Di dunia perkulineran, soto adalah menu masakan khas Indonesia. Di dunia kedokteran, sindrom soto merupakan kelainan genetika, rentan menyerang ananda. Waspadalah!

Sindrom Soto dahulu dikenal sebagai gigantisme serebral. Kelainan genetika yang prevalensinya sebesar 1:14.000 kelahiran hidup ini pertama kali dikemukakan tahun 1964 oleh Juan Sotos.

Saat itu, belum diketahui cara menegakkan diagnosisnya. Barulah pada tahun 1994, Cole dan Hughes mengemukakan keunikan roman muka, pertumbuhan masif di masa anak-anak, dan ketidakmampuan belajar sebagai kriteria diagnostiknya.

Pertumbuhan fisik berlebihan itu berlangsung selama 2-3 tahun pertama kehidupan.

Sindrom Soto diturunkan secara dominan autosom. Sekitar 95 persen penderita sindrom Soto tidak selalu mengikuti pola dari orang tuanya.

Pada kasus tertentu, sindrom Soto merupakan hasil mutasi baru (de novo) yang terjadi pertama kali.

Hanya sekitar 5 persen penderita sindrom ini yang diwariskan dari orang tuanya. Bila seseorang menderita sindrom Soto, maka 1 dari 2 anaknya berpotensi menderita sindrom Soto.

Perkembangan pesat sindrom Soto terjadi tahun 2002. Saat itu, para ilmuwan mengetahui bahwa sindrom Soto disebabkan oleh haploinsufisiensi gen NSD1 (Nuclear receptor Set Domain containing protein 1).

Haploinsufisiensi adalah kondisi dimana produk gen, berupa protein tertentu, dihasilkan oleh sel hanya setengah dari kadar normal sehingga sel tidak berfungsi normal.

Singkatnya, gangguan "produksi" gen. Mereka melakukan metode kloning breakpoints dari translokasi t(5;8)(q35;q24.1) de novo.

Riset berlanjut, hingga diketahui mutasi NSD1 intragenik dan mikrodelesi 5q35 di gen NSD1. Hal ini merupakan penyebab lebih dari 90 persen kasus sindrom Soto.

Sekadar diketahui, ketidaknormalan NSD1 sangat jarang teridentifikasi pada pertumbuhan masif.

Perspektif biologi molekuler dan genetika berhasil menguak misteri di balik sindrom Soto. Albers dkk (2012) berhasil membuktikan mekanisme genetik yang bertanggung jawab atas terjadinya sindrom TAR (thrombocytopenia absent radius) dimana delesi 1q21.1 dapat menutupi varian fungsional terkait dengan gen RBM8a.

Sementara itu, Anna M. Migdalska dkk (2012) melakukan investigasi dan berhasil menemukan sedikitnya 36 gen di ujung distal kromosom 5 manusia yang berperan penting atas karakteristik klinis sindrom Soto.

Model mencit genetik sindrom Soto, yakni Df(13)Ms2Dja+/?, dibuat dengan rekayasa kromosom untuk membawa sintenik delesi menuju kromosom manusia di region 5q35.2-q35.3.

Potret Klinis
Karakteristik sindrom Soto adalah wajah khas (pipi kemerahan, hidung datar, wajah sempit-panjang, berdahi tinggi), dijumpai pula makrosefali (ukuran lingkar kepala lebih besar dari normal) di semua usia, gangguan proses belajar, gangguan intelektual, pola pertumbuhan berlebihan, ketidaknormalan sistem perkemihan atau ginjal, problematika perilaku, termasuk hiperaktif, takut, obsesif-kompulsif, tantrum (mengamuk), perilaku impulsif.

Problematika berbicara-berbahasa, seperti gagap, suara monoton, sulit bersuara. Kelemahan tonus otot di masa bayi memerlambat aspek-aspek perkembangan dini lainnya, terutama keterampilan motorik (duduk, merangkak).

Manifestasi klinis lain berupa ketidaknormalan tulang belakang (skoliosis), gangguan/hilang pendengaran, gangguan penglihatan, kelainan jantung, kejang, kekuningan di masa bayi (neonatal jaundice), telapak kaki datar (pes planus), ketidaknormalan ukuran lingkar kepala (diketahui dari CT scan atau MRI).

Pada tiga persen penderita dijumpai tumor, berupa: neuroblastoma (tumor ganas sistem saraf), kanker paru-paru (jenis small cell lung cancer), leukemia limfoblastik akut.

Ada sekitar 15 persen ibu yang anaknya mengalami sindrom Soto mengalami gangguan kehamilan (maternal pre-eclampsia).

Pada 2-15 persen individu dengan sindrom Soto, juga dijumpai kelainan tulang punggung, kelainan penglihatan (astigmatisme, katarak, nistagmus, hipermetropia, mata minus, juling). fimosis (perlengketan kulup), kolesteatoma (kista di telinga), tuli konduktif, konstipasi (sembelit), kontraktur (penyusutan kulit), kraniosinostosis (kelainan tengkorak), kriptorkidisme, refluks gastroesofagus, hemangioma (tumor pembuluh darah).

Selanjutnya, hemihipertrofi (pembesaran sebelah wajah/tubuh), hidrokel (cairan di skrotum), hiperkalsemia, hipodontia (1-6 gigi tidak tumbuh), kuku hipoplastik, hipospadia (kelainan lubang kencing), hipotiroidisme (berkurangnya produksi tiroid), kelainan warna kulit (berupa hipo/hiperpigmentasi), hernia (inguinal, umbilikal), hipoglikemia neonatal, talipes equinovarus (kaki bengkok), pectus excavatum (tulang dada melekuk ke dalam), dan 2/3 sindaktil jari kaki.

Penegakan diagnosis melalui pemeriksaan klinis, riwayat medis, rontgen, analisis kromosom (karyotyping) atau sekuens, uji genetik molekuler (gene-targeted deletion/duplication analysis).

Tatalaksana
Dokter melakukan anamnesis secara holistik-komprehensif. Saat pemeriksaan fisik, dokter beserta tim medis melakukan auskultasi jantung, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan kelengkungan tulang belakang.

Pada pemeriksaan penunjang, dokter merekomendasikan dipstick urin untuk mengetahui adakah infeksi di saluran kandung kemih.

Bila anak telah terdiagnosis sindrom Soto, dokter meresepkan Ritalin sebagai anticemas, mengatasi agresi dan sulit belajar, juga merekomendasikan pemeriksaan echocardiogram dan ultrasound ginjal.

Terapi perilaku/okupasi juga dapat diberikan. Bila dijumpai strabismus (mata juling) atau kelainan penglihatan lainnya, maka dokter merujuk ke spesialis mata.

Profilaksis antibiotik pada individu dengan refluks vesikoureter diberikan untuk mencegah komplikasi sekunder.

Konseling genetika sebelum kehamilan sebagai preventif. Manajemen terpadu, holistik, komprehensif, dan berkesinambungan diperlukan dalam tatalaksana sindrom Soto.

*) Penulis adalah dosen Fakultas Kedokteran Unismuh Makassar, penulis 20 buku, dan pegiat literasi.

Pewarta: Dr Dito Anurogo, MSc*)

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018