Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyatakan bahwa pengaturan konten isi siaran dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dilakukan demi kepentingan publik.
"Untuk kepentingannya siapa? Yang jelas di sini adalah bahwa tadi berkali-kali isunya adalah tentunya masyarakat. Ada isu perlindungan kepada penonton di situ. Apakah kemudian nanti ada penonton lain yang akan dirugikan? Kemungkinan besar (iya)," kata Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat Tulus Santoso di Jakarta, Selasa.
Hal itu disampaikan Tulus Santoso dalam Seminar Nasional "Reposisi Media Baru dalam Diskursus Revisi Undang-Undang Penyiaran" untuk menjawab soal pengaturan konten isi siaran pada revisi UU Penyiaran dilakukan untuk siapa.
Tulus menjelaskan salah satu bentuk pengaturan konten isi siaran demi kepentingan publik adalah saat film bermuatan sadis tayang di televisi.
"Harusnya teman-teman akan senang kalau ada (film sadis) di televisi. Teman-teman bisa menonton. Akan tetapi, karena di televisi dibatasi, jadi enggak asyik lagi, jadi ada yang dirugikan, tetapi ada yang terlindungi. Bahwa ada orang-orang di luar sana yang enggak bisa melihat kekerasan sadis, termasuk anak-anak, remaja, gitu, ya," jelasnya.
Ia mengatakan apabila negara mencoba memfasilitasi seluruh keinginan publik terhadap isi siaran maka negara dianggap telah gagal.
"Bahwa ada berbagai kepentingan yang muncul dan itu harus difasilitasi, apakah kemudian (perlu) menyenangkan 270 juta penduduk Indonesia? Tidak, karena kalau kita mencoba untuk menyenangkan semua orang, di situlah kita sudah gagal. Jadi, bagaimanapun itu maka agregasi kepentingan itu harus tetap dijaga," katanya.
Tulus menambahkan apabila masyarakat menginginkan KPI tidak mengatur konten isi siaran maka dipersilakan menyuarakan pendapat kepada DPR RI sebagai pembentuk undang-undang.
"Kalau publik menginginkan KPI enggak usah mengatur kontennya, isi siarannya, dilepas aja semuanya, silakan suarakan itu agar pembentuk undang-undang memerintahkan KPI tidak masuk ke ranah tersebut. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa ada yang namanya, istilahnya kepentingan publik. Itu bukan cuma kelompok Islam, bukan cuma kelompok Kristen, bukan cuma Hindu, bukan cuma Buddha, bukan cuma Aceh, Jawa, Kalimantan, Papua," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari beberapa waktu sebelumnya mengatakan bahwa isu sentral dari Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ialah menyangkut isi siaran.
"Apa isu sentralnya? ya, isi siaran. Isi siaran tentunya akan menyangkut peraturan terhadap seluruh bentuk siaran menggunakan media apa pun," kata Abdul Kharis dalam diskusi dengan tema "Menuju Era Baru, RUU Penyiaran Perlu Ikuti Kemajuan Teknologi" di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (19/3).
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: KPI Pusat: Pengaturan konten isi siaran demi kepentingan publik
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2024
"Untuk kepentingannya siapa? Yang jelas di sini adalah bahwa tadi berkali-kali isunya adalah tentunya masyarakat. Ada isu perlindungan kepada penonton di situ. Apakah kemudian nanti ada penonton lain yang akan dirugikan? Kemungkinan besar (iya)," kata Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat Tulus Santoso di Jakarta, Selasa.
Hal itu disampaikan Tulus Santoso dalam Seminar Nasional "Reposisi Media Baru dalam Diskursus Revisi Undang-Undang Penyiaran" untuk menjawab soal pengaturan konten isi siaran pada revisi UU Penyiaran dilakukan untuk siapa.
Tulus menjelaskan salah satu bentuk pengaturan konten isi siaran demi kepentingan publik adalah saat film bermuatan sadis tayang di televisi.
"Harusnya teman-teman akan senang kalau ada (film sadis) di televisi. Teman-teman bisa menonton. Akan tetapi, karena di televisi dibatasi, jadi enggak asyik lagi, jadi ada yang dirugikan, tetapi ada yang terlindungi. Bahwa ada orang-orang di luar sana yang enggak bisa melihat kekerasan sadis, termasuk anak-anak, remaja, gitu, ya," jelasnya.
Ia mengatakan apabila negara mencoba memfasilitasi seluruh keinginan publik terhadap isi siaran maka negara dianggap telah gagal.
"Bahwa ada berbagai kepentingan yang muncul dan itu harus difasilitasi, apakah kemudian (perlu) menyenangkan 270 juta penduduk Indonesia? Tidak, karena kalau kita mencoba untuk menyenangkan semua orang, di situlah kita sudah gagal. Jadi, bagaimanapun itu maka agregasi kepentingan itu harus tetap dijaga," katanya.
Tulus menambahkan apabila masyarakat menginginkan KPI tidak mengatur konten isi siaran maka dipersilakan menyuarakan pendapat kepada DPR RI sebagai pembentuk undang-undang.
"Kalau publik menginginkan KPI enggak usah mengatur kontennya, isi siarannya, dilepas aja semuanya, silakan suarakan itu agar pembentuk undang-undang memerintahkan KPI tidak masuk ke ranah tersebut. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa ada yang namanya, istilahnya kepentingan publik. Itu bukan cuma kelompok Islam, bukan cuma kelompok Kristen, bukan cuma Hindu, bukan cuma Buddha, bukan cuma Aceh, Jawa, Kalimantan, Papua," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari beberapa waktu sebelumnya mengatakan bahwa isu sentral dari Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ialah menyangkut isi siaran.
"Apa isu sentralnya? ya, isi siaran. Isi siaran tentunya akan menyangkut peraturan terhadap seluruh bentuk siaran menggunakan media apa pun," kata Abdul Kharis dalam diskusi dengan tema "Menuju Era Baru, RUU Penyiaran Perlu Ikuti Kemajuan Teknologi" di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (19/3).
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: KPI Pusat: Pengaturan konten isi siaran demi kepentingan publik
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2024