Sejumlah jurnalis dari berbagai media dan organisasi pers melakukan unjuk rasa di depan Polda Gorontalo, Kamis, untuk mendesak Kapolda mengusut pelaku kekerasan dan intimidasi terhadap beberapa kuli tinta itu.
Kekerasan dan intimidasi dilakukan saat sejumlah jurnalis meliput demonstrasi mahasiswa menolak Undang-undang Cipta Kerja, pada Senin (12/11).
"Hari ini kami serahkan bingkisan berupa buku Undang-undang pers, serta MoU Polri dan dewan pers agar para polisi bisa belajar lagi apa isinya," kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo Andri Arnold saat menyerahkan buku tersebut kepada salah seorang polisi.
AJI menilai intimidasi dan kekerasan dengan mudah dilakukan polisi terhadap jurnalis, namun belum ada polisi yang dihukum atas kesalahannya tersebut.
AJI mencatat ada 28 jurnalis di Indonesia mengalami kekerasan oleh aparat kepolisian pada tanggal 8 Oktober 2020.
Sementara itu selama 2017 hingga 2019, ada 19 jurnalis di Gorontalo yang mengalami intimidasi dari sejumlah pihak termasuk polisi.
Jurnalis juga menyatakan akan memboikot liputan maupun berita tentang Polda Gorontalo, jika pelaku tidak dihukum.
"Kami juga tidak terima berita-berita kami terkait unjuk rasa Undang-undang Cipta Kerja dibilang hoaks oleh kabid humas polda. Silahkan melapor ke dewan pers bila tidak suka dengan produk jurnalistik kami," kata jurnalis lainnya Helmi Rasid.
Para jurnalis dari AJI, IJTI, AMSI, PWI, JMSI, SMSI dan organisasi lainnya juga menolak ditemui Kabid Humas Polda Wahyu Tri Cahyono dan meminta kapolda langsung yang memberi penjelasan.
Namun hingga unjuk rasa berakhir, kapolda tak menemui jurnalis.
Sebelumnya empat jurnalis yang menjadi korban intimidasi dari aparat kepolisian
adalah Elias (reporter IDN Times), Wawan Akuba (kontributor kumparan.com), Arfandi (kontributor Liputan6.com), dan Hamdi (jurnalis kronologi.id).
Beberapa jurnalis diminta untuk tidak mengambil foto maupun video dan dipaksa menghapusnya.
Polisi juga membawa Hamdi, jurnalis lainnya yang sedang merekam gambar, ke Polda Gorontalo untuk dimintai keterangan.*
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020
Kekerasan dan intimidasi dilakukan saat sejumlah jurnalis meliput demonstrasi mahasiswa menolak Undang-undang Cipta Kerja, pada Senin (12/11).
"Hari ini kami serahkan bingkisan berupa buku Undang-undang pers, serta MoU Polri dan dewan pers agar para polisi bisa belajar lagi apa isinya," kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo Andri Arnold saat menyerahkan buku tersebut kepada salah seorang polisi.
AJI menilai intimidasi dan kekerasan dengan mudah dilakukan polisi terhadap jurnalis, namun belum ada polisi yang dihukum atas kesalahannya tersebut.
AJI mencatat ada 28 jurnalis di Indonesia mengalami kekerasan oleh aparat kepolisian pada tanggal 8 Oktober 2020.
Sementara itu selama 2017 hingga 2019, ada 19 jurnalis di Gorontalo yang mengalami intimidasi dari sejumlah pihak termasuk polisi.
Jurnalis juga menyatakan akan memboikot liputan maupun berita tentang Polda Gorontalo, jika pelaku tidak dihukum.
"Kami juga tidak terima berita-berita kami terkait unjuk rasa Undang-undang Cipta Kerja dibilang hoaks oleh kabid humas polda. Silahkan melapor ke dewan pers bila tidak suka dengan produk jurnalistik kami," kata jurnalis lainnya Helmi Rasid.
Para jurnalis dari AJI, IJTI, AMSI, PWI, JMSI, SMSI dan organisasi lainnya juga menolak ditemui Kabid Humas Polda Wahyu Tri Cahyono dan meminta kapolda langsung yang memberi penjelasan.
Namun hingga unjuk rasa berakhir, kapolda tak menemui jurnalis.
Sebelumnya empat jurnalis yang menjadi korban intimidasi dari aparat kepolisian
adalah Elias (reporter IDN Times), Wawan Akuba (kontributor kumparan.com), Arfandi (kontributor Liputan6.com), dan Hamdi (jurnalis kronologi.id).
Beberapa jurnalis diminta untuk tidak mengambil foto maupun video dan dipaksa menghapusnya.
Polisi juga membawa Hamdi, jurnalis lainnya yang sedang merekam gambar, ke Polda Gorontalo untuk dimintai keterangan.*
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020