Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Wakil Ketua Komisi II DPR, Lukman Edy
mengungkapkan tujuh poin krusial dalam pembahasan revisi Undang-Undang
nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada, yang ditargetkan selesai pada 29
April 2016.
"Pertama, soal penerapan e-KTP sebagai DPT, kami mendorong agar
tidak terjadi lagi keberatan dan persoalan di soal DPT ini dengan cara
100 persen harus menggunakan e-KTP," katanya di Jakarta, Selasa.
Namun menurut dia, hal itu sangat tergantung dari Kementerian Dalam
Negeri khususnya Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil
dalam hal kesiapan program e-KTP itu sendiri.
Dia mengatakan, kedua terkait syarat minimal calon perseorangan dan
calon parpol, perdebatannya pada sisi mau melakukan penyederhanaan
pilkada sebagai instrumen konsolidasi demokrasi atau memakai instrumen
membuka seluasnya partisipasi publik.
Menurut dia, implikasinya secara teknis adalah menurunkan angka treshold (batas minimal kursi/suara untuk mengajukan calon kepala daerah) atau menaikkannya.
Poin ketiga, menurut dia, soal kewenangan Penyelenggaraan Pilkada
(KPUD dan Bawaslu), mendorong tugas-tugas yang tidak substansial
dihilangkan dari tugas KPU dan Bawaslu.
"Seperti tugas memasang alat peraga kampanye sepatutnya dikembalikan
kepada pasangan calon, sehingga lebih semarak dan tidak membebani
anggaran negara. Begitu juga Bawaslu, seharusnya lebih efektif menindak
pelanggaran pilkada," ujarnya.
Lukman menjelaskan, poin keempat, terkait peradilan pilkada,
reevaluasi terhadap Sentra Gakumdu, pelanggaran pidana dan administrasi
pilkada.
Dia mendorong penegakan hukum terhadap pelanggaran administrasi
maupun pelanggaran pidana harus kuat melalui perbaikan mekanisme
peradilannya.
"Selama ini mekanisme Sentra Gakumdu menjadi titik lemah penegakan
hukum. Hampir tidak ada satupun kasus pelanggaran yang diproses,"
katanya.
Wakil Sekretaris Jenderal PKB itu menilai seharusnya pelanggaran
administratif dengan sanksi diskualifikasi terhadap pasangan calon bisa
efektif menangkal nakalnya pasangan calon.
Dia mendorong kasus politik uang harus dua dimensi, bisa dimensi
administratif dan dimensi pidana, sehingga benar-benar mempunyai efek
jera.
"Kelima, terkait membuka partisipasi pasangan calon dari semua
unsur. Kami sudah konsultasi dengan Mahkamah Konstitusi, bahwa lebih
bagus membuka ruang selebarnya tanpa diskriminatif kepada semua SDM
bangsa untuk terlibat dalam rekruitmen pemimpin daerah," ujarnya.
Hal itu menurut dia, anggota legislatif, pejabat negara, PNS,
TNI/POLRI terbuka kesempatan untuk menjadi pasangan calon tanpa
kewajiban mundur dari jabatannya, yang diatur hanya cuti kampanye di
luar tanggungan negara.
Poin keenam menurut dia, terkait syarat calon incumben, seharusnya
bangsa dan negara ini tidak lagi memberi tempat kepada kepala daerah
yang gagal dalam membangun daerahnya untuk mencalonkan kembali.
"Negara harus intervensi membuat rambunya, kami mengusulkan mekanisme izin bagi incumben yang mau maju kembali," katanya.
Menurut dia, izin diberikan oleh presiden sebagai kepala negara,
dengan ukuran yang jelas seperti keberhasilan membangun SDM (IPM),
membangun infrastruktur, mengatasi kemiskinan, pemyerapan anggaran APBD
dan indeks pelayanan publik.
Poin ketujuh menurut dia, terkait waktu tahapan pilkada, tahapan
yang ada sebelumnya harus dipangkas, terutama soal masa kampanye yang
panjang dan waktu dalam proses peradilan pilkada.
"Supaya begitu ditetapkan sebagai calon terpilih tidak ada lagi persoalan di belakang yang mengikutinya," ujarnya.
DPR ungkap tujuh poin revisi UU Pilkada
Selasa, 19 April 2016 15:06 WIB