Gubernur Gorontalo Rusli Habibie, Rabu, mengundang para pemangku kepentingan untuk membahas masalah atau sengketa tapal batas antara Kabupaten Buol Sulawesi Tengah dengan Kabupaten Gorontalo Utara di Provinsi Gorontalo.
Pertemuan berlangsung tertutup di rumah dinas gubernur yang diikuti oleh Wakil Gubernur Idris Rahim, Kapolda Gorontalo Irjen Pol Rachmad Fudail, dan Danrem 133 Nani Wartabone Kolonel Czi Arnold AP Ritiauw.
Ada pula Ketua DPRD Paris Jusuf, Kepala BIN Daerah Daeng Rosada dan Bupati Gorontalo Utara Indra Yasin.
Juru bicara gubernur Noval Abdussamad menjelaskan, gubernur memilih penyelesaian sengketa tersebut melalui jalur diplomasi.
Pihaknya sudah beberapa kali menghubungi Gubernur Sulteng Longki Djanggola yang ikut menjamin tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan antar-kedua daerah.
“Pada tanggal 22-23 Oktober, setelah pelantikan Presiden akan ada pertemuan di Kementerian Dalam Negeri untuk membahas persoalan ini. Tadinya sebelum tanggal itu, namun pertimbangannya ada pelantikan Presiden jadi pertemuan dilakukan usai pelantikan,” jelas Noval.
Menurutnya gubernur meminta semua pihak, khususnya warga di perbatasan untuk menahan diri dan tidak melakukan aksi yang dapat merugikan.
Blokir akses jalan dan anarkistis dianggap bukan solusi untuk menyelesaikan masalah.
“Gubernur mengimbau bupati dan wakil bupati agar menyampaikan kepada masyarakat Gorontalo Utara untuk tidak mudah terprovokasi dengan isu-isu yang tidak benar. Percayakan kepada pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini dengan sebaik-baiknya,” jelas Noval.
Sengketa antar-dua kabupaten ini berdampak pada dua desa yakni Cempaka Putih dan Papualangi di Kecamatan Tolinggula, Kabupaten Gorontalo Utara.
Jika merujuk pada Keputusan Mendagri Nomor 59 tahun 1992 maka dua desa itu masuk Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
Penarikan garis batas Segmen Desa Umu, menyusuri Sungai Tolinggula melewati Desa Tolinggula Ulu, Tolinggula Tengah, Tolite Jaya, Ilomangga dan Tolinggula Pantai, Kabupaten Gorontalo Utara.
Hal itu dinilai bertentangan dengan Peta Keresidenan Manado Nomor 700 tahun 1898, yang menyatakan tapal batas merujuk pada Bukit Wumu, Bukit Dengilo dan Pegunungan Pangga atau yang dikenal dengan Kerataan Papualangi sebagai bagian dari wilayah Kwandang (wilayah Kabupaten Gorontalo Utara, sebelum dimekarkan).
Bertentangan juga dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 185.5-197 Tahun 1982 tentang Penegasan Perbatasan antara Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara dengan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah.
Kepmen itu diganti dengan Kepmendagri Nomor 59 tahun 1992.
“Kita prinsipnya mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 141 tahun 2017 tentang Penegasan Batas Wilayah. Jadi ada empat yang menjadi persyaratan yaitu geografis, yuridis, sosiologis dan historis. Kita akan siapkan semua materinya,” kata Wakil Bupati Gorontalo Utara Thariq Modanggu.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019
Pertemuan berlangsung tertutup di rumah dinas gubernur yang diikuti oleh Wakil Gubernur Idris Rahim, Kapolda Gorontalo Irjen Pol Rachmad Fudail, dan Danrem 133 Nani Wartabone Kolonel Czi Arnold AP Ritiauw.
Ada pula Ketua DPRD Paris Jusuf, Kepala BIN Daerah Daeng Rosada dan Bupati Gorontalo Utara Indra Yasin.
Juru bicara gubernur Noval Abdussamad menjelaskan, gubernur memilih penyelesaian sengketa tersebut melalui jalur diplomasi.
Pihaknya sudah beberapa kali menghubungi Gubernur Sulteng Longki Djanggola yang ikut menjamin tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan antar-kedua daerah.
“Pada tanggal 22-23 Oktober, setelah pelantikan Presiden akan ada pertemuan di Kementerian Dalam Negeri untuk membahas persoalan ini. Tadinya sebelum tanggal itu, namun pertimbangannya ada pelantikan Presiden jadi pertemuan dilakukan usai pelantikan,” jelas Noval.
Menurutnya gubernur meminta semua pihak, khususnya warga di perbatasan untuk menahan diri dan tidak melakukan aksi yang dapat merugikan.
Blokir akses jalan dan anarkistis dianggap bukan solusi untuk menyelesaikan masalah.
“Gubernur mengimbau bupati dan wakil bupati agar menyampaikan kepada masyarakat Gorontalo Utara untuk tidak mudah terprovokasi dengan isu-isu yang tidak benar. Percayakan kepada pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini dengan sebaik-baiknya,” jelas Noval.
Sengketa antar-dua kabupaten ini berdampak pada dua desa yakni Cempaka Putih dan Papualangi di Kecamatan Tolinggula, Kabupaten Gorontalo Utara.
Jika merujuk pada Keputusan Mendagri Nomor 59 tahun 1992 maka dua desa itu masuk Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
Penarikan garis batas Segmen Desa Umu, menyusuri Sungai Tolinggula melewati Desa Tolinggula Ulu, Tolinggula Tengah, Tolite Jaya, Ilomangga dan Tolinggula Pantai, Kabupaten Gorontalo Utara.
Hal itu dinilai bertentangan dengan Peta Keresidenan Manado Nomor 700 tahun 1898, yang menyatakan tapal batas merujuk pada Bukit Wumu, Bukit Dengilo dan Pegunungan Pangga atau yang dikenal dengan Kerataan Papualangi sebagai bagian dari wilayah Kwandang (wilayah Kabupaten Gorontalo Utara, sebelum dimekarkan).
Bertentangan juga dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 185.5-197 Tahun 1982 tentang Penegasan Perbatasan antara Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara dengan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah.
Kepmen itu diganti dengan Kepmendagri Nomor 59 tahun 1992.
“Kita prinsipnya mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 141 tahun 2017 tentang Penegasan Batas Wilayah. Jadi ada empat yang menjadi persyaratan yaitu geografis, yuridis, sosiologis dan historis. Kita akan siapkan semua materinya,” kata Wakil Bupati Gorontalo Utara Thariq Modanggu.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019