Jaksa Agung Burhanuddin mengatakan penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi ini memiliki beberapa persoalan salah satunya penolakan dari para aktivitas Hak Asasi Manusia (HAM).
Menurut Burhanuddin, aktivis HAM mendapat dukungan dari dunia internasional yang mendorong setiap negara untuk menghapus regulasi hukuman mati, dengan dalih jika hak hidup merupakan hak mutlak yang tidak dapat dicabut oleh siapapun kecuali oleh Tuhan.
"Penolakan para aktivis HAM ini tentunya tidak dapat kita terima begitu saja. Sepanjang konstitusi memberikan ruang yuridis dan kejahatan tersebut secara nyata sangat merugikan bangsa dan negara, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menerapakan hukuman mati," kata Burhanuddin dalam webinar yang digelar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, secara daring, Kamis.
Burhanuddin mengatakan perlu menyadari bahwa eksistensi 'hak asasi' haruslah bergandengan tangan dengan 'kewajiban asasi'.
Dengan kata lain, kata Burhanuddin, negara akan senantiasa melindung hak asasi setiap orang, namun di satu sisi orang tersebut juga memiliki kewajiban untuk menghormati hak orang lain.
Lebih lanjut ia menjelaskan, peletakan pola dasar hukum Pancasila dengan menekankan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban merupakan sebuah keharusan agar tercipta tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
"Dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun," katanya.
Namun, lanjut dia, jika dilihat dari sistematika penyusunan pasal-pasal yang mengatur tentang perlindungan HAM di dalam UUD 1945, maka akan tampak adanya suatu pembatasan HAM yang tertuang di pasal penutupnya.
Ketentuan dalam Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945 telah mewajibkan setiap orang untuk menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kemudian dalam pasal penutup HAM yaitu di Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, menegaskan jika HAM dapat dibatasi dan bersifat tidak mutlak.
"Negara dapat mencabut HAM setiap orang apabila orang tersebut melanggar undang-undang," tegas Burhanddin.
Dengan demikian, kata Burhanuddin, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tersebut, maka penjatuhan sanksi pidana mati untuk koruptor yang selama ini terhalangi oleh persoalan HAM dapat ditegakkan.
Persoalan lain dalam penerapan hukuman mati terhadap korupti, adanya pandangan yang menghendaki dihapuskannya sanksi pidana mati dengan argumentasi bahwa adanya sanksi pidana mati tidak menurunkan kuantitas kejahatan.
Pandangan tersebut 'dilawan' oleh Burhanuddin dengan sebuah pertanyaan serupa secara "a contrario" yaitu : Apabila sanksi pidana mati untuk koruptor dihapuskan, apakah lantas akan terjadi penurunan kuantitas tindak pidana korupsi?"
"Mengingat perkara korupsi belum ada tanda-tanda hilang dan justru semakin meningkat kuantitasnya, maka sudah sepatutnya kita melakukan berbagai macam terobosan hukum sebagai bentuk ikhtiar pemberantasan korupsi," kata Burhanuddin.
Meski begitu, Burhanuddin menyebutkan, penerapan hukuman mati bagi para koruptor perlu dikaji lebih dalam untuk memberikan efek jera.
Selama ini kejaksaan telah melakukan beragam upaya penegakan hukum, misalnya menjatuhkan tuntutan yang berat sesuai tingkat kejahatan, mengubah pola pendekatan dari "follow the suspect" menjadi "follow the money" dan "follow the asset", serta memiskinkan koruptor.
Tapi ternyata efek jera hanya mengena para terpidana untuk tidak mengulangi kejahatan. Efek jera ini belum sampai ke masyarakat, karena koruptor silih berganti, dan tumbuh dimana-mana.
Sebelumnya, Jaksa Agung menggulirkan wacana hukuman mati terhadap koruptor, berkaca dari dua kasus megakorupsi yakni pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asabri dan PT Asuransi Jiwasraya.
Kedua kasus korupsi tersebut berdampak besar bagi masyarakat luas terutama pegawai dan anggota asuransi tersebut. Kerugian negara yang ditimbulkan sangat besar, yakni Rp16,8 triliun untuk kasus Jiwasraya, dan Rp22,78 triliun di kasus Asabri.
Selain itu, terdapat dua terdakwa yang sama di dua kasus tersebut, yakni Benny Tjockrosaputro dan Heru Hidayat.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2021
Menurut Burhanuddin, aktivis HAM mendapat dukungan dari dunia internasional yang mendorong setiap negara untuk menghapus regulasi hukuman mati, dengan dalih jika hak hidup merupakan hak mutlak yang tidak dapat dicabut oleh siapapun kecuali oleh Tuhan.
"Penolakan para aktivis HAM ini tentunya tidak dapat kita terima begitu saja. Sepanjang konstitusi memberikan ruang yuridis dan kejahatan tersebut secara nyata sangat merugikan bangsa dan negara, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menerapakan hukuman mati," kata Burhanuddin dalam webinar yang digelar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, secara daring, Kamis.
Burhanuddin mengatakan perlu menyadari bahwa eksistensi 'hak asasi' haruslah bergandengan tangan dengan 'kewajiban asasi'.
Dengan kata lain, kata Burhanuddin, negara akan senantiasa melindung hak asasi setiap orang, namun di satu sisi orang tersebut juga memiliki kewajiban untuk menghormati hak orang lain.
Lebih lanjut ia menjelaskan, peletakan pola dasar hukum Pancasila dengan menekankan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban merupakan sebuah keharusan agar tercipta tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
"Dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun," katanya.
Namun, lanjut dia, jika dilihat dari sistematika penyusunan pasal-pasal yang mengatur tentang perlindungan HAM di dalam UUD 1945, maka akan tampak adanya suatu pembatasan HAM yang tertuang di pasal penutupnya.
Ketentuan dalam Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945 telah mewajibkan setiap orang untuk menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kemudian dalam pasal penutup HAM yaitu di Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, menegaskan jika HAM dapat dibatasi dan bersifat tidak mutlak.
"Negara dapat mencabut HAM setiap orang apabila orang tersebut melanggar undang-undang," tegas Burhanddin.
Dengan demikian, kata Burhanuddin, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tersebut, maka penjatuhan sanksi pidana mati untuk koruptor yang selama ini terhalangi oleh persoalan HAM dapat ditegakkan.
Persoalan lain dalam penerapan hukuman mati terhadap korupti, adanya pandangan yang menghendaki dihapuskannya sanksi pidana mati dengan argumentasi bahwa adanya sanksi pidana mati tidak menurunkan kuantitas kejahatan.
Pandangan tersebut 'dilawan' oleh Burhanuddin dengan sebuah pertanyaan serupa secara "a contrario" yaitu : Apabila sanksi pidana mati untuk koruptor dihapuskan, apakah lantas akan terjadi penurunan kuantitas tindak pidana korupsi?"
"Mengingat perkara korupsi belum ada tanda-tanda hilang dan justru semakin meningkat kuantitasnya, maka sudah sepatutnya kita melakukan berbagai macam terobosan hukum sebagai bentuk ikhtiar pemberantasan korupsi," kata Burhanuddin.
Meski begitu, Burhanuddin menyebutkan, penerapan hukuman mati bagi para koruptor perlu dikaji lebih dalam untuk memberikan efek jera.
Selama ini kejaksaan telah melakukan beragam upaya penegakan hukum, misalnya menjatuhkan tuntutan yang berat sesuai tingkat kejahatan, mengubah pola pendekatan dari "follow the suspect" menjadi "follow the money" dan "follow the asset", serta memiskinkan koruptor.
Tapi ternyata efek jera hanya mengena para terpidana untuk tidak mengulangi kejahatan. Efek jera ini belum sampai ke masyarakat, karena koruptor silih berganti, dan tumbuh dimana-mana.
Sebelumnya, Jaksa Agung menggulirkan wacana hukuman mati terhadap koruptor, berkaca dari dua kasus megakorupsi yakni pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asabri dan PT Asuransi Jiwasraya.
Kedua kasus korupsi tersebut berdampak besar bagi masyarakat luas terutama pegawai dan anggota asuransi tersebut. Kerugian negara yang ditimbulkan sangat besar, yakni Rp16,8 triliun untuk kasus Jiwasraya, dan Rp22,78 triliun di kasus Asabri.
Selain itu, terdapat dua terdakwa yang sama di dua kasus tersebut, yakni Benny Tjockrosaputro dan Heru Hidayat.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2021