Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia-Suara Advokat Indonesia (Peradi-SAI) Cabang Purwokerto Djoko Susanto menilai rumusan Pasal 252 Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang mengatur masalah ilmu gaib atau santet akan menyulitkan peradilan.
"Kalau pasal santet itu masuk di dalam KUHP, nanti akan menimbulkan fiksi-fiksi hukum yang bervariasi," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu.
Menurut dia, hal itu disebabkan di dalam hukum pidana dikenal adanya pembuktian materiil, bukan pembuktian formal
Oleh karena itu, katanya, harus jelas dibuktikan siapa pelakunya dan bagaimana cara melakukan tindak pidana tersebut.
"Nah, itu kan tidak bisa diungkap dalam persidangan. Jangan sampai nanti ketika dalam persidangan menghadirkan saksi ahli adalah seorang paranormal, itu kan sesuatu hal yang naif menurut saya," katanya.
Ia mengatakan dalam berbicara tentang hukum itu harus bisa dibuktikan secara nyata dan harus jelas terukur barometernya.
Dalam hal ini, kata dia, barometer mengukur bagaimana pelaku melakukan tindak pidana dan cara-cara melakukan.
Dengan demikian, lanjut dia, hakim mempunyai keyakinan dalam menemukan bahwa terdakwa itu bersalah atau tidak bersalah.
"Kalau tanpa ukuran dan tanpa barometer ya akan sulit dan nantinya hakim pun akan kesulitan menjatuhkan putusan," katanya.
Djoko mengatakan pengacara atau advokat pun akan kesulitan melakukan pembelaan karena harus menghadirkan saksi ahli yang merupakan paranormal.
Dia mencontohkan ketika pengacara membela dukun santet di persidangan, berarti ada dukun santetnya dan orang yang menyuruh melakukan santet.
"Itu kan akan menjadi kerancuan hukum nantinya," katanya.
Bahkan, dia menduga tidak ada pengacara yang berani beracara dalam kasus tersebut jika pasal santet dimasukkan dalam KUHP.
Seperti diketahui dalam rumusan Pasal 252 ayat (1) RUU KUHP disebutkan "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV".
Pasal 252 ayat (2) disebutkan "Jika setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga)".
Sementara dalam Pejelasan Pasal 252 ayat (1) RUU KUHP disebutkan "Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya. Ketentuan ini dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet)".
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2021
"Kalau pasal santet itu masuk di dalam KUHP, nanti akan menimbulkan fiksi-fiksi hukum yang bervariasi," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu.
Menurut dia, hal itu disebabkan di dalam hukum pidana dikenal adanya pembuktian materiil, bukan pembuktian formal
Oleh karena itu, katanya, harus jelas dibuktikan siapa pelakunya dan bagaimana cara melakukan tindak pidana tersebut.
"Nah, itu kan tidak bisa diungkap dalam persidangan. Jangan sampai nanti ketika dalam persidangan menghadirkan saksi ahli adalah seorang paranormal, itu kan sesuatu hal yang naif menurut saya," katanya.
Ia mengatakan dalam berbicara tentang hukum itu harus bisa dibuktikan secara nyata dan harus jelas terukur barometernya.
Dalam hal ini, kata dia, barometer mengukur bagaimana pelaku melakukan tindak pidana dan cara-cara melakukan.
Dengan demikian, lanjut dia, hakim mempunyai keyakinan dalam menemukan bahwa terdakwa itu bersalah atau tidak bersalah.
"Kalau tanpa ukuran dan tanpa barometer ya akan sulit dan nantinya hakim pun akan kesulitan menjatuhkan putusan," katanya.
Djoko mengatakan pengacara atau advokat pun akan kesulitan melakukan pembelaan karena harus menghadirkan saksi ahli yang merupakan paranormal.
Dia mencontohkan ketika pengacara membela dukun santet di persidangan, berarti ada dukun santetnya dan orang yang menyuruh melakukan santet.
"Itu kan akan menjadi kerancuan hukum nantinya," katanya.
Bahkan, dia menduga tidak ada pengacara yang berani beracara dalam kasus tersebut jika pasal santet dimasukkan dalam KUHP.
Seperti diketahui dalam rumusan Pasal 252 ayat (1) RUU KUHP disebutkan "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV".
Pasal 252 ayat (2) disebutkan "Jika setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga)".
Sementara dalam Pejelasan Pasal 252 ayat (1) RUU KUHP disebutkan "Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya. Ketentuan ini dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet)".
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2021