Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Mantan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero)
Richard Joost Lino tidak memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa sebagai
tersangka karena mengalami serangan jantung.
"RJ Lino tidak hadir karena sakit selesai pemeriksaan di Mabes Polri
kemarin beliau merasa agak sesak dan kemudian dibawa ke RS. Kita minta
waktu. Hari ini pun masih diobservasi, sepertinya kena serangan ringan,"
kata pengacara Lino, Maqdir Ismail di gedung KPK Jakarta.
Lino seharusnya diperiksa sebagai tersangka untuk pertama kalinya di
KPK dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pengadaan Quay Container Crane (QCC)
tahun 2010. Kemarin, Lino menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri
sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan 10 unit mobile crane di PT Pelindo II.
"Jadi kita harap KPK mau menunda pemeriksaan. Saya sudah sampaikan
kepada tim penyidik, kita minta waktu penundaan satu minggu," tambah
Maqdir.
Maqdir mengaku kliennya saat ini sedang menjalani perawatan di satu rumah sakit di Jakarta.
"Bisa jadi (stres) sebagaimana manusia ya, bahwa orang stres
kemudian akibat stresnya itu beliau mengalami segala sakitnya dan ini
jauh sebelum sidang (praperadilan), beliau sudah merasakan itu dari
lama," ungkap Maqdir.
Maqdir mengatakan bahwa saat pemeriksaan di Bareskrim, Lino pun sudah merasakan sakit.
"Meski beliau sedang sakit ya kemarin beliau masih pergi ke
Bareskrim, tetapi ya itulah keterbatasan Pak Lino sesudah dari Bareskrim
kemarin beliau sudah merasa tidak mampu lagi menahan rasa sakit.
(Padahal) beliau sudah siap diperiksa saya katakan kemarin pun beliau
sudah lebih siap diperiksa akan tetapi ya hari ini memang kondisinya
seperti itu," jelas Maqdir.
Sedangkan mengenai kemungkinan Lino akan ditahan seusai diperiksa
sebagai tersangka di KPK, Maqdir menilai penahanan itu harus sesuai
dengan UU.
"Soal penahanan itu kita lihat harus lihat kepentingannya untuk apa,
ada aturan main, ada aturan hukum bagaimana seseorang bisa ditahan.
Saya kira ini memang harus diingatkan kepada penyidik bahwa alasan
penahanan itu harus sesuai dengan ketentuan undang-undang yang ada,
tidak bisa orang ditahan begitu saja sesuka penyidik, tidak boleh
seperti itu," tambah Maqdir.
KPK menyangkakan RJ Lino melakukan pasal 2 ayat 1 dan atau pasal 3
UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP
yaitu diduga melakukan perbuatan menyalahgunakan hukum dan kewenangan
dan atau kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan
sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya
diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara
seumur hidup atau maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Pada 15 Desember 2015 lalu, KPK menetapkan RJ Lino sebagai tersangka karena diduga memerintahkan pengadaan 3 quay container crane (QCC) dengan menunjuk langsung perusahaan HDHM (PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery. Co.Ltd.) dari China sebagai penyedia barang.
Pengadaan 3 unit QCC tersebut tidak disesuaikan dengan persiapan
infrastruktur yang memadai (pembangunan powerhouse), sehingga
menimbulkan in-efisiensi atau dengan kata lain pengadaan 3 unit QCC
tersebut sangat dipaksakan dan suatu bentuk penyalahgunaan wewenang dari
RJ Lino selaku Dirut PT Pelabuhan Indonesia II demi menguntungkan
dirinya atau orang lain.
Berdasarkan analisa perhitungan ahli teknik dari Institut Teknologi
Bandung (ITB) yang menyatakan bahwa analisa estimasi biaya dengan
memperhitungkan peningkatan kapasitas QCC dari 40 ton menjadi 61 ton,
serta eskalasi biaya akibat dari perbedaan waktu terdapat potensi
kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya 3.625.922 dolar AS (sekitar
Rp50,03 miliar) berdasarkan Laporan Audit Investigatif BPKP atas Dugaan
Penyimpangan Dalam Pengadaan 3 Unit QCC Di Lingkungan PT Pelindo II
(Persero) Tahun 2010 Nomor: LHAI-244/D6.02/2011 Tanggal 18 Maret 2011.
Pada 15 April 2014, KPK juga telah meminta keterangan RJ Lino
terkait pelaporan tersebut, usai diperiksa Lino mengklaim sudah
mengambil kebijakan yang tepat terkait pengadaan crane di beberapa
dermaga yakni di Palembang, Lampung dan Pontianak. Bahkan, Lino menyebut
dirinya pantas diberi penghargaan lantaran sudah berhasil membeli alat
yang dipesan dengan harga yang murah.
Lino mengaku, proyek tahun anggaran 2010 itu sebenarnya memiliki
nilai sekitar Rp 100 miliar. Alat yang dibeli itu sudah dipesan sejak
2007 namun sejak tahun 2007 proses lelang selalu gagal hingga akhirnya
dia mengambil kebijakan untuk melakukan penunjukan langsung.
Kena serangan jantung, Lino tak hadir di KPK
Jumat, 29 Januari 2016 12:21 WIB