Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menilai ketidaksetujuan Presiden Prabowo Subianto atas penerapan hukuman mati bagi koruptor mencerminkan sikap kenegarawanan yang menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dan kemanusiaan.
Pasalnya, sambung dia, apabila seseorang sudah dieksekusi mati, maka tidak ada lagi kesempatan untuk menghidupkan kembali orang tersebut jika terdapat sisa 0,1 persen kemungkinan tidak bersalah, walaupun hakim sudah menyatakan 99,9 persen orang itu terbukti bersalah.
"Sebagai Presiden, beliau tidak ingin melaksanakan hukuman mati terhadap narapidana mana saja dan kasus apa saja," ujar Yusril saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.
Maka dari itu, dirinya berpendapat Prabowo berbicara bukan sebagai seorang hakim, tetapi seorang negarawan serta bapak bangsa yang berjiwa besar dan mengedepankan sisi kemanusiaan daripada sisi lainnya.
Menurut Yusril, penolakan Presiden tersebut sah dan sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Ia menuturkan Undang-Undang (UU) tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memang membuka kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman mati bagi terdakwa korupsi yang terbukti melakukan kejahatan tersebut dalam keadaan tertentu.
Dalam keadaan tertentu dimaksud, yakni keadaan-keadaan yang luar biasa, seperti keadaan perang, krisis ekonomi, maupun bencana nasional yang sedang terjadi.
"Itu disebut dalam UU Tipikor Nomor 20 Tahun 2001, yang saya sendiri ketika itu mewakili Presiden membahas RUU tersebut dengan DPR," tuturnya.
Meskipun UU telah membuka kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman mati
dalam keadaan seperti itu, sambung dia, sampai saat ini belum pernah ada penjatuhan hukuman mati terhadap terdakwa korupsi.
Selain itu, ia menambahkan bahwa apabila hakim menjatuhkan hukuman mati dan telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah, masih terbuka pula ruang bagi Presiden untuk memberikan grasi dan amnesti.
Jika grasi atau amnesti tidak diberikan, lanjut dia, eksekusi hukuman mati sepenuhnya merupakan kewenangan Kejaksaan Agung, di mana saat ini cukup banyak narapidana mati yang eksekusinya belum dilaksanakan, baik warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara asing (WNA).
Di sisi lain, dirinya turut menyoroti bahwa Indonesia saat ini sedang dalam masa transisi dari aturan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) lama peninggalan Belanda menuju KUHP Nasional yang akan mulai berlaku awal 2026.
Dalam KUHP Nasional, Yusril menjelaskan bahwa hukuman mati yang dijatuhkan tidak dapat langsung dilaksanakan, tetapi terpidana mati lebih dahulu harus ditempatkan dalam tahanan selama 10 tahun.
Ia mengungkapkan hal tersebut dilakukan untuk mengevaluasi narapidana sudah menyesali
perbuatannya atau tidak. Jika narapidana dinilai telah bertobat, maka hukumannya dapat diubah menjadi hukuman seumur hidup.
"Ketentuan ini berlaku bagi narapidana hukuman mati WNI atau WNA. Itu garis besarnya," ucap Yusril menambahkan.
Oleh karena itu, Menko menekankan bahwa pelaksanaan hukuman mati dalam KUHP Nasional harus diatur dengan undang-undang tersendiri, sehingga pemerintah kini sedang mempersiapkannya.
Sementara mengenai tudingan standar ganda terhadap narapidana hukuman mati WNI dan WNA, ia pun membantahnya, lantaran narapidana WNA dipindahkan ke negara asalnya untuk dipertimbangkan oleh pemerintahnya apakah akan dieksekusi mati atau tidak.
Di dalam negeri, Yusril menuturkan sikap Presiden Prabowo sangat jelas, di mana selama pemerintahannya sampai hari ini tidak ada terpidana mati yang dieksekusi oleh regu tembak, baik WNI maupun WNA.
Sebelumnya saat diwawancara oleh tujuh jurnalis senior di kediaman pribadi Presiden, Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (6/4),
Presiden RI Prabowo Subianto mengungkapkan ketidaksetujuan dia mengenai hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi karena hukuman tersebut tidak memberikan ruang koreksi apabila terdapat kesalahan dalam proses hukum.
"Hukuman mati itu final dan kita tidak bisa hidupkan dia kembali. Meski kita yakin dia 99,9 persen bersalah, mungkin saja ada satu masalah ternyata dia korban atau di-frame," kata Prabowo.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menko: Penolakan Presiden atas hukuman mati cerminkan kenegarawanan