Paris (ANTARA GORONTALO) - Lembaga Swadaya Masyarakat pemerhati lingkungan
WALHI menyebut pidato Presiden Joko Widodo pada sesi Leaders Event dalam
Conference of Parties (COP) 21 di Paris menyuarakan komitmen sekaligus
menunjukkan kontradiksi.
Eksekutif Nasional WALHI Kurniawan Sabar di Paris, Prancis, Selasa,
mengatakan penyampaian kesadaran kerentanan Indonesia terhadap dampak
perubahan iklim ini menjadi penting.
Namun, ia mengatakan yang perlu menjadi catatan khusus, di tengah
kerentanan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap perubahan
iklim, konversi terus terjadi.
Berbagai proyek reklamasi terjadi di Indonesia, dan pulau-pulau kecil diserbu industri tambang dan sawit.
Artinya, di tengah kerentanan, menurut dia, pemerintah terus memproduksi pembangunan berisiko tinggi.
Selain masalah dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia, Presiden
juga menyampaikan komitmennya sebagai upaya kontribusi dalam aksi
global menurunkan emisi sebagaimana yang tercantum dalam INDC Indonesia,
menurunkan emisi hingga 29 persen dengan melalui "business as usual"
sampai 2030, dan 41 persen dengan bantuan internasional.
Penurunan emisi dibagi dengan mengambil langkah di beberapa bidang
antara lain energi, tata kelola hutan dan lahan, dan di bidang maritim
Sejak awal, ia mengatakan WALHI telah mengkritik INDC Indonesia,
yang dalam konteks kebakaran hutan dan lahan, tidak menghitung emisi
dari kebakaran hutan dan lahan.
"Padahal kita tahu, bahwa sumber emisi Indonesia, sebagian besar dari land use land use change and forestry (LULUCF)".
Pemerintah Indonesia, menurut dia, seharusnya mengukur ulang
baseline emisi dari kejadian kebakaran hutan dan gambut, sehingga perlu
menjadikan kebakaran hutan dan lahan dan juga tata kelola gambut sebagai
salah satu hal yang paling mendasar.
Penetapan moratorium dan review izin pemanfaatan lahan gambut jika
situasi seperti saat ini, tidak memiliki kekuatan signifikan.
Lebih
lanjut ia mengatakan bahwa kebijakan moratorium yang dikeluarkan oleh
Presiden melalui Inpres Nomor 8 Tahun 2015 sangat lemah, terlebih tanpa
ada review terhadap perizinan lama dan penegakan hukum.
Terlebih jika dihubungkan dengan rencana pembangunan Indonesia
sebagaimana yang termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015--2019. Antara lain di sektor energi, pembangunan
35.000 megawatt (MW), sebagian besar masih mengandalkan batubara, energi
yang kotor yang justru akan semakin menaikkan emisi Indonesia.
"Bagaimana mungkin target menurunkan emisi karbon 29 persen pada
2030 dapat tercapai, jika karbon yang dihasilkan dari pembakaran
batubara, justru meningkat dua kali lipat dari 201 juta tCO2 pada 2015
menjadi 383 juta tCO2 pada 2024," ujar dia.
Pertanyaan kritisnya dari pidato yang disampaikan di Paris adalah
jika terdapat celah antara RPJMN dengan INDC Indonesia yang telah
disubmit ke United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) sebagai sebuah komitmen Indonesia menurunkan emisi global, akan
kah ada masa transisi untuk menjembatani kotradiksi antara komitmen
penurunan emisi dengan kebijakan pembangunan yang memproduksi emisi.
Tanggapan Walhi atas pidato presiden di COP 21
Selasa, 1 Desember 2015 17:28 WIB