Palu (Antaranews Gorontalo) - Masa tanggap darurat transisi penanganan korban bencana gempa, tsunami dan likuifaksi di Kota Palu saat ini mulai fokus pada upaya menyipakan hunian tetap bagi para korban yang kehilangan tempat tinggal.
Meski saat ini upaya pembangunan hunian sementara sedang digenjot, namun hal ini hanya bisa digunakan paling lama 24 bulan, sehingga mulai saat ini pemerintah harus mulai memikirkan hunian tetap bagi mereka agar dapat membangun hidup dan masa depan keluarga masing-masing.
Salah satu hal penting yang harus dirintis secara dini adalah penyiapan lahan, karena selain terkait peruntukan dan pengalihan hak, juga penting untuk segera diketahui melalui penelitian apakan lokasi itu aman dari dampak gempa, tsunami dan likuifaksi.
DPRD Kota Palu telah mendesak pemerintah kota untuk menetapkan lahan seluas 109 hektare di Kelurahan Tondo dan Talise untuk disiapkan menjadi lokasi pembangunan hunian sementara dan hunian tetap (huntap).
Tanah tersebut saat ini dalam satus pinjam pakai oleh PT. Sinar Putra Murni (SPM), PT. Sinar Waluyo dan sejumlah perusahaan lewat Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang akan selesai tahun 2019.
"Kenapa harus tunggu izin-izin lagi dari pusat. Ini kan force majeure (keadaan memaksa). Langsung saja disiapkan untuk pembangunan huntara atau huntap buat korban yang sudah tidak punya tempat tinggal walaupun izinnya belum habis," kata Wakil Ketua DPRD Palu Erfandi Suyuti.
Berdasarkan fakta di lapangan, kata Suyuti, lahan 109 hektare tersebut sudah belasan tahun tidak dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan pemegang IMB, HGU dan HGB atas tanah itu.
"Kalau saya langsung pakai saja untuk membangun huntara dan huntap. Nanti saya yang bertanggung jawab atas segala akibat yang timbul dari pembangunan hunian bagi korban bencana di atas lahan-lahan yang selama ini ditidurkan investor itu," tutur Reo, panggilan akrab Suyuti.
Anggota DPRD Kota Palu yang akan segera berakhir masa jabatan mereka kurang dari setahun itu menyetujui usul Reo dan menyatakan siap pasang badan dan bertanggung jawab bila terjadi masalah dalam penghalihan hak atas lahan 109 hektare untuk huntara dan huntap korban bencana.
"Saya yakin teman-teman semua punya spirit yang sama dengan saya dan Pak Erfandi. Kami melakukan ini semua untuk rakyat. Saya siap bertanggung jawab," ujar Wartabone, anggota DPRD lainnya.
Ia meminta agar DPRD Kota Palu segera mengeluarkan rekomendasi mengenai pemanfaatan lahan HGU dan HGB di Tondo dan Talise itu untuk disiapkan sebagai kawasa pembangunan huntara dan huntap agar Pemkot Palu dapat bekerja berdasarkan dasar rokemendasi yang dikeluarkan DPRD Palu.
Sekretaris Kota Palu yang juga Sekretaris Pos Komando Tanggap Darurat Transisi ke pemulihan dan rekonstruksi pascabencana Pemkot Palu Asri berterima kasih atas dukungan PDRD.
"Saya mohon agar DPRD Kota Palu segera menerbitkan rekomendasi untuk menyiapkan lahan HGU dan HGB itu sebagai kawasan pembangunan huntara atau huntap karena memang lahan itu sekarang hanya menjadi lahan tidur," ucap Asri.
Rekomendasi yang keluar nantinya bukan hanya dipertanggungjawabkan oleh DPRD Kota Palu, tetapi oleh Pemkot juga.
Sedang Dikaji
Pemkot sendiri smapai saat ini masih menunggu hasil kajian tata ruang dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat PUPR tentang wilayah-wilayah di Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah yang tidak laik huni lagi karena rawan gempa, tsunami dan likuifaksi.
Hasil kajian Kementerian PUPR yang melibatkan para ilmuwan lintas sektor dan disiplin ilmu itu diharapkan sudah terbit pertengahan November 2018.
Kepala Dinas Penataan Ruang dan Pertanahan Kota Palu Dharma Gunawan menyebut sekitar 3.700 warga Kota Palu kehilangan tempat tinggal akibat bencana 28 September 2018.
Sebanyak 1.700 kepala keluarga (KK) di Kelurahan Balaroa dan 2.000 KK di Petobo, itu belum termasuk di berbagai titik lainnya yang terkena tsunami dan likuifaksi.
Wali Kota Palu sendiri telah mengeluarkan surat keputusan berdasarkan hasil sementara survei Kementerian PUPR itu pada 29 titik lokasi pembangunan huntara.
Kini berbagai pihak yang dimotori oleh Kemengerian PUPR, Kementerian BUMN, PMI dan berbagai lembaga donor dari dalam dan luar negeri sedang giat menggenjot pembangunan hunian sementara.
Data sementara yang dimiliki Pemkota Palu, kebutuhan hunian sementara untuk Kota Palu yang berpenduduk hampir 400.000 jiwa ini adalah 7.500 unit, dan yang sudah tersedia sampai saat ini baru ratusan unit.
Para korban bencana tersebut kini masih tinggal di tenda-tenda pengungsian yang serba terbatas dan masih mendapat bantuan bahan makanan dan minuman dari pemerintah atas dukungan berbagai pihak di dalam dan luar negeri.
Pemerintah Kota Palu, Sulawesi Tengah, terus mendata kerusakan bangunan fasilitas umum, ekonomi, dan sosial akibat bencana gempa, tsunami dan likuifaksi pada 28 September 2018.
Pemkot Palu sendiri bersama tim dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) masih terus melakukan pendataan rumah-rumah, bangunan dan fasilitas permukiman yang rusak akibat bencana alam ini.
"Pendataan dilihat dari berbagai sektor, di antaranya sektor perumahan, sosial keagamaan, ekonomi produktif serta komunikasi dan lintas sektoral," kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Palu, Presly Tampubolon.
Dari pendataan empat sektor itu, diperkirakan kerusakan yang banyak berasal dari sektor perumahan, bahkan tidak sedikit hilang tertelan lumpur akibat likuifaksi yang terjadi di Kelurahan Balaroa dan Petobo.
Inventarisasi kerusakan sarana dan prasarana umum akan dikaji perwilayah, hal ini dimaksudkan agar proses pendataan benar-benar tepat dan efektif.
Kajian tersebut akan menghasilkan data kajian kebutuhan dana rekonstruksi pascabencana yang kemudian hasilnya menjadi rekomendasi pemerintah daerah untuk diusulkan kepada pemerintah pusat lalu selanjutnya dilakukan renovasi, rehabilitasi dan rekonstruksi, termasuk pembangunan hunian tetap.*