Palembang (Antaranews Gorontalo) - Aktivis Walhi Sumsel bersama aktivis peduli lingkungan lainnya melakukan aksi merespon, mengkritik dan memberikan masukan terhadap agenda perundingan ekonomi Indonesia-Uni Eropa putaran ke-6 di Palembang pada 15-19 Oktober, dengan tema Indonesia Not For Sale.
Aksi damai yang digelar di Bundaran Air Mancur Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, Kamis, menyampaikan tiga pernyataan sikap suara masyarakat sipil Sumatera Selatan untuk keadilan ekologis.
Direktur Eksekutif Walhi Sumsel M Hairul Sobri dalam aksi tersebut mengatakan ada tiga pernyataan sikap yang diharapkan menjadi pertimbangan Pemerintah Indonesia dalam menyepakati perundingan "Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA)".
Tiga pernyataan sikap yang disampaikan aktivis lingkungan dalam orasi aksi responsif tersebut yakni menuntut Pemerintah Indonesia dalam perundingan IEU CEPA harus transparan dan terbuka dengan memastikan adanya keterlibatan masyarakat.
Mendesak pemerintah untuk berhenti mengorbankan kaum-kaum lemah seperti petani dan mengorbankan lingkungan hidup dalam memperoleh kesepakatan antara Indonesia dan Uni Eropa.
Kemudian menuntut Pemerintah lndonesia untuk berpihak pada kepentingan rakyat ketimbang investasi asing. Dia menjelaskan, Indonesia saat ini sedang merundingkan beberapa perjanjian perdagangan bebas dengan ngara-negara Uni Eropa yang tergabung dalam EFTA (Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa) yang terdiri atas Swiss, Norwegia, Eslandia dan Liectenstin, serta merundingkan perjanjian perdagangan dengan 15 negara lain dalam RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership).
Walaupun perundingan tersebut diberi nama kerja sama ekonomi, namun cakupan dalam perundingan tersebut sangat luas, dan akan memiliki implikasi yang serius mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia.
Perundingan Indonesia-Uni Eropa sejak diluncurkan pada 2016 hingga memasuki negosiasi putaran ke-6 di Kota Palembang pada Oktober 2018 ini terbilang senyap informasi dan menjadi agenda tersembunyi alias tidak transparan.
"Kami melihat perundingan IEU CEPA hanya terfokus pada liberalisasi dan deregulasi perdagangan dan arus investasi sebagai tujuan utama," ujar Sobri.
Sementara, banyak bukti menunjukkan kegagalan kebijakan neoliberal dari globalisasi yang dipimpin perusahaan yang berkontribusi terhadap perubahan iklim, degradasi lingkungan dan melebarnya ketidaksetaraan di seluruh dunia.
Perjanjian perdagangan dan investasi terus mengabaikan biaya sosial dan lingkungan yang sangat besar, tambahnya.
Berikut ini adalah salah satu bab yang dirundingkan dalam FTA atau seringkali disebut CEPA (Perjanjian Kerja sama Ekonomi Komprehensif) dengan Uni Eropa, yakni perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (IPR), terutama pengaturan atas hak paten dan dampaknya pada sektor pertanian, keragaman hayati, kepentingan dan penguasaan petani atas benih, dan paten atas mikroorganisme.
Berdasarkan hasil kajian Masyarakat Sipil Sumatera Selatan untuk Keadilan Ekologis perundingan yang dibahas dalam Bab IPR sesuai proposal IEU CEPA menunjukkan besarnya kepentingan korporasi.
Salah satu artikel (artikel X.46) dalam Bab IPR misalnya mewajibkan negara pihak untuk menjadi anggota UPOV 1991. UPOV 1991 adalah perjanjian internasional untuk tanaman yang mendorong komersialisasi dan privatisasi varietas tanaman.
Hal tersebut dapat menyebabkan monopoli benih dan menghilangkan hak petani atas benih, katanya.
Pemuliaan tanaman yang mengklaim hak kekayaan intelektual (HKI) atas varietas tanaman merupakan ancaman bagi penghidupan petani dan hak asasi manusia atas pangan. Perpanjangan HKI juga akan meningkatkan kriminalisasi terhadap petani dan berdampak terhadap perlindungan hak asasi manusia dan keberlanjutan ekologis, tambahnya.
Perundingan IEU CEPA juga akan berkontribusi pada konsentrasi lebih lanjut dari pasar benih yang semakin meminggirkan peran perempuan di pedesaan yang selama ini berkontribusi dalam melindungi dan melestarikan benih-benih lokal, permasalahan tersebut diharapkan menjadi pertimbangan para pihak dalam perundingan IEU CEPA putraan ke-6 ini, kata aktivis lingkungan itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018
Aksi damai yang digelar di Bundaran Air Mancur Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, Kamis, menyampaikan tiga pernyataan sikap suara masyarakat sipil Sumatera Selatan untuk keadilan ekologis.
Direktur Eksekutif Walhi Sumsel M Hairul Sobri dalam aksi tersebut mengatakan ada tiga pernyataan sikap yang diharapkan menjadi pertimbangan Pemerintah Indonesia dalam menyepakati perundingan "Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA)".
Tiga pernyataan sikap yang disampaikan aktivis lingkungan dalam orasi aksi responsif tersebut yakni menuntut Pemerintah Indonesia dalam perundingan IEU CEPA harus transparan dan terbuka dengan memastikan adanya keterlibatan masyarakat.
Mendesak pemerintah untuk berhenti mengorbankan kaum-kaum lemah seperti petani dan mengorbankan lingkungan hidup dalam memperoleh kesepakatan antara Indonesia dan Uni Eropa.
Kemudian menuntut Pemerintah lndonesia untuk berpihak pada kepentingan rakyat ketimbang investasi asing. Dia menjelaskan, Indonesia saat ini sedang merundingkan beberapa perjanjian perdagangan bebas dengan ngara-negara Uni Eropa yang tergabung dalam EFTA (Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa) yang terdiri atas Swiss, Norwegia, Eslandia dan Liectenstin, serta merundingkan perjanjian perdagangan dengan 15 negara lain dalam RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership).
Walaupun perundingan tersebut diberi nama kerja sama ekonomi, namun cakupan dalam perundingan tersebut sangat luas, dan akan memiliki implikasi yang serius mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia.
Perundingan Indonesia-Uni Eropa sejak diluncurkan pada 2016 hingga memasuki negosiasi putaran ke-6 di Kota Palembang pada Oktober 2018 ini terbilang senyap informasi dan menjadi agenda tersembunyi alias tidak transparan.
"Kami melihat perundingan IEU CEPA hanya terfokus pada liberalisasi dan deregulasi perdagangan dan arus investasi sebagai tujuan utama," ujar Sobri.
Sementara, banyak bukti menunjukkan kegagalan kebijakan neoliberal dari globalisasi yang dipimpin perusahaan yang berkontribusi terhadap perubahan iklim, degradasi lingkungan dan melebarnya ketidaksetaraan di seluruh dunia.
Perjanjian perdagangan dan investasi terus mengabaikan biaya sosial dan lingkungan yang sangat besar, tambahnya.
Berikut ini adalah salah satu bab yang dirundingkan dalam FTA atau seringkali disebut CEPA (Perjanjian Kerja sama Ekonomi Komprehensif) dengan Uni Eropa, yakni perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (IPR), terutama pengaturan atas hak paten dan dampaknya pada sektor pertanian, keragaman hayati, kepentingan dan penguasaan petani atas benih, dan paten atas mikroorganisme.
Berdasarkan hasil kajian Masyarakat Sipil Sumatera Selatan untuk Keadilan Ekologis perundingan yang dibahas dalam Bab IPR sesuai proposal IEU CEPA menunjukkan besarnya kepentingan korporasi.
Salah satu artikel (artikel X.46) dalam Bab IPR misalnya mewajibkan negara pihak untuk menjadi anggota UPOV 1991. UPOV 1991 adalah perjanjian internasional untuk tanaman yang mendorong komersialisasi dan privatisasi varietas tanaman.
Hal tersebut dapat menyebabkan monopoli benih dan menghilangkan hak petani atas benih, katanya.
Pemuliaan tanaman yang mengklaim hak kekayaan intelektual (HKI) atas varietas tanaman merupakan ancaman bagi penghidupan petani dan hak asasi manusia atas pangan. Perpanjangan HKI juga akan meningkatkan kriminalisasi terhadap petani dan berdampak terhadap perlindungan hak asasi manusia dan keberlanjutan ekologis, tambahnya.
Perundingan IEU CEPA juga akan berkontribusi pada konsentrasi lebih lanjut dari pasar benih yang semakin meminggirkan peran perempuan di pedesaan yang selama ini berkontribusi dalam melindungi dan melestarikan benih-benih lokal, permasalahan tersebut diharapkan menjadi pertimbangan para pihak dalam perundingan IEU CEPA putraan ke-6 ini, kata aktivis lingkungan itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018