jumlah yang bertanya kepada keluarga lebih tinggi dibandingkan yang mencari langsung di internet, yakni 52,4 persen.
Sebanyak 28,6 persen responden mencari informasi ke tetangga mereka dan 25,1 persen ke situs pemerintah.
Survei Literasi Digital Nasional juga menanyakan kepada responden apakah mereka pernah menyebarkan hoaks, 88,8 persen menjawab tidak pernah. Hanya 11,2 persen yang pernah.
Bagi responden yang pernah menyebarkan hoaks, 68,4 persen beralasan "hanya meneruskan" informasi yang ia dapat, tidak menakar kebenaran informasi tersebut. Sementara 56,1 persen menyatakan tidak tahu bahwa informasi tersebut adalah hoaks.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020