Pengamat politik dari Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardani mengatakan bahwa Pemerintah dan DPR perlu merevisi Undang-Undang tentang Partai Politik guna memajukan agenda penguatan kapasitas politisi perempuan di dalam partai.
“Sebagai implementasi tindakan afirmatif untuk peningkatan representasi politik perempuan. Ini harusnya di-endorse melalui Undang-Undang tentang Partai Politik,” kata Sri dalam webinar series bertajuk Perempuan dan Politik: Quo Vadis Kuota 30 persen? yang disiarkan di platform Zoom Meeting, dipantau dari Jakarta, Selasa.
Ia memandang revisi UU Partai Politik diperlukan untuk merumuskan peraturan pendanaan afirmatif guna mempercepat kesetaraan melalui partai politik dan bantuan negara untuk partai politik.
“Karena partai politik kan menerima subsidi bantuan negara,” ucap dia.
Menurut dia, sayap perempuan dalam suatu partai masih bergantung pada komitmen ketua umum partai. Perbedaan kedekatan ketua umum partai dengan sayap perempuan akan menghasilkan kebijakan yang berbeda.
“Belum semua partai politik memasukkan aksi afirmatif di dalam AD/ART partai politik. Pemberlakuannya sporadis dan bergantung siapa ketua umumnya,” tuturnya.
Meskipun demikian, Sri menilai bahwa kebijakan afirmatif yang saat ini diimplementasikan di Indonesia cukup efektif dalam menambah jumlah keterwakilan perempuan di parlemen.
Akan tetapi, katanya, kebijakan ini belum signifikan menghasilkan perubahan relasi kuasa gender dan kebijakan yang berperspektif gender.
Berdasarkan pengamatan Sri, ideologi gerakan antara aktivis perempuan di masyarakat sipil dengan di partai politik seringkali tidak sejalan, termasuk relasi antarperempuan. Hal ini mulai terjadi sejak 5 tahun belakangan ini.
“Terjadi perubahan perempuan di partai politik. Terjadi regenerasi, ada keterputusan antara sharing knowledge (berbagi pengetahuan) dan ideologi antara aktivis gerakan perempuan dengan aktivis perempuan di partai politik. Ini menjadi masalah kita,” tuturnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2022
“Sebagai implementasi tindakan afirmatif untuk peningkatan representasi politik perempuan. Ini harusnya di-endorse melalui Undang-Undang tentang Partai Politik,” kata Sri dalam webinar series bertajuk Perempuan dan Politik: Quo Vadis Kuota 30 persen? yang disiarkan di platform Zoom Meeting, dipantau dari Jakarta, Selasa.
Ia memandang revisi UU Partai Politik diperlukan untuk merumuskan peraturan pendanaan afirmatif guna mempercepat kesetaraan melalui partai politik dan bantuan negara untuk partai politik.
“Karena partai politik kan menerima subsidi bantuan negara,” ucap dia.
Menurut dia, sayap perempuan dalam suatu partai masih bergantung pada komitmen ketua umum partai. Perbedaan kedekatan ketua umum partai dengan sayap perempuan akan menghasilkan kebijakan yang berbeda.
“Belum semua partai politik memasukkan aksi afirmatif di dalam AD/ART partai politik. Pemberlakuannya sporadis dan bergantung siapa ketua umumnya,” tuturnya.
Meskipun demikian, Sri menilai bahwa kebijakan afirmatif yang saat ini diimplementasikan di Indonesia cukup efektif dalam menambah jumlah keterwakilan perempuan di parlemen.
Akan tetapi, katanya, kebijakan ini belum signifikan menghasilkan perubahan relasi kuasa gender dan kebijakan yang berperspektif gender.
Berdasarkan pengamatan Sri, ideologi gerakan antara aktivis perempuan di masyarakat sipil dengan di partai politik seringkali tidak sejalan, termasuk relasi antarperempuan. Hal ini mulai terjadi sejak 5 tahun belakangan ini.
“Terjadi perubahan perempuan di partai politik. Terjadi regenerasi, ada keterputusan antara sharing knowledge (berbagi pengetahuan) dan ideologi antara aktivis gerakan perempuan dengan aktivis perempuan di partai politik. Ini menjadi masalah kita,” tuturnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2022