Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, pemerintah perlu untuk mendorong pertumbuhan industri pengolahan agar target pertumbuhan ekonomi 8 persen Pemerintahan Prabowo-Gibran dapat tercapai.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal III 2024 yang sebesar 4,95 persen (yoy) banyak ditopang oleh industri pengolahan yang tumbuh 4,72 persen (yoy) dan memiliki distribusi terhadap PDB sebesar 19,02 persen.
“Jika kita lihat dari sektor lapangan usaha meskipun industri pengolahan itu dapat tumbuh 4,72 persen secara tahunan, namun jika dibandingkan dengan pencapaian pada periode yang sama di tahun lalu yang mencapai 5,20 persen, maka ini tentu perlu menjadi perhatian tersendiri pemerintah. Hal ini karena industri pengolahan merupakan salah satu mesin perekonomian, dan ketika industri ini mengalami perlambatan pertumbuhan maka dia juga akan ikut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” kata Yusuf di Jakarta, Selasa.
Ia menilai apabila Presiden Prabowo membidik pertumbuhan ekonomi 8 persen, maka ke depan industri pengolahan harus didorong lebih tinggi.
Menanggapi rilis data BPS soal pertumbuhan ekonomi Indonesia, Yusuf mengatakan bahwa terjadi tren perlambatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2024. Pada kuartal I 2024, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,11 persen (yoy), kemudian pada kuartal II 2024 sebesar 5,05 persen (yoy), dan kuartal III tercatat 4,95 persen (yoy).
"Perlu digarisbawahi jika melihat dari kinerja pertumbuhan ekonomi di kuartal III, ada perlambatan pertumbuhan ekonomi secara tahunan mulai dari kuartal pertama, hingga kuartal ketiga," ujarnya.
Kendati demikian, secara kumulatif ekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan sebesar 5,03 persen selama periode Januari sampai dengan September 2024.
BPS melaporkan, dari sisi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi masih banyak ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Komponen rumah tangga pada triwulan III tumbuh 4,91 persen (yoy) serta berkontribusi terhadap PDB sebesar 53,08 persen. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga sedikit melambat jika dibandingkan kuartal II 2024 yang sebesar 4,93 persen.
“Ini sebenarnya juga selaras dengan kondisi di kuartal III di mana deflasi, kemudian juga PMI manufaktur yang datanya tidak terlalu baik, dan menggambarkan kondisi daya beli masyarakat terutama yang mengalami perlambatan di kuartal tersebut,” jelasnya.
Lebih lanjut, Yusuf menambahkan bahwa untuk memulihkan dan meningkatkan daya beli masyarakat, sangat penting bagi pemerintah untuk mengimplementasikan kolaborasi kebijakan yang efektif.
Dalam konteks kebijakan moneter, Bank Indonesia telah mengambil langkah progresif dengan menurunkan suku bunga acuan, yang bertujuan untuk melonggarkan kondisi moneter. Namun, upaya ini juga perlu didukung oleh kebijakan fiskal yang strategis dan terarah.
Sedangkan dari sisi fiskal, penting bagi pemerintah untuk mengoptimalkan realisasi belanja yang tidak hanya efisien tetapi juga target spesifik yang dapat langsung mendukung peningkatan daya beli. Hal ini bisa meliputi program bantuan sosial yang lebih terfokus atau subsidi yang dirancang untuk mengalokasikan sumber daya secara lebih efektif kepada mereka yang membutuhkan.
“Terutama kalau kita bicara konteks di sisa tahun ini, realisasi belanja pemerintah saya kira juga akan ikut baik langsung maupun tidak langsung memengaruhi target pertumbuhan ekonomi setidaknya untuk 2024,” imbuh Yusuf.
Pada Selasa (5/11), Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia berdasarkan nilai PDB mencapai 4,95 persen (yoy) pada triwulan III 2024.
“Ekonomi Indonesia berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto pada triwulan III 2024 atas dasar harga berlaku Rp5.638,9 triliun, atas dasar harga konstan Rp3.279,6 triliun, sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III 2024 jika dibandingkan triwulan III 2023 atau secara year-on-year tumbuh sebesar 4,95 persen,” ujar Amalia Adininggar Widyasanti.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: CORE: Industri pengolahan perlu didorong guna kejar ekonomi 8 persen
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2024
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal III 2024 yang sebesar 4,95 persen (yoy) banyak ditopang oleh industri pengolahan yang tumbuh 4,72 persen (yoy) dan memiliki distribusi terhadap PDB sebesar 19,02 persen.
“Jika kita lihat dari sektor lapangan usaha meskipun industri pengolahan itu dapat tumbuh 4,72 persen secara tahunan, namun jika dibandingkan dengan pencapaian pada periode yang sama di tahun lalu yang mencapai 5,20 persen, maka ini tentu perlu menjadi perhatian tersendiri pemerintah. Hal ini karena industri pengolahan merupakan salah satu mesin perekonomian, dan ketika industri ini mengalami perlambatan pertumbuhan maka dia juga akan ikut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” kata Yusuf di Jakarta, Selasa.
Ia menilai apabila Presiden Prabowo membidik pertumbuhan ekonomi 8 persen, maka ke depan industri pengolahan harus didorong lebih tinggi.
Menanggapi rilis data BPS soal pertumbuhan ekonomi Indonesia, Yusuf mengatakan bahwa terjadi tren perlambatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2024. Pada kuartal I 2024, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,11 persen (yoy), kemudian pada kuartal II 2024 sebesar 5,05 persen (yoy), dan kuartal III tercatat 4,95 persen (yoy).
"Perlu digarisbawahi jika melihat dari kinerja pertumbuhan ekonomi di kuartal III, ada perlambatan pertumbuhan ekonomi secara tahunan mulai dari kuartal pertama, hingga kuartal ketiga," ujarnya.
Kendati demikian, secara kumulatif ekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan sebesar 5,03 persen selama periode Januari sampai dengan September 2024.
BPS melaporkan, dari sisi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi masih banyak ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Komponen rumah tangga pada triwulan III tumbuh 4,91 persen (yoy) serta berkontribusi terhadap PDB sebesar 53,08 persen. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga sedikit melambat jika dibandingkan kuartal II 2024 yang sebesar 4,93 persen.
“Ini sebenarnya juga selaras dengan kondisi di kuartal III di mana deflasi, kemudian juga PMI manufaktur yang datanya tidak terlalu baik, dan menggambarkan kondisi daya beli masyarakat terutama yang mengalami perlambatan di kuartal tersebut,” jelasnya.
Lebih lanjut, Yusuf menambahkan bahwa untuk memulihkan dan meningkatkan daya beli masyarakat, sangat penting bagi pemerintah untuk mengimplementasikan kolaborasi kebijakan yang efektif.
Dalam konteks kebijakan moneter, Bank Indonesia telah mengambil langkah progresif dengan menurunkan suku bunga acuan, yang bertujuan untuk melonggarkan kondisi moneter. Namun, upaya ini juga perlu didukung oleh kebijakan fiskal yang strategis dan terarah.
Sedangkan dari sisi fiskal, penting bagi pemerintah untuk mengoptimalkan realisasi belanja yang tidak hanya efisien tetapi juga target spesifik yang dapat langsung mendukung peningkatan daya beli. Hal ini bisa meliputi program bantuan sosial yang lebih terfokus atau subsidi yang dirancang untuk mengalokasikan sumber daya secara lebih efektif kepada mereka yang membutuhkan.
“Terutama kalau kita bicara konteks di sisa tahun ini, realisasi belanja pemerintah saya kira juga akan ikut baik langsung maupun tidak langsung memengaruhi target pertumbuhan ekonomi setidaknya untuk 2024,” imbuh Yusuf.
Pada Selasa (5/11), Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia berdasarkan nilai PDB mencapai 4,95 persen (yoy) pada triwulan III 2024.
“Ekonomi Indonesia berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto pada triwulan III 2024 atas dasar harga berlaku Rp5.638,9 triliun, atas dasar harga konstan Rp3.279,6 triliun, sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III 2024 jika dibandingkan triwulan III 2023 atau secara year-on-year tumbuh sebesar 4,95 persen,” ujar Amalia Adininggar Widyasanti.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: CORE: Industri pengolahan perlu didorong guna kejar ekonomi 8 persen
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2024