Jakarta (ANTARA) - Atlet-atlet besar selalu haus prestasi dan tak pernah puas dengan satu piala. Mereka kadang menomorduakan uang karena bagi mereka uang inheren dengan prestasi dan kesuksesan.
Atlet-atlet seperti ini lebih peduli pada seberapa mampu mereka merebut trofi, medali dan penghargaan paling bergengsi.
Salah satu atlet yang terus memburu pencapaian tertinggi adalah penyerang Paris Saint Germain (PSG), Kylian Mbappe.
Pesepak bola Prancis berusia 25 tahun keturunan Kamerun dan Aljazair itu sudah menyatakan tak lagi mau memperkuat PSG.
Juni tahun lalu, Mbappe sudah menyatakan akan meninggalkan PSG dan untuk itu tak memperpanjang kontraknya dengan klub ini yang akan habis Juni 2024.
Mbappe meminta Nasser Al-Khelaifi, Presiden PSG, agar tak lagi membujuknya tetap bersama PSG.
Dua tahun sebelumnya, Al-Khelaifi mati-matian merayu Mbappe, sampai mengganti direktur olahraga Leonardo dengan Luis Campos yang merupakan sahabat Mbappe.
Kini, setelah Neymar dan Lionel Messi hengkang dari PSG, Mbappe tetap tak bisa mengantarkan PSG menjuarai Liga Champions, padahal dia sangat mendambakan trofi ini, dan juga Ballon d'Or.
Ligue 1 dan PSG terlalu kecil bagi pemain yang mengantarkan Prancis menjuarai Piala Dunia 2018 itu. Mbappe sendiri melihat PSG memiliki keterbatasan ketika tampil di Eropa.
Mbappe melihat PSG tak bisa menjadi kendaraan untuk mencapai impiannya menjuarai Liga Champions dan meraih Ballon d'Or.
Padahal dia sudah mendapatkan segalanya di Paris, mulai kontrak yang menjadikannya pemain paling mahal di dunia, sampai kehidupan sosial untuk keluarganya dan memiliki sahabat-sahabat sempurna pada diri Achraf Hakimi dan Ousmane Dembele.
Tapi semua itu tak bisa mengantarkan Mbappe ke kejayaan Liga Champions dan Ballon d'Or.
Mbappe merasa harus pindah ke klub yang bisa mengantarkannya merengkuh trofi Liga Champions dan Ballon d'Or.
Real Madrid yang sudah 14 kali menjuarai Liga Champions dan masuk final edisi 2024 pun menjadi incaran Mbappe.
Bersama pemain-pemain hebat seperti Vinicius Junior, Rodrygo dan Jude Bellingham yang dimiliki Madrid, serta pelatih spesialis juara, Carlo Ancelotti, Mbappe mungkin merasa impiannya akan terwujud cepat jika main bersama Madrid, kendati dia mungkin harus memangkas harga kontraknya.
Hasrat Piala Dunia
Situasi Mbappe sebenarnya jauh lebih baik ketimbang pemain Bayern Muenchen, Harry Kane, yang bertahun-tahun menjadi striker paling subur di Liga Inggris tapi tak pernah merasakan indahnya mengangkat trofi juara.
Kane juga selalu mencari kendaraan yang bisa membuatnya merasakan trofi juara. Untuk itu dia bersedia bergabung dengan Bayern yang langganan juara Liga Jerman dan kompetisi Eropa.
Sayang, Kane gagal dalam musim pertamanya bersama Bayern. Jangankan Liga Champions dan juara Bundesliga, Piala Liga Jerman saja tak bisa dia raih karena disambar oleh sensasi Jerman musim ini, Bayer Leverkusen.
Jika alasan Mbappe dan Kane bergabung dengan tim lain demi mengangkat trofi-trofi bergengsi, bintang-bintang sepak bola lain mungkin sudah cukup puas dengan tampil merasakan kompetisi-kompetisi sepak bola yang prestisius, termasuk Piala Dunia FIFA.
Sayang, dalam konteks Piala Dunia, tak semua pemain bintang bisa bertarung dalam turnamen sepak bola terbesar sejagat itu.
Hanya 32 tim yang boleh mengikuti Piala Dunia. Tapi mulai 2026, Piala Dunia bakal diikuti 48 tim.
Tetap saja, jumlah peserta sebanyak itu pun, tak bisa menampung terlalu banyak pemain hebat.
Mereka yang gagal tampil dalam Piala Dunia tersisih karena kalah bersaing dari rekan-rekannya yang kadang tak lebih bagus dari mereka.
Tapi sebagian dari pemain-pemain itu memiliki cara lain untuk tetap tampil dalam Piala Dunia, yakni bergabung dengan negara-negara lain, atas alasan keturunan atau domisili, dan lainnya.
Itulah yang terjadi pada pemain-pemain Eropa keturunan non Eropa, termasuk pada Piala Dunia 2022 di Qatar.
Dalam Piala Dunia Qatar, 42 persen dari 130 pemain Afrika yang mengikuti Piala Dunia itu tak dilahirkan di Afrika.
Dalam Piala Dunia 2022, Afrika diwakili oleh Kamerun, Ghana, Maroko, Senegal dan Tunisia. Kelimanya adalah bekas jajahan atau protektorat Prancis.
Ternyata, dari 59 pemain kelahiran Prancis yang bermain dalam Piala Dunia 2022, separuhnya memperkuat lima tim Afrika itu.
Maroko bahkan untuk kedua kali berturut-turut setelah Piala Dunia 2018 menurunkan skuad yang kebanyakan diimpor dari Eropa, khususnya Prancis.
Tak mau jadi medioker
Apakah cuma Afrika? Tidak, karena tim-tim kawasan lain juga begitu, termasuk Qatar.
Qatar mengadopsi cara yang unik. Negara ini mengumpulkan bakat-bakat dini sepak bola dari berbagai negara di dalam sebuah akademi sepak bola di Doha yang mereka namai Aspire Academy.
Sepuluh dari total anggota skuad Qatar adalah pemain-pemain berkewarganegaraan asing jebolan akademi itu. Kesepuluhnya mendapatkan "paspor olahraga" untuk membela Qatar, yang memang dibolehkan oleh FIFA.
"Paspor olahraga" juga digunakan Suriname dalam menarik pemain-pemain berdarah Suriname di Belanda, kecuali pemain-pemain super seperti Virgil van Dijk yang pastinya tak akan dilepas Belanda.
Lantas berhasilkah cara ini? Bagi negara seperti Maroko, cara ini ternyata efektif meningkatkan kualitas sepak bola mereka. Buktinya, mereka mencapai semifinal Piala Dunia setelah hanya bisa sampai fase grup dan paling bantar babak 16 besar, dalam empat edisi Piala Dunia sebelumnya yang diikuti negara ini.
Tapi rekrutmen pemain timnas semacam ini adalah upaya dua arah. Ini adalah kemauan pemain dan juga kemauan negara yang hendak menampung pemain itu.
Tapi pemain tidak asal menoleh timnas karena mereka juga melihat kualitas atau setidaknya grafik permainan timnas yang disasarnya. Sebaliknya, negara melihat jejak rekam pemain sebelum memutuskan merekrut pemain itu.
Ini pula yang saat ini ditempuh Indonesia, yang belakangan mendadak menjadi perhatian pemain-pemain keturunan Indonesia yang bermain di liga-liga top Eropa, khususnya Belanda, karena dianggap berpotensi menawarkan tiket tampil dalam Piala Dunia.
Metode rekrutmen timnas seperti ini menguntungkan baik pemain maupun negara asal timnas itu.
Dari sisi pemain, mereka bisa merasakan nilai pasarnya naik, sehingga daya tarik mereka di mata liga asal meningkat, apalagi Piala Dunia selalu menjadi medan pemasaran efektif dalam mengenalkan kualitas atlet sepak bola.
Sebaliknya, timnas negara yang hendak diperkuat pemain itu, berkesempatan memperkenalkan potensi dan kekuatan sepak bolanya kepada dunia, termasuk aspek industrialnya, yang salah satunya berpijak pada antusiasme dan fanatisme penggemar sepak bola.
Dalam urusan antusiasme dan fanatisme, sepak bola Indonesia menawarkan peluang ekonomi yang amat besar. Dalam Piala Asia U23 di Qatar saja, penggemar sepak bola Indonesia mendominasi stadion. Bayangkan, jika itu Piala Dunia.
Tapi negara harus bersiap menghadapi kenyataan bahwa suatu saat nanti pemain-pemain yang masuk jalur rekrutmen lintas negara itu beralih membela tim lain.
Jangan kaget dan mengecam pemain-pemain ini sebagai tidak nasionalistis, karena atlet kadang hanya ingin keluar dari zona nyamannya untuk berada di lingkungan yang lebih baik yang bisa memancing keluarnya kemampuan terbaik mereka.
Ini juga karena atlet besar selalu memburu lingkungan olahraga kompetitif yang bisa membawanya ke ajang-ajang prestisius yang menaikkan harga pasar, kapasitas, dan gengsi sebagai atlet berkualitas tinggi, atau bisa menyempurnakan pencapaian-pencapaiannya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kylian Mbappe, ambisi jadi yang terbaik, dan panggung Piala Dunia
Kylian Mbappe, ambisi jadi yang terbaik, dan panggung Piala Dunia
Selasa, 14 Mei 2024 8:21 WIB