Presiden AS Joe Biden mengancam akan menjatuhkan sanksi baru terhadap para jenderal yang bertanggung jawab atas kudeta di Myanmar.
Militer Myanmar menggelar kudeta di Naypyitaw pada Senin pagi dan menangkap penerima Hadiah Nobel Perdamaian dan penasihat negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, sejumlah politisi dan aktivis.
Para pejabat di Deplu AS itu ke para wartawan mengatakan Washington belum menghubungi para pemimpin kudeta di Myanmar atau para pejabat yang diturunkan paksa.
Undang-undang di AS mengatur adanya kudeta di suatu negara otomatis menghentikan bantuan dana ke negara tersebut.
Namun, para pejabat di Deplu mengatakan bantuan kemanusiaan yang salah satunya ditujukan untuk kelompok minoritas etnis Rohingya, serta program-program terkait demokrasi atau yang dibuat untuk masyarakat sipil kemungkinan akan terus berlanjut.
"Kami akan mengevaluasi program-program bantuan untuk memastikan mereka sejalan dengan insiden terbaru ini," kata seorang pejabat di Departemen Luar Negeri AS.
Tidak hanya program bantuan, pejabat-pejabat tinggi di Departemen Luar Negeri juga akan membahas sanksi terhadap petinggi militer Myanmar serta perusahaan-perusahaan yang terhubung dengan mereka.
Menurut beberapa ajudan pejabat tersebut, Departemen Luar Negeri sempat mengadakan pertemuan dengan Komite Hubungan Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat AS dan Komite Hubungan Internasional Senat, Senin. Pertemuan itu membahas situasi di Myanmar, tetapi mereka tidak membahas rencana menjatuhkan sanksi baru.
Ketua Senat dari Partai Republik Mitch McConnell, yang dekat dengan Suu Kyi, lewat pernyataan tertulis mengatakan ia telah membahas situasi di Myanmar dengan Biden dan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, Senin.
McConnell mengatakan ia telah mendesak pemerintah untuk menjatuhkan sanksi berat terhadap militer Myanmar karena aksi kudetanya telah menyerang demokrasi.
Militer Myanmar meluncurkan kudeta terhadap pemerintah, Senin pagi, dan menetapkan status darurat yang berlaku selama satu tahun.
Selama status darurat berlaku, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di Myanmar berada di bawah kendali pimpinan tertinggi, Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing.
Militer Myanmar, lewat pernyataan resmi yang dibacakan oleh Myawaddy Television (MWD), mengatakan status darurat ditetapkan untuk mencegah perpecahan antarkelompok masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 417 Konstitusi Negara 2018. Menurut otoritas militer, pemerintah gagal menyelesaikan sengketa daftar pemilih pada pemilihan umum 8 November 2020.
Walaupun demikian, klaim tersebut ditolak oleh sejumlah aktivis HAM dan demokrasi di Myanmar. Menurut kelompok itu, kudeta merupakan salah satu cara Jenderal Min Aung Hlaing mempertahankan kekuasaannya lima bulan sebelum ia resmi pensiun pada Juli 2021.